Pages

Saturday, 9 November 2013

Neraka Inggris di Timur Jawa


Photo 
Ratusan makam bernisan salib putih itu berderet rapi seperti tentara yang tengah berbaris. Di kanan kirinya, puluhan pohon kamboja tumbuh subur, kalah bersaing dengan hutan beton bangunan tinggi yang banyak tumbuh di sekitar Casablanca, Jakarta Selatan.

Pekuburan itu memang terletak di salah satu pusat keriuhan Jakarta. Tepatnya di Menteng Pulo, sebuah tempat yang bertetangga dengan kawasan bisnis Kuningan atau Jalan Rasuna Said. ”Saking ramainya, tak banyak orang tahu di sini ada pekuburan,” ujar Andri (26), salah seorang tukang ojek yang kerap mangkal di sana.

Ungkapan Andri memang tak salah. Alih-alih para pendatang, orang-orang yang sudah lama di Jakarta pun kadang jarang tahu soal pekuburan tersebut. Padahal yang ditanam di sana bukanlah manusia-manusa sembarangan. Mereka adalah para serdadu Inggris (2 diantaranya berpangkat Brigadir Jenderal) yang tewas saat berduel dengan para pemuda Indonesia di Surabaya 66 tahun yang lalu.

Alkisah suatu siang pada 25 Oktober 1945, mendaratlah di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya sekitar 6000 pasukan dari 49 Indian Infantery Brigade ”The Fighting Cock” (selanjutnya disebut Brigade 49) pimpinan Brigadir Jenderal AWS. Mallaby. Maksud kedatangan para serdadu yang memiliki pengalaman tempur menakjubkan saat melawan Tentara Jepang di hutan-hutan Burma itu, tak lain adalah untuk melucuti senjata balatentara Jepang di Indonesia.

”Mereka tidak tahu beberapa hari sebelumnya senjata-senjata Jepang itu telah kami rampas lewat sebuah pertempuran yang panas,” ujar Letnan Kolonel (purnawirawan) Moekajat, salah seorang pimpinan BKR (Badan Keamanan Rakyat) di Surabaya kala itu.

Kedatangan tentara Inggris, pada awalnya disambut baik. Namun sikap akomodatif dari para pemuda Surabaya justru disambut oleh tentara Inggris dengan sikap besar kepala. Salah satu contoh sikap arogan itu terlihat saat gagal menemukan kesepakatan dalam sebuah pertemuan antara pihak Tentara Inggris dengan pihak Indonesia (diwakili oleh pemerintah daerah Jawa Timur), tanpa ba-bi-bu, para perwira Inggris meninggalkan begitu saja Gubernur Soerjo.

”Sikap tersebut bisa jadi dipengaruhi oleh kebanggaan psikologi mereka yang merasa sebagai salah satu pihak yang memenangi Perang Dunia II,” tulis Nugroho Notosusanto dalam Pertempuran Surabaya.

Setelah melalui sebuah lagi perundingan yang berlangsung alot, disepakati untuk sementara Tentara Inggris harus menghentikan laju gerakannya sampai garis 800 meter dari garis pesisir Tanjung Perak. Terhitung hari itu yakni 26 Oktober 1945.

Namun kesepakatan baru berlangsung sehari, secara tiba-tiba Tentara Inggris melakukan gerakan menyerang kota: menduduki beberapa titik sekaligus melucuti beberapa kesatuan pemuda dan Polisi Indonesia. Seolah kurang puas dengan manuver itu, mereka pun mengirimkan ancaman yang disebar melalui pesawat dakota agar ”orang-orang Indonesia” menyerah tanpa syarat.

Tentu saja aksi penginkaran itu direspon secara keras oleh para pemuda Surabaya. Alih-alih menuruti kemauan Tentara Inggris, mereka malah melakukan penyerangan balik. Terjadilah pertempuran selama 2 hari (28-29 Oktober) yang berakhir dengan terjepitnya posisi Tentara Inggris hingga tanpa malu-malu mereka mengibarkan bendera putih dan minta berunding.

