Bermula saat operasi militer di Aceh tahun 2003, TNI mengalami masalah operasional kendaraan tempur dan kendaraan angkut personil. Pasalnya, suku cadang sulit diperoleh gara-gara embargo tersebut.
Sehingga saat itu, TNI membutuhkan kendaraan angkutan personel khusus yang mendesak. Kemudian, Panglima TNI saat itu, Endriartono Sutarto meminta bantuan ke PT Pindad (Persero) untuk merancang kendaraan tempur angkut personil.
Dengan anggaran terbatas, akhirnya Pindad menawarkan APR-1V. Kendaraan tempur ini, nantinya menjadi cikal bakal Panser ANOA 6X6.
“Kita akhirnya bisa buat panser APR -1V. Harganya di batas Rp 500 juta unit,” tutur Staf Divisi Kendaraan Khusus, Sena Maulana kepada detikFinance di Kantor Pusat Pindad, Jalan Gatot Subroto, Bandung, Jawa Barat, Rabu (17/4/2013).
Kemudian dari sana, Pindad dibantu Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) merancang penyempurnaan APR-1V menjadi Panser APS berbagai varian. APS mengalami berbagai penyempurnaan, mulai dari mengganti komponen mesin dan baja lokal yang gagal dicoba.
Akhirnya, tahun 2006, dimulai pengembangan panser APS-3 dengan mesin dan penggerak dari Renault Prancis. Panser ini, kemudian menjelman menjadi Panser Anoa 6X6.
“Dibuatlah 2 prototype, semua konten 2006. Dulu Perkasa masih ada. Dulu panser full dari dalam negeri, enjine dari dalam negeri yakni pakai perkasa. Namun kemampuan mereka terus menurun dan nggak berhasil buat enjine besar,” tambahnya.
Setelah muncul prototype, kemudian dibeli oleh TNI melalui mantan Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla. Berangkat dari pembelian itu, panser yang sempat diragukan, kemudian berubah menjadi panser yang diidolakan.
Panser yang dibandrol mulai dari harga Rp 8 miliar per unit ini, telah dirancang dan diproduksi sebanyak 7 varian yakni varian ambulance, angkut personel (APC), komando, logistik BBM, logistik munisi, mortir 80 carrier.
Sumber detikfinance