Pages

Thursday, 31 October 2013

Kerjasama Militer RI dengan Berbagai Negara: Tank Sampai Jet Tempur


RI memproduksi tank bersama Turki, dan jet tempur bersama Korsel.
Tank Altay buatan Turki.
 
 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Hari Ulang Tahun TNI ke-68 di Skadron Halim Perdanakusuma Jakarta, 5 Oktober 2013, menjanjikan kekuatan alat utama sistem persenjataan (alutsista) RI akan meningkat signifikan dalam waktu dekat hingga akhir tahun 2014. Untuk memodernisasi alutsista sekaligus meningkatkan kualitas sistem pertahanan RI, pemerintah telah menjalin kerjasama dengan industri pertahanan di dalam dan luar negeri.

Ucapan Presiden SBY itu bukan omong-kosong. Sejumlah negara pada akhir Oktober ini membeberkan kerjasama pertahanannya dengan Indonesia. RI aktif menggandeng berbagai negara untuk memperkuat militernya. Mulai negara-negara di kawasan Asia sampai benua Eropa, semua digaet RI dengan rakus demi transfer teknologi pertahanan.

Anggaran modernisasi dan perawatan alutsista TNI sampai akhir tahun 2014 tercatat Rp99 triliun, dan Kementerian Pertahanan masih membutuhkan tambahan anggaran Rp57 triliun. “Kami prioritaskan mencari alutsista bergerak seperti pesawat temput dan tank. Sementara alutsista yang tak bergerak seperti radar,” kata Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro

Tank bersama Turki-RI

Selasa 29 Oktober 2013, Duta Besar Turki untuk Indonesia Zekeriya Akcam mengungkapkan negaranya telah mengikat nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) untuk bekerjasama membuat tank dengan Indonesia. MoU itu diteken di sela kegiatan Pameran Industri Pertahanan Internasional (IDEF) ke-11 di Istanbul, Turki, Mei 2013.

Produksi tank bersama Indonesia dan Turki tak digarap terburu-buru. Saat ini pemerintah kedua negara lebih dulu mendesain satu prototipe tank. “Setelah desain tank selesai dibuat, maka akan diproduksi massal dan digunakan bagi militer kedua negara,” ujar Zekeriya kepada VIVAnews. Desain tank RI-Turki ini akan diumumkan ke publik internasional setelah kedua negara selesai menggelar pemilu yang sama-sama berlangsung Juli 2014.

Di pihak Indonesia, produksi tank RI-Turki akan melibatkan dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yakni PT Pindad dan PT Len Industri. PT Len merupakan mitra perusahaan Aselsan asal Turki yang sudah berpengalaman memproduksi peralatan komunikasi militer taktis dan sistem pertahanan elektronik untuk Angkatan Bersenjata Turki.

Sementara dari pihak Turki, proyek tank bersama ini akan ditangani oleh kontraktor pertahanan Turki, FNSS Defense System, yang kerap memproduksi roda kendaraan tempur lapis baja dan senjata untuk militer Turki dan sekutunya. Dari segi teknologi, FNSS jelas lebih maju dari PT Pindad. Ini menjadi peluang bagi Indonesia untuk menerima transfer teknologi dari Turki.

Jika Indonesia sukses memproduksi tank Anoa yang diklaim gesit mendekati sasaran, Turki berhasil membuat tank tempur utama bernama Altay yang berbobot 65 ton dan dipersenjatai meriam kaliber 120 mm dan senapan mesin kaliber 12,67 mm. Seperti dilansir www.artileri.org, tank Altay mampu melaju dengan kecepatan 70 km per jam di jalan mulus. Belum lama ini, Turki juga meluncurkan kendaraan lapis baja intai baru yang diberi nama Kaplan atau Harimau.

Soal tank, PT Pindad juga bekerjasama dengan Belarusia untuk mengembangkan tank. Kerjasama industri pertahanan adalah salah satu poin dalam nota kesepahaman RI-Belarusia yang ditandatangani dalam kunjungan Presiden Belarusia Alexander Lukashenko ke Istana Negara, Jakarta, Maret 2013. Indonesia dan Belarusia juga menjalin kerjasama dalam bidang teknologi informasi dan nanoteknologi.

Radar Ceko

Bukan hanya Turki dan Belarusia yang tertarik menjalin kerjasama pertahanan dengan RI, tapi juga Republik Ceko. Ceko kini sedang menjajaki kerjasama dengan militer RI terkait pertahanan radar. Ceko dikenal punya catatan yang baik soal teknologi radar, terutama radar pasif ERA Ceko.

"Ada beberapa perusahaan Ceko yang menawarkan teknologi pertahanan kepada militer Indonesia. Salah satu teknologi yang kami coba jual yakni radar pasif yang dapat digunakan untuk memantau wilayah udara. Kami juga memiliki radar untuk menara pemantau udara (Air Traffic Controller),” kata Duta Besar Republik Ceko untuk Indonesia Thomas Smetanka kepada VIVAnews, Senin 28 Oktober 2013.

