Pengalaman operasinya beragam dan lengkap, dari penanganan kasus yang melibatkan Tommy Soeharto, putra mantan presiden Soeharto, hingga perburuan mencari gembong teroris yang dianggap paling berbahaya di kawasan Asia Tenggara, Doktor Noordin M Top.
Tito yang pernah menjabat Komandan Detasemen Khusus Anti Teror 88 ikut menangani hampir semua kasus aksi teror besar di tanah air. “Kasus yang saya tangani banyak berhubungan dengan media,” ujar Irjen Tito, ketika diwawancarai via telepon, Senin malam 16 Desember 2013.
Perwira Tinggi Polri yang fasih berbahasa Inggris ini memulai prestasi di lingkup kepolisian dengan menjadi lulusan terbaik Akademi Kepolisian Angkatan 1987. Ia menggenggam anugerah Adhi Makayasa. Tito menyelesaikan pendidikan di Universitas of Exeter, Inggris tahun 1993 dan menggenggam gelar MA dalam bidang Studi Polisi, meraih gelar sarjana S-1 dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Keahliannya dalam penanganan aksi jaringan teroris dikukuhkan dalam disertasi doktoralnya.
Tito Karnavian, yang lahir di Palembang, 26 Oktober 1964, meraih gelar PhD dalam Studi Strategis bidang Terorisme dan Radikalisasi Islam di Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapura dengan predikat magna cum laude.
Memperingati HUT ke-5 viva.co.id yang jatuh pada hari ini, Selasa 17 Desember 2013, kami mewawancarai Kapolda Tito Karnavian soal pengalamannya berinteraksi dengan media. Berikut petikan wawancaranya:
Dalam perjalanan hidup, kapan pertama kali berhubungan dengan orang media?
Wah, baru kali ini saya ditanyai soal ini. Kebetulan sejak kecil saya sudah berhubungan dengan media. Ayah saya seorang wartawan yang bekerja di sebuah surat kabar lokal di Palembang. Melihat ayah saya bekerja, saya melihat pekerjaan menjadi wartawan itu menarik. Mengejar berita, mencari informasi. Saya melihat bahwa dalam bisnis informasi, kemampuan berkomunikasi sangat penting. Seorang wartawan tidak boleh tertutup, harus dapat berinteraksi dengan siapapun. Wartawan diharapkan memiliki jiwa yang terbuka. Mau mendengarkan, mampu berbicara dengan jelas, dan menyampaikan informasi secara baik. Saya belajar banyak dari ayah saya soal ini.
Profesi yang menarik, tapi Anda tidak tertarik mengikuti jejaknya?
Hahaha, iya. Memang orangtua tidak mengarahkan anaknya mengikuti profesi mereka. Saya memilih menjadi polisi meskipun sempat tes di bidang lain. Kami empat bersaudara. Kakak saya menjadi guru besar dan mengajar di perguruan tinggi di Palembang. Adik-adik menjadi dokter.
Pengalaman ayah, tentu menjadi referensi bagi Anda dalam berhubungan dengan media?
Pasti. Sejak berkarir di kepolisian saya merasa tidak sulit berhubungan dengan media. Saya selalu ingin menjalin hubungan dengan wartawan. Bukan sekadar hubungan yang saling menguntungkan dalam konteks pekerjaan. Ya, pada dasarnya saya anggap wartawan itu seperti keluarga. Tentu saya bicara mengenai wartawan yang menurut saya menjalankan pekerjaan secara profesional. Memahami pekerjaan dan tanggung jawab yang tengah saya lakukan sebagai polisi.
Saya mulai berinteraksi dengan wartawan saat bertugas di unit kejahatan dengan kekerasan di Polres Jakarta Pusat. Berteman dengan wartawan peliput berita kriminal. Istilahnya tim “buser”, buru sergap. Seringkali wartawan ikut bersama kami untuk memburu pelaku kejahatan. Di sini saya menemui masalah. Pada dasarnya media adalah industri yang berkompetisi secara ketat. Wartawan ingin lebih dulu dan membuka semua informasi. Ingin yang eksklusif. Gambar yang terbaik. Termasuk informasi yang seharusnya tidak diberitakan karena bagian dari strategi kami di kepolisian. Informasi yang bisa mempengaruhi proses penyidikan.
Hal lain, tentu saja dalam bekerja, tidak selalu prosesnya mulus. Ada hambatan. Dulu masih sering terjadi pelanggaran. Misalnya karena emosional saat penyidikan, ada anggota yang memukul tersangka. Kami berharap yang seperti ini tidak diberitakan. Ternyata masuk berita. Ekspose negatif.
