Pages

Friday, 12 July 2013

Kebijakan MEF dan Tantangannya

Bila kita membicarakan MEF atau Minimum Essential Force sejauh ini selalu mengundang kontroversi. Kontroversi akan selalu muncul, selama tidak ditemukan acuan bakunya. Acuan baku dalam hal ini adalah, terminologi minimum, yang pasti akan mengandung makna minimum dari atau terhadap apa. Essential Force, dapat saja diartikan sebagai kebutuhan sebenarnya dan atau kebutuhan yang merupakan inti atau esensi dari kebutuhan itu sendiri. Dalam bayangan, maka essential force adalah kebutuhan riil dari satu kekuatan yang ingin dibangun. Bila itu memang sudah ada, maka dipastikan essential force akan berujud atau seyogyanya berujud sebagai Master Plan dari satu kekuatan inti Angkatan Perang yang diinginkan. Pertanyaannya adalah, apakah Master Plan tersebut sudah ada.
Sejauh ini, maka MEF memberikan kesan, satu program pembentukan kekuatan minimal bagi Angkatan Perang kita. Minimum dalam hal ini lebih terkesan disebabkan oleh keterbatasan dana yang tersedia. Lebih jauh lagi, selama ini MEF juga mengesankan bertujuan hanya kepada pengadaan atau procurement dari alutsista TNI. MEF yang diakibatkan oleh keterbatasan dana dan hanya “seolah-olah” berbicara masalah pengadaan alutsista, juga terkesan masih mandiri terdiri dari masing-masing Angkatan. Paling tidak, dari pengamatan selama ini belum terlihat benar keterpaduan dalam perencanaan yang direfleksikan pada pengadaan alutsista tersebut.
Selain tidak mengesankan keterpaduan, terlihat pula bahwa penggunaan dana dalam pengadaan alutsista terkesan juga terkonsentrasi pada pembelian saja. Dalam hal ini, tidak terlihat dengan jelas, bagaimana dukungan dana pemeliharaan sebagai akibat dari pengoperasian peralatan alutsista tersebut. Hal ini, sangat mudah terlihat kemudian dari “kesiapan” alutsista pasca pengadaan selesai dilakukan. Demikian pula tidak tergambar dengan baik, proses dari “related program” sebagai aliran dari proses pengadaan satu sistem senjata. Misalnya, paket pelatihan sdm terkait dan pengadaan peralatan dukungan, baik operasional maupun pemeliharaan.
Master Plan
Satu “postur kekuatan perang”, seyogyanya tertuang dalam sebuah Master Plan yang berjangka panjang , bernilai strategis, komprehensif, berkelanjutan dan merefleksikan keterpaduan matra dalam konteks “combat readiness” yang diinginkan sesuai tugas pokok yaitu menjaga kedaulatan Negara. Hal ini biasanya adalah merupakan bagian inti dari satu sistem pertahanan satu Negara, yang mengalir dari kebijakan nasional Negara (National Interest). Dalam mencapai tujuannya , satu Negara akan berhadapan dengan dua aspek yang pokok yaitu Security dan Prosperity. Didalam aspek Security inilah, sistem pertahanan Negara biasanya dituangkan yang nantinya akan berujud antara lain susunan unsur tempur atau postur Angkatan Perang yang dirumuskan kedalam satu pola yang dikenal dengan terminology “combat readiness”.