Antusiasme Ceko menawarkan teknologi radarnya kepada Indonesia sudah dimulai ketika Presiden Republik Ceko Vaclav Klaus berkunjung ke Indonesia Juli 2012. Indonesia sendiri enam-tujuh tahun lalu pernah menjajaki penggunaan radar pasif Ceko untuk memperkuat pertahanan udaranya. Ketika itu TNI Angkatan Udara datang langsung ke Ceko.

Namun saat itu TNI belum memutuskan untuk menggunakan radar pasif Ceko karena radar tersebut masih harus diintegrasikan dengan sistem radar yang sudah ada di Indonesia. Kesulitan mengintegrasikan radar baru dan radar lama juga terjadi ketika Indonesia menggabungkan sistem radar buatan Inggris dan Prancis.

Selain menawarkan radarnya, Ceko juga berharap dalam menjalin kerjasama pembelian senjata ringan dengan Indonesia. “Tapi saya tidak bisa memaparkan hal tersebut secara spesifik karena masih dalam tahap penjajakan,” kata Dubes Ceko Smetanka.

Jet Tempur Korea-RI

Proyek pesawat tempur Indonesia-Korea Selatan yang dimulai tahun lalu, ditargetkan selesai tahun 2020 meski ada kendala dana. Wakil Menteri Pertahanan Letjen TNI (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin menekankan pentingnya keberlanjutan produksi jet tempur bersama RI-Korsel itu, siapapun yang terpilih menjadi Presiden RI pada Pemilu 2014.

“Program pesawat tempur KFX/IFX (Korea Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment) adalah program nasional demi kepentingan bangsa dan negara. Kita harus mewujudkannya demi kemandirian bangsa membangun kekuatan pertahanannya,” kata Sjafrie. Tekad itu tak mengherankan karena bila proyek ini berhasil, maka KFX/IFX akan menjadi pesawat tempur pertama yang dibuat Indonesia.

Proyek tersebut kini memasuki tahap kedua, yakni pengembangan pesawat atau engineering manufacturing development. PT Dirgantara Indonesia menyiapkan 30 item dari 72 teknologi dalam pesawat itu. Untuk pengerjaan pesawat dengan skema joint production ini, Indonesia telah mengirimkan 40 orang teknisi dan insinyurnya ke Korsel pada pertengahan tahun 2012.

Pengembangan teknologi jet tempur KFX/IFX akan dilakukan hingga tahun 2020, dan dana yang dibutuhkan untuk memproduksi pesawat ini mencapai US$8 miliar, di mana Indonesia mendapat porsi anggaran sebanyak US$1,6 miliar.

Apapun, ambisi RI dan Korsel untuk memiliki pesawat tempur buatan sendiri masih terganjal dana. Dalam pertemuan antara Ketua Parlemen Korsel Ahn Hong-joon dan Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN) Chairul Tanjung, Mei 2013, terungkap bahwa pemerintah Korsel kesulitan mencari dana untuk proyek mahal tersebut. Namun Hong-joon meyakinkan, proyek KFX/IFX tak akan terhenti.

Direktur Utama PT DI Budi Santoso mengatakan, jet tempur Korsel-RI ini nantinya akan lebih canggih dari F-16 buatan Amerika Serikat. “Kalau F-16 itu generasi keempat, F-35 generasi kelima, KFX/IFX di tengah-tengahnya. Sukhoi buatan Rusia masih generasi empat,” kata Budi.

Untuk diketahui, F-16 dan F-35 merupakan pesawat tempur buatan Amerika Serikat, namun diproduksi oleh perusahaan yang berbeda. F-16 dikeluarkan oleh General Dynamics, sedangkan F-35 dikembangkan oleh Lockheed Martin.

KFX/IFX buatan RI-Korsel nantinya akan diproduksi sebanyak 250 unit, dan Indonesia mendapat bagian 20 unit. Satu unit pesawat tempur ini nantinya dihargai sekitar US$70-80 juta.

Masih banyak negara-negara lain yang berminat menjalin kerjasama dalam industri pertahanan dengan Indonesia, misalnya Ukraina. Komisi I DPR RI yang membidangi pertahanan, intelijen, dan luar negeri telah berkunjung langsung ke Ukraina, April 2013. Ukraina merupakan salah satu pusat industri militer di masa Uni Soviet masih berdiri.

Di Ukraina, DPR antara lain mengunjungi industri lapis baja, radio, roket jarak jauh dan luar angkasa, penerbangan, serta perkapalan. “Ukraina adalah negara produsen peluru kendali terbesar ketiga di dunia. Indonesia menginginkan pola kerjasama transfer teknologi dan produksi bersama,” kata anggota Komisi I Husnan Bey Fananie.
Namun kerjasama pertahanan RI-Ukraina sejauh ini belum terealisasi karena belum terbentuk komisi gabungan antara kedua negara. (eh)