Anda marah jika menemui kasus seperti ini?
Nggak marah. Tapi kemudian muncul rasa tidak percaya. Untuk berikutnya memilih media atau wartawan mana yang bisa kami beri informasi. Jangan heran kalau kemudian polisi memilih berbagi informasi kepada media atau wartawan tertentu yang dianggap bisa dipercayai. Pada dasarnya polisi dan wartawan saling membutuhkan. Bagi wartawan, lembaga kepolisian adalah sumber informasi yang tidak pernah kering. Polisi berharap wartawan dapat memilah informasi yang prioritas untuk menjaga keselamatan publik. Pada titik ini kepentingan polisi dan wartawan sama. Tapi di kesempatan lain sering bertolak belakang juga.
Bukankah memberitakan kekerasan yang dilakukan polisi kepada tersangka bagian dari kontrol media atas kinerja polisi?
Saya tidak menolak kontrol publik melalui media. Tapi ada media yang cenderung memberitakan yang seperti ini, sisi masalah. Lalu soal komitmen tidak membuka strategi. Kalau dilanggar, itu menyulitkan kami.
Di era media digital, aspek kecepatan kian dikedepankan. Polisi dituntut kian cepat merespon media atas sebuah peristiwa. Bagaimana menyesuaikan diri dengan perkembangan ini?
Sebelumnya, media sudah jadi bisnis yang kompetitif. Apalagi sekarang, dengan banyaknya online media, termasuk viva.co.id. Semua minta dilayani segera. Polisi menyadari itu. Makanya kami siap dikontak setiap saat. Divisi kehumasan sangat aktif berbagi informasi, termasuk di level kepolisian daerah maupun polres. Kembali kepada yang saya katakan tadi, membangun kepercayaan, trust, itu penting.
Bagaimana dengan pemberitaan media soal aksi teroris? Sebagian mengkritik, penangkapan itu semata mengalihkan isu. Tanggapan Anda?
Pengalaman saya saat bertugas di detasemen khusus anti teroris dan riset saya atas sejarah aksi teror di Indonesia menunjukkan bahwa jaringan kelompok radikal, atau jaringan teroris adalah gerakan yang sudah dibangun lama. Mereka melalui masa naik dan turun. Kita ingat kasus pengeboman di masa orde baru. Kasus Borobudur, pembajakan pesawat. Setelah ditangkap pelakunya, gerakan menurun. Lalu ada kasus meledaknya Bom Bali. Gerakan menggeliat. Aktif. Melihat pola gerakan, polisi tidak boleh berhenti menangani kasus terkait terorisme. Tidak boleh mengendur pengawasan dan pengejaran. Justru salah kalau polisi hanya menangani saat mereka lakukan perbuatan teror. Yang penting dilakukan adalah aksi pre-emptive. Mencegah. Daripada meledak duluan? Padahal jaringan ini terus berkembang.
Media jangan lantas menuding polisi mengalihkan isu jika ada penangkapan teroris. Berita ancaman teroris kalah hot dengan berita kasus korupsi atau infotainment. Penangkapan di Bekasi misalnya, ya tidak jadi berita besar. Soalnya tidak ada korban tewas kan? Coba kalau terlanjur meledak, banyak korban tewas. Baru ramai diberitakan. Menurut saya, penangkapan dan penggerebekan harusnya jadi berita penting juga. Artinya ada rencana aksi yang bisa dicegah. Saya berharap media tidak berhenti memberitakan ancaman teroris. Nyata kok.
Insiden penembakan terhadap mobil rombongan TNI belum lama ini menunjukkan Papua belum aman. Bagaimana situasi sebenarnya?
Di sini masih ada kelompok-kelompok yang memasalahkan status politik. Ada yang menggunakan istilah konflik vertikal, ada pula istilah separaratisme. Yang sesungguhnya terjadi ya status politik dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejak menjabat Kapolda, saya sudah mengunjungi 40 dari 42 kabupaten/kota di provinsi ini. Saya temukan bahwa masalah pokok adalah kesenjangan dan kelambatan pembangunan ekonomi di sejumlah lokasi. Saya datangi warga, berdialog. Saya tanyakan apa masalah mereka. Coba dipikirkan. Harga minyak tanah Rp 40 ribu sampai Rp 50 ribu per liter. Harga beras Rp 50 ribu per kilogram. Jadi ada masalah pembangunan ekonomi yang terlambat, harga yang mahal.