Perbatasan Kritis / Critical Border
Dalam format yang sederhana, pertahanan satu Negara adalah laksana pagar dari satu rumah kediaman, dalam kerangka mengantisipasi bahaya ancaman yang datang dari luar. Itu sebabnya, maka setiap Negara akan berusaha membangun pagar keamanan bagi negaranya didaerah perbatasan Negara. Sejarah dunia mencatat bahwa lebih dari 60 % penyebab perang adalah sengketa perbatasan atau “border dispute”. Pada kenyataannya, tidaklah mungkin satu Negara membangun pagar di sepanjang kawasan perbatasannya. Maka yang menjadi prioritas adalah daerah perbatasan yang kritis (Critical Border) yang dibangun pagarnya. Sekedar contoh, tembok China, tembok Berlin dan SDI nya Ronald Reagan adalah pagar dan atau pagar imajiner yang dibangun disepanjang kritikal border dalam menjaga keamanan dan pertahanan Negara terhadap kemungkinan datangnya ancaman yang mungkin terjadi. Kesemua itu adalah bagian yang utuh dari upaya satu Negara menjaga kedaulatannya, kehormatannya sebagai satu Bangsa. Di darat, banyak masalah yang dihadapi di daerah perbatasan di Kalimantan, Papua dan beberapa tempat lainnya. Di Laut, kita berhadapan dengan banyak masalah pencurian kekayaan laut kita yang sangat luas itu, serta banyaknya Nelayan kita yang ditangkap oleh pihak keamanan Negara lain diwilayah perairan kita sendiri. Di udara begitu banyak masalah penerbangan liar yang tidak sanggup kita awasi dan atasi dengan baik, sementara beberapa bagian wilayah udara kedaulatan kita berada dalam “pengaturan” Negara lain atas nama “International Aviation Safety Standard”. Itu hanyalah beberapa topik yang sangat mudah untuk diangkat dalam konteks “ancaman terhadap kedaulatan Negara” kita.
Disisi lain, Negara Republik Indonesia sebagai sebuah Negara kepulauan yang terbesar di dunia dengan garis pantai yang terpanjang , alangkah tidak mungkin kita dapat memagari seluruh kawasan perbatasan negeri ini. Lalu bagaimana dan dimana kritikal border yang harus menjadi prioritas untuk segera di pagari. Beberapa pertimbangan berikut ini, akan membawa kita kepada satu kesepakatan, dimana gerangan letak dari daerah perbatasan kritis dari Negara kesatuan Repubblik Indonesia. :
90 % Global transportasi komersial diangkut melalui Laut, dengan jumlah kapal kargo yang mencapai jumlah lebih kurang 53.000 kapal cargo.
Lebih dari separuh angkutan laut komersial dunia melewati Selat Malaka, Selat Sunda/Karimata dan Selat Lombok/Makassar.
Perkiraan kasar dari aktifitas angkutan laut adalah terdiri dari :
80 % China Crude Oil imports
60 % Japan, Korsel dan Taiwan energy supplies.
Sementara itu, sebagai catatan, Oil transportation yang melewati Selat Malaka lebih dari 6 kali lipat terusan Suez.
Khusus untuk lalu lintas di Selat Malaka :
Setiap harinya lebih dari 3000 kapal niaga yang melintas .
Dikawasan ini dilaksanakan Jointly patrolled oleh Negara-negara kawasan terkait yaitu RI,Thailand, Malaysia dan Singapura.
ALKI yang paling dalam dan paling luas adalah yang terletak di : Selat Makassar – Lombok/Wetar (ALKI IIIA/B/C) yang posisinya berada di Selatan Timur Indonesia .

Nah, uraian tersebut dengan sangat gamblang mengantarkan kita kepada kesimpulan bahwa perbatasan kritis kita adalah yang terletak di Selat Malaka dan di daerah perairan Selatan Timur.