Ikhwal ”kekalahan memalukan” itu diakui oleh Kapten R.C. Smith, salah seorang veteran Tentara Inggris yang terlibat dalam pertempuran itu. Pada 1975, dalam suratnya kepada penulis J.G.A Parrot, Smith menyebut Brigjen Mallaby sangat khawatir jika pertempuran tak berhenti, anak buahnya akan disapu bersih (wiped out). Suatu kekhawatiran yang sama dirasakan pula oleh Kolonel A.J.F Doulton:



”Perlawanan heroik dari Tentara Inggris hanya akan berakhir dengan hancur leburnya Brigade 49, kecuali ada seseorang yang bisa mengendalikan kemarahan orang-orang itu (maksudnya para pejuang Indonesia di Surabaya),” tulis Doulton dalam The Fighting Cock: Being the History of the Twenty-third Indian Division,1942-1947. Di kemudian hari Inggris menemukan ”sang pengendali” itu tak lain adalah Soekarno.

Maka pada 30 Oktober 1945, atas permohonan Inggris, dari Jakarta Soekarno terbang ke Surabaya. Di sana ia terlibat perundingan dengan Mayor Jenderal D.C. Hawthorn, Komandan Divisi India 23, yang tak lain merupakan atasan Brigjen Mallaby. Dari perundingan itu tercetus kembali kesepakatan yang diantaranya adalah pengakuan pihak Inggris terhadap eksistensi Republik Indonesia sebagai salah satu syarat dihentikannya pengepungan terhadap Tentara Inggris di Surabaya. Perundingan usai jam 13.00.

Baru 4 jam, Soekarno meninggalkan Surabaya, saat sosialisasi gencatan senjata di dekat Gedung Internatio Brigjen Mallaby tewas. Ikhwal penyebabnya hingga kini masih betselimutkan misteri. Pihak Inggris menyebut Mallaby gugur ditembak seorang pemuda Surabaya. Sebaliknya pihak Indonesia menuduh penembak runduk tentara Inggrislah yang membunuh jenderal mereka sendiri sebagai alasan untuk menjadikan kematiannya sebagai alasan menggempur Surabaya.

Tewasnya Mallaby menjadikan kesepakatan gencatan senjata berlangsung berantakan. Pihak Inggris bereaksi keras atas peritiwa tersebut. Pada 31 Oktober 1945, terjadi peristiwa yang seolah de javu dari peristiwa 27 Oktober: sebuah pesawat dakota melayang-layang di atas Surabaya sambil menyebarkan selebaran yang singkatnya berisi ancaman supaya para pemuda dan pimpinan-pimpinannya menyerah tanpa syarat paling lambat 9 November 1945.

Alih-alih dituruti, ultimatum yang langsung ditandatangani oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison (Komandan Tertinggi Sekutu di Asia Tenggara) dianggap sepi oleh para pemuda. Sebagian malah mengangap itu merupakan gertak sambal gaya Britania saja.

”Pada prinsipnya mereka memilih untuk menjawab ancaman itu dengan perlawanan,” tulis Batara R. Hutagalung dalam 10 November ’45. Mengapa Inggris Membom Surabaya?

Sementara pemuda Surabaya berlaku cuek, pada 3 November 1945, sekitar 24.000 serdadu mendarat di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Mereka dari 5th British-Indian Division (selanjutnya disebut Divisi 5), yang baru saja mengalahkan pasukan Jerman Nazi pimpinan Marsekal Erwin Rommel di El Alamein, Mesir. Pendaratan itu diikuti pula dengan iring-iringan 20 pesawat pemburu Musquito dan 12 pesawat pemburu P4 Thunderbolt (yang bisa mengangkut 250 kg bom) serta puluhan tank jenis Sherman dan Stuart.

Dan terbukti, sikap cuek para pemuda Surabaya harus dibayar mahal. Tepat pukul 06.00 pada 10 November 1945, Tentara Inggris membombardir Surabaya hingga tengah malam. Akibatnya ribuan orang (mayoritas rakyat sipil) tewas seketika. ”Wajar bila hari pertama saja sudah ribuan. Di Pasar Turi saja saya menyaksikan gelimpangan mayat berjumlah hingga ratusan,” ungkap Letkol (Purn) Moekajat.

