Filipina, Vietnam, Indonesia, Malaysia, Thailand dan Taiwan
meningkatkan kemampuan militer mereka dalam menghadapi ancaman yang
semakin kuat dari China. Tapi sebagian besar pengeluaran belanja itu,
tidak untuk produsen senjata dari Amerika Serikat.
China selama beberapa tahun terakhir telah meningkatkan kedaulatannya
atas Laut Cina Selatan, bahkan untuk bagian wilayah yang jauh dari
daratan China. Sebagai akibatnya, negara-negara lain di wilayah tersebut
mengalokasikan lebih banyak uang untuk senjata dan diperkirakan akan
menghabiskan lebih banyak lagi.
IHS Janes melihat hampir setiap negara di wilayah Laut China Selatan
meningkatkan belanja pengadaan peralatan militer -anggaran militer
Indonesia diperkirakan akan meningkat 61 persen pada 2021, dan Filipina
membuat dua kali lipat pengeluaran dalam kurun waktu tersebut.
Namun sejauh ini,
kebanyakan pengeluaran mereka tidak ke Amerika Serikat. Antara tahun
2012 dan 2013, nilai penjualan militer AS dengan semua negara itu
kecuali satu negara, menurun seperti yang tercatat dalam laporan
Departemen Pertahanan AS.
“Amerika Serikat adalah penyedia terbesar dari sistem keamanan (di
dunia secara keseluruhan), tetapi negara-negara ini memahaminya lebih
luas dari pada sekedar ke AS,” ujar Gregory Polling, dari CSIS.
Ambil contoh Vietnam. Negara ini memiliki sistem pertahanan paling
modern di antara semua negara di Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara
(ASEAN), tapi 72 persen pengadaan peralatannya dari Rusia untuk kontrak
yang ditandatangani sejak 2010.
Pemasok senjata utama lainnya ke wilayah Laut Cina Selatan adalah:
Perancis, Inggris, Spanyol, Korea Selatan, Jepang dan Brasil, menurut
data yang analis pertahanan senior di IHS Janes, Ben Moores.
Moores menunjuk beberapa contoh terbaru dari kontrak ke negara-negara
selain Amerika Serikat: Filipina membeli jet latih FA-50 jet dan
pesawat tempur dari Korea Selatan; Enam kapal selam kilo Vietnam dan 12
korvet dari Rusia; dan Indonesia membeli 20 frigat dari Belanda untuk
meng-upgrade kemampuan angkatan laut yang lemah.
Filipina, negara yang merasakan ancaman paling langsung dari upaya
Cina untuk membangun kepemilikan pulau-pulau di Spratly -terlihat
menghabiskan lebih banyak anggaran untuk persenjataan maritim, dengan
pengadaan pertahanan tahunan naik dari $ 273 miliar saat ini, menjadi $
500 juta pada 2021, menurut IHS Janes.
“Militer Filipina telah menjadi negara yang lemah untuk waktu yang
lama,” kata Duncan Innes-Ker, Editor Regional untuk Economist
Intelligence Unit, Asia. “Mereka benar-benar tidak memiliki kapasitas
untuk angkatan laut. Bahkan jika berinvestasi lebih, hal itu tidak akan
pernah mampu menciptakan kekuatan yang membuat China berpikir dua kali.”
Yang pasti, Amerika Serikat terus memasok peralatan militer ke
negara-negara yang terlibat dalam sengketa Laut Cina Selatan.
Penandatanganan kontrak AS untuk pengiriman antara 2010 dan 2024
berjumlah sekitar 30 persen dari total kontrak Filipina, 40 persen untuk
Singapura dan 90 persen untuk total kontrak Taiwan, menurut data IHS
Jane. Untuk Indonesia dan Malaysia, kontrak AS masing-masing sekitar 9,7
persen dan 3,3 persen.
Gregory Polling mengatakan Amerika Serikat memberikan kontribusi
dengan cara lain yang tidak tercermin dalam data Departemen Pertahanan,
seperti membantu Filipina meningkatkan infrastruktur militer, misalnya.
“AS sudah berkomitmen untuk membantu meningkatkan kapasitas
mitra-mitranya,” katanya. “Komitmen itu untuk memperluas infrastruktur
militer, membangun lapangan udara, landasan pacu, meningkatkan kemampuan
angkatan laut dan angkatan udara dan kapasitas pengisian bahan bakar,
dan infrastruktur lainnya.”
Moores mengatakan bahwa Vietnam memiliki keunggulan atas
negara-negara lain di kawasan karena telah berkonflik dengan China lebih
awal. Bagi yang lain, sudah terlambat dalam permainan untuk mengejar
China.
“Semua negara ini mencoba membangun militer mereka di saat China
sudah melangkah jauh dengan dana yang lebih besar” kata moores. “Mereka
bisa menghadirkan polisi tidur yang besar, tapi tidak dapat secara
individual melawan angkatan laut China”.(CNBC.com)