Isu lain adalah soal ideologi. Isu beda sejarah. Beda ras. Masalah historis masuknya Papua ke wilayah Indonesia. Ini isu-isu yang digunakan kelompok-kelompok yang memasalahkan status politik. Menurut saya isu terpenting ya soal kesejahteraan. Jadi, pemerintah seharusnya melakukan pembangunan Papua dengan pendekatan kesejahteraan. Media perlu mengangkat soal ini.
Lewat Otonomi Khusus belum memadai?
Saya juga tahu pemerintah melakukan banyak upaya termasuk menggunakan pendekatan kesejahteraan. Tapi ada masalah besar soal kesiapan sumber daya manusia masyarakat lokal. Ada problem tingkat pendidikan. Ada soal kapasitas kepemimpinan di level lokal. Kita bisa bandingkan, di daerah yang kesejahteraannya maju, maka gerakan-gerakan ini biasanya tidak mendapatkan peluang berkembang. Misalnya di Merauke, Bintuni, Timika. Ekonomi berkembang baik.
Di kawasan yang ekonominya stagnan, bahkan terbelakang, gerakan ini mengambil kesempatan. Di tengah-tengah itu ada kelompok kecil yang memegang ideologi. Kelompok ini selalu berusaha halangi keberhasilan pembangunan. Selalu berusaha untuk mengambilalih jika ada kesempatan. Jika perlu dengan menggunakan mobilisasi massa dan kekerasan.
Timika masuk berkembang baik, tapi ada penembakan di kawasan Freeport. Mengapa ini terjadi?
Saya selalu mengatakan kepada Freeport, perusahaan memiliki program pengembangan komunitas sekitar. Ratusan miliar. Tolong alokasikan tepat sasaran. Tidak hanya diberikan ke masyarakat sekitar, tapi berikan juga ke kelompok yang masih menganggap secara ideologis Papua harus merdeka. Menurut saya kekerasan di wilayah Timika masih terjadi karena pendekatan kesejahteraan belum optimal. Tentu saja hal ini juga disebabkan ada masyarakat yang terindoktrinasi agenda politik kelompok-kelompok tadi.
Mengapa masih sulit bagi wartawan untuk meliput di kawasan Papua?
Kita bicara media secara keseluruhan, dan secara khusus media asing ya. Saya pribadi melihatnya ada unsur plus dan minus. Plusnya, kalau media dibiarkan meliput secara meluas di Papua, dan liputannya obyektif maka media akan menyajikan pembangunan ekonomi di Sorong, Merauke, Bintuni, Manokwari. Keadaannya bagus. Dalam konteks ini rugi sih membatasi akses media.
Masalahnya, di sisi lain, ada potensi minus dari pemberitaan media. Kontak dengan gerakan-gerakan yang ada. Kita tidak bisa menutup mata bahwa media dapat menjadi bagian dari jaringan intelijen negara lain. Di dunia ini, penyamaran paling efektif bagi kegiatan intelijen adalah sebagai wartawan atau sebagai peneliti. Dua profesi itu memungkinkan seseorang menemui siapa saja, mewawancarai semua pihak. Seorang peneliti bahkan bisa menyebarkan kuesioner survei ke masyarakat di sana.
Yang repot jika data yang dikumpulkan oleh jaringan intelijen asing yang menyamar menjadi wartawan atau peneliti itu lantas dipublikasikan, dijadikan alat menekan Indonesia. Kalau pemberitaannya positif, menyoroti pembangunan, bagus. Tapi kalau yang dituju adalah memberitakan demo, insiden ini-itu, kemiskinan, hak asasi manusia, bahkan mengatakan bahwa otonomi khusus gagal, itu bahaya. Media asing punya agenda tersendiri. Papua yang kondisinya memanas dapat menjadi kartu menekan Indonesia.
Menurut Anda, apa peran online media dalam pemberitaan Papua?
Dengan sifatnya yang menyebarkan informasi secara cepat, saya berharap online media termasuk viva.co.id dapat membantu membangun citra Papua yang aman dan terus membangun. Ada semacam kompetisi untuk membangun citra antara pemerintah dengan kelompok yang berseberangan dengan semangat NKRI. Propaganda vs kontra propaganda.
Media adalah ajang membangun citra. Saya berharap viva.co.id memberi perhatian juga pada aspek positif tentang Papua, dan tidak mudah terkena isu propaganda yang disampaikan oleh kelompok yang berseberangan. Sampaikan berita dengan data yang akurat. Sampaikan fakta yang akurat pula.(umi)
viva.co.id