Seorang penulis bernama David Wehl menyatakan bahwa sejak 10 November 1945, Surabaya menjadi lautan api dan mayat. Mayat manusia, kuda, anjing, kucing, kambing dan kerbau bergelimpangan di selokan-selokan dan jalan-jalan utama kota Surabaya. Bau busuk yang bersanding dengan mesiu telah menjadi aroma sehari-hari di kota itu.

Di bawah “guyuran” agitasi Bung Tomo dari Radio Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI), pertempuran antara dua pihak sendiri berlangsung seru. Kendati hanya mengandalkan sejenis senjata tajam dan senjata api peninggalan KNIL dan rampasan dari Jepang, pemuda-pemuda Indonesia (saya sebut demikian karena para pemuda yang bertempur bukan hanya dari Surabaya saja tapi juga pemuda dari seluruh Indonesia yang sengaja datang ke sana) melakukan perlawanan sengit.

“Di pusat kota, pertempuran lebih dahsyat, jalan-jalan harus diduduki satu per satu, dari satu pintu ke pintu lainnya... Perlawanan orang-orang Indonesia berlangsung dalam dua tahap, pertama pengorbanan diri secara fanatik, dengan orang-orang yang hanya bersenjatakan pisau-pisau belati dan dinamit di badan menyerang tank-tank Sherman, dan kemudian dengan cara yang lebih terorganisasi dan lebih efektif, mengikuti dengan cermat buku-buku petunjuk militer Jepang.” tulis David Wehl dalam Birth of Indonesia.

Sejarah mencatat, Tentara Inggris sempat lintang pukang menghadapi perlawanan ini. Di hari kedua saja, sudah 3 Mosquito tertembak jatuh. Termasuk yang membawa Brigjen. Robert Guy Loder Symonds, kena sikat PSU Bofors 40 (sejenis senjata penangkis serangan udara milik KNIL) yang dikendalikan oleh sekelompok veteran PETA yang berpengalaman menghadapi pesawat-pesawat tempur Amerika Serikat di palagan Halmahera dan Morotai.

Kisah Perang Surabaya tidak hanya berisi cerita-cerita heroik semata. Tapi juga cerita nyinyir dari sudut tergelap perjuangan. Kala itu selain para pemuda pejuang, di Surabaya bertebaran pula bandit-bandit berkedok pejuang yang kerjaannya memperkosa para perempuan Indo dan merampok harta rakyat. Persis seperti dikisahkan Trisnoyuwono (salah seorang penulis ternama Indonesia) dalam salah satu cerita pendeknya berjudul Di Medan Perang.

Hingga pertempuran berakhir di hari ke-21, korban jiwa diperkirakan mencapai angka puluhan ribu. Menurut laporan dr. Moh. Suwandhi, kepala kesehatan Jawa Timur, dan yang aktif menangani korban pihak Indonesia, jumlah orang Indonesia yang tewas dalam insiden itu adalah 16.000 jiwa. Lalu bagaimana dengan korban di pihak Inggris?

Mengutip keterangan penulis Anthony James Brett, Batara R.Hutagalung menyebutkan sejak mendarat di Surabaya, Inggris telah kehilangan sekitar 1500 prajuritnya (termasuk 2 jenderal tewas dan 300 serdadu Inggris Muslim asal India dan Pakistan yang diklaim pihak Indonesia telah menyebrang ke pihak mereka).

Karena itu, Inggris menyebut Perang Surabaya sebagai perang yang terberat pasca Perang Dunia II. Surat kabar New York Times (edisi 15 November 1945) bahkan mengutip kata-kata para serdadu Inggris yang menyebut “The Battle of Surabaya” sebagai “inferno” atau neraka di timur Jawa. Berlebihan? Saya kira tidak, nisan-nisan yang berjejer rapi di Menteng Pulo adalah salah satu saksinya.(hendijo)

Hardijo