Pages

Sunday, 24 May 2015

Militer Asean Ibarat Polisi Tidur Bagi China

Filipina, Vietnam, Indonesia, Malaysia, Thailand dan Taiwan meningkatkan kemampuan militer mereka dalam menghadapi ancaman yang semakin kuat dari China. Tapi sebagian besar pengeluaran belanja itu, tidak untuk produsen senjata dari Amerika Serikat.

China selama beberapa tahun terakhir telah meningkatkan kedaulatannya atas Laut Cina Selatan, bahkan untuk bagian wilayah yang jauh dari daratan China. Sebagai akibatnya, negara-negara lain di wilayah tersebut mengalokasikan lebih banyak uang untuk senjata dan diperkirakan akan menghabiskan lebih banyak lagi.

IHS Janes melihat hampir setiap negara di wilayah Laut China Selatan meningkatkan belanja pengadaan peralatan militer -anggaran militer Indonesia diperkirakan akan meningkat 61 persen pada 2021, dan Filipina membuat dua kali lipat pengeluaran dalam kurun waktu tersebut.
Kapal Republik Indonesia (KRI) kelas Multi Role Light Fregate (MRLF) KRI Usman Harun (USH)-359 melintas diperairan Karimunjawa, Jawa Tengah, Minggu (28/9). [Antara/M Risyal Hidayat] -
Kapal Republik Indonesia (KRI) kelas Multi Role Light Fregate (MRLF) KRI Usman Harun (USH)-359 melintas diperairan Karimunjawa, Jawa Tengah, Minggu (28/9). 

Namun sejauh ini, kebanyakan pengeluaran mereka tidak ke Amerika Serikat. Antara tahun 2012 dan 2013, nilai penjualan militer AS dengan semua negara itu kecuali satu negara, menurun seperti yang tercatat dalam laporan Departemen Pertahanan AS.

“Amerika Serikat adalah penyedia terbesar dari sistem keamanan (di dunia secara keseluruhan), tetapi negara-negara ini memahaminya lebih luas dari pada sekedar ke AS,” ujar Gregory Polling, dari CSIS.

Ambil contoh Vietnam. Negara ini memiliki sistem pertahanan paling modern di antara semua negara di Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), tapi 72 persen pengadaan peralatannya dari Rusia untuk kontrak yang ditandatangani sejak 2010.

Pemasok senjata utama lainnya ke wilayah Laut Cina Selatan adalah: Perancis, Inggris, Spanyol, Korea Selatan, Jepang dan Brasil, menurut data yang analis pertahanan senior di IHS Janes, Ben Moores.

Moores menunjuk beberapa contoh terbaru dari kontrak ke negara-negara selain Amerika Serikat: Filipina membeli jet latih FA-50 jet dan pesawat tempur dari Korea Selatan; Enam kapal selam kilo Vietnam dan 12 korvet dari Rusia; dan Indonesia membeli 20 frigat dari Belanda untuk meng-upgrade kemampuan angkatan laut yang lemah.

Filipina, negara yang merasakan ancaman paling langsung dari upaya Cina untuk membangun kepemilikan pulau-pulau di Spratly -terlihat menghabiskan lebih banyak anggaran untuk persenjataan maritim, dengan pengadaan pertahanan tahunan naik dari $ 273 miliar saat ini, menjadi $ 500 juta pada 2021, menurut IHS Janes.
Jet tempur J-15 Shengyang di Kapal Induk Liaoning China
Jet tempur J-15 Shengyang di Kapal Induk Liaoning China

“Militer Filipina telah menjadi negara yang lemah untuk waktu yang lama,” kata Duncan Innes-Ker, Editor Regional untuk Economist Intelligence Unit, Asia. “Mereka benar-benar tidak memiliki kapasitas untuk angkatan laut. Bahkan jika berinvestasi lebih, hal itu tidak akan pernah mampu menciptakan kekuatan yang membuat China berpikir dua kali.”

Yang pasti, Amerika Serikat terus memasok peralatan militer ke negara-negara yang terlibat dalam sengketa Laut Cina Selatan. Penandatanganan kontrak AS untuk pengiriman antara 2010 dan 2024 berjumlah sekitar 30 persen dari total kontrak Filipina, 40 persen untuk Singapura dan 90 persen untuk total kontrak Taiwan, menurut data IHS Jane. Untuk Indonesia dan Malaysia, kontrak AS masing-masing sekitar 9,7 persen dan 3,3 persen.

Gregory Polling mengatakan Amerika Serikat memberikan kontribusi dengan cara lain yang tidak tercermin dalam data Departemen Pertahanan, seperti membantu Filipina meningkatkan infrastruktur militer, misalnya. “AS sudah berkomitmen untuk membantu meningkatkan kapasitas mitra-mitranya,” katanya. “Komitmen itu untuk memperluas infrastruktur militer, membangun lapangan udara, landasan pacu, meningkatkan kemampuan angkatan laut dan angkatan udara dan kapasitas pengisian bahan bakar, dan infrastruktur lainnya.”

Moores mengatakan bahwa Vietnam memiliki keunggulan atas negara-negara lain di kawasan karena telah berkonflik dengan China lebih awal. Bagi yang lain, sudah terlambat dalam permainan untuk mengejar China.

“Semua negara ini mencoba membangun militer mereka di saat China sudah melangkah jauh dengan dana yang lebih besar” kata moores. “Mereka bisa menghadirkan polisi tidur yang besar, tapi tidak dapat secara individual melawan angkatan laut China”.(CNBC.com)