Prioritas Kekuatan yang harus dibangun
Dari kenyataan yang ada , kedua kritikal border tersebut adalah merupakan daerah perairan yang rawan. Ditambah lagi Indonesia sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia memiliki garis pantai paling panjang yaitu 54.716 Km. Dengan demikian, bila kita ingin membangun pagar pada kritikal border tersebut, maka tidak bisa tidak kita harus berorientasi kepada kekuatan armada laut. Sekedar catatan sejarah yang patut dicermati , bahwa :
“Sejak Dahulu kala, Runtuhnya Negara Pantai di South East Asia oleh kekuatan Barat, adalah karena lemahnya kekuatan laut yang dimiliki dalam menghadapi armada laut Negara-negara Eropa (kolonial)”

Kesimpulan ikutannya adalah , sesudah disepakati bahwa We Need Sea Power ! maka harus senantiasa diingat bahwa Sea Power will be Nothing without Air Power, without Air Superiority. (Ingat Tragedi Laut Aru)
Ancaman dari Udara
Dalam membangun kekuatan udara yang antara lain bertugas memberikan payung perlindungan bagi pelaksaan tugas armada laut, ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan. Salah satu adalah bahwa uniknya ancaman yang akan datang dari Udara sifatnya selalu berupa : Omni Directional Threat, yang dapat datang dari segala penjuru. Contoh fatal dari jebolnya ancaman yang datang dari udara dapat dipelajari pada peristiwa serangan besar-besaran armada Udara Angkatan Laut Kerajaan Jepang ke Pearl Harbor 7 Desember 1941 dan peristiwa 911 yang menyerang Washington dan New York di tahun 2001 yang lalu.. Khusus peristiwa 911, kejadian tersebut telah memberikan pelajaran yang sangat berharga dalam konteks yang ternyata ancaman bisa juga datang dari aktifitas yang tidak terduga yaitu operasional dari penerbangan sipil. Civil Aviation, ternyata juga sudah masuk dalam kategori “potential threat”. Dari sinilah kemudian muncul penataan ulang dalam banyak Negara di dunia dalam pengaturan lalu lintas penerbangan dengan melebur Civil – Military Air Traffic Flow Management System, dalam satu wadah pengorganisasian pertahanan Negara. Itu pula sebabnya kemudian isu dari pengaturan penerbangan sipil dan masalah FIR Singapura yang tengah kita hadapi haruslah dipandang sebagai satu masalah serius yang sangat penting dalam konteks pertahanan Negara. Dia sudah bukan lagi menjadi domain nya Kementrian Perhubungan belaka, namun sudah harus menjadi bagian lintas institusi yang terintegrasi dari tugas-tugas Kementrian Luar Negeri, Kementrian Pertahanan , Kementrian Dalam Negeri dan tentu saja Mabes TNI serta jajaran Pertahanan Udara Nasional. Sebab yang paling utama adalah karena kawasan tersebut berada tepat di kritikal border. Daerah perbatasan kritis, yang secara alamiah selalu menjadi tempat berlatihnya kekuatan perang dalam mempersiapkan dan memelihara “combat readiness”. Kawasan perbatasan, terutama kawasan perbatasan kritis adalah tempat yang harus menjadi lokasi yang “familiar” dari kekuatan unsur tempur Angkatan Perang suatu Negara. “Border Dispute” selalu berawal dari daerah perbatasan yang kritis.
Dengan bentuk yang unik, Indonesia sebagai satu Negara kepulauan yang terletak pada posisi strategis, serta memetik pelajaran dari sejarah peperangan yang pernah terjadi dimuka bumi ini, maka keterpaduan matra dalam hal ini Darat, Laut dan Udara adalah merupakan pilihan yang mutlak dalam konteks perencanaan pembangunan kekuatan yang efisien.
Organisasi
MEF, selayaknya tidak hanya terfokus kepada proses pengadaan alutsista belaka, akan tetapi juga harus menyentuh sistem senjata secara utuh dan mekanisme kerja yang bertopang kepada pengorganisasian dari postur satu Angkatan Perang. Dalam hal ini adalah Angkatan Perang Negara Kepulauan terbesar di dunia. Beberapa hal patut dipetimbangkan dengan tujuan efisiensi antara lain mengenai keberadaan Mabes TNI dan juga organisasi Angkatan Udara yang terpisah dari unit tempur sistem pertahanan udara nasionalnya. Hal ini selalu akan berhubungan dengan sekali lagi efisiensi penyiapan “Combat Readiness” yang akan berpengaruh besar kepada sistem komando dan pengendalian, kesiapan sdm dan alusista yang digunakan. Efisiensi disini akan sangat mempengaruhi pula penggunaan anggaran yang memang sudah terbatas itu.
