Setelah proklamasi kemerdekaan dan nasionalisasi
besar-besaran, orang-orang Indonesia mengambil-alih berbagai aset milik
orang asing, terutama Belanda.
SUKARNO tak
terima dengan keputusan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 29 November 1957
bahwa Irian Barat berada di bawah kekuasaan Belanda. Pemulangan
orang-orang Belanda ditetapkan dalam sidang kabinet.
“Sesuai dengan putusan sidang Kabinet
tanggal 5 Desember terhadap 9.000 orang warga negara Belanda yang
umumnya pada waktu itu tidak mempunyai pekerjaan tetap, akan didahulukan
pemulangannya,” tulis Merdeka, 10 Desember 1957.
Ini mendorong pengambil-alihan properti
milik orang-orang Belanda. Misalnya, NV Jacobson van den Berg,
perusahaan bidang asuransi dan industri, salah satu The Big Five (lima
perusahaan besar milik Belanda), diambil-alih Serikat Buruh Jacoberg.
“Karyawan serta-merta mengibarkan bendera merah putih. Mereka juga
memasang spanduk besar pada tembok depan bangunan bertuliskan kata-kata
‘Milik Republik Indonesia’,” tulis Thomas B. Ataladjar dalam Toko Merah.
Pengambil-alihan properti tersebut
merupakan jilid kedua. Sebelumnya, pascaproklamasi kemerdekaan, hal yang
sama terjadi. Dari percetakan hingga hotel. Beberapa di antaranya
bersalin rupa.
Harian Merdeka, misalnya, terbit setelah beberapa mantan wartawan Asia Raya mengambil-alih percetakan Belanda De Uni, tempat harian Asia Raya
dicetak. Di Surabaya, perusahaan Soerabaja Sekken Kozyo, yang
dijalankan kembali dengan nama baru “paberik Saboen dan Minjak Wangi
Ardjoena”, diiklankan di Soeara Rakjat, 25 Oktober 1945.
Pengambil-alihan berbagai perusahaan
milik Belanda, jelas kerugian bagi perekonomian Belanda. Karena itu,
Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia dan datang untuk merebut
kembali berbagai potensi ekonomi yang semula dikelolanya. Sehingga,
agresi militer Belanda pertama pada Juli 1947 dinamakan Operation Product.
Selama operasi, Belanda berhasil
menguasai seluruh pelabuhan perairan dalam di Jawa. Di Sumatra,
perkebunan-perkebunan, instalasi minyak, dan batubara juga dikuasai.
“Karena serangan itu sangat mendadak dan berjalan cepat, sebagian besar
infrastruktur dan perkebunan komoditas ekspor dikuasai tanpa kerusakan
walaupun beberapa kekuatan republik ketika mundur berusaha menghancurkan
apa pun yang mereka bisa,” tulis Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks
dalam Ekonomi Indonesia 1800-2010.
Indonesia dapat kembali mengambil-alih
berbagai perusahaan Belanda sebagai “Milik Republik Indonesia” pada
Desember 1957, ketika terjadi nasionalisasi dan pengusiran orang-orang
Belanda secara besar-besaran.historia