Industri Strategis.
Pemberdayaan industri pertahanan strategis merupakan satu hal yang harus mutlak dilakukan. Dalam hal ini subsidi yang penuh dari pemerintah adalah merupakan masalah yang tidak dapat dihindari. Mengamati apa yang terjadi di beberapa Negara maju, maka satu industri strategis bidang pertahanan haruslah dimulai dengan membuat satu produk unggulan yang digunakan oleh Angkatan Perangnya sendiri. Penggunaan satu produk dengan fokus kepada pengembangannya di dalam negeri sendiri, biasanya akan dapat memancing Negara sahabat untuk juga menggunakannya. Dalam hal ini contoh yang sangat bagus adalah produk IPTN, atau PTDI sekarang ini yang berupa pesawat terbang CN- 235. Penggunaan yang cukup luas dimulai di dalam negeri sendiri telah merangsang beberapa Negara seperti Malaysia, Korea Selatan dan Thailand untuk menggunakannya juga. Patut diingat bahwa bertambahnya jumlah produksi satu pesawat akan sekaligus beriring dengan proses penyempurnaan dari produk tersebut. Semakin banyak digunakan, satu produk pesawat akan bergulir pula proses penyempurnaannya, seirama dengan banyaknya pula masukan berkait dengan permasalahan yang dihadapi dilapangan. Proses inilah yang akan berujud snowball yang bergulir, melibatkan banyak pihak-pihak lainnya yang terkait dengan produk pesawat terbang tersebut. Misalnya saja, CN-235 yang tadinya hanya untuk pesawat angkut ringan , telah berkembang dengan beberapa variantnya seperti Patroli Maritim, pesawat VIP dan juga sebagai pesawat multi guna seperti peran pembuat hujan buatan dan lain sebagainya. Sayangnya keberlanjutan produk CN-235 ini terhenti sejak PTDI mulai berkonsentrasi kepada produk-produk lain. PTDI kini semakin tidak jelas arahnya, apakah ingin menjadi pabrik pesawat, asembeling atau sekedar pembuat komponen saja. Dalam penyusunan rencana strategis, maka peran PTDI akan sangat dibutuhkan terutama dalam hal efisiensi pembangunan kekuatan dan system persenjataan.
Think Tank
Satu hal yang sangat penting dipikirkan adalah mengenai pusat kajian perang yang melibatkan pihak-pihak terkait bidang pertahanan Negara. Proses penelitian dan pengembangan yang sudah ada di Angkatan masing-masing, kiranya sangat memerlukan masukan dari berbagai pihak stake-holder pertahanan Negara. Dalam hal ini perlu dipikirkan pula mengenai ingentarisasi nara sumber untuk memperoleh pemikiran-pemikiran tambahan yang akan dapat diharapkan melengkapi proses perencanaan strategis. Di beberapa Negara, keberadaan para purnawirawan dan para purna-tugas institusi tertentu , (selain para akademisi berbagai pergururan tinggi), yang masih perduli terhadap pengabdiannya kepada Negara ditampung dalam satu wadah Think Tank yang berada dibawah Kementrian Pertahanan. Bahkan di Amerika dan banyak Negara Dominions Inggris, banyak Purnawirawan yang tetap didudukkan dalam beberapa badan Negara untuk dapat membantu keberlanjutan dari perencanaan strategis dibidang pertahanan. Di Malaysia dan juga di Australia hal tersebut dikembangkan dengan serius bahkan sampai kepada kelembagaan semi-formal. Di Australia dikenal satu badan Think Tank dari Kementrian Pertahanan bernama Kokoda Foundation yang sangat aktif memberikan masukan kepada pemerintahnya.
Keuntungan dan kerugiannya tetap ada, yaitu seorang purnawirawan biasanya dituduh sebagai, mengapa baru omong sekarang, dulu waktu aktif ngapain saja? Patut disadari, bahwa dengan beberapa batasan seperti hierarki, etika dan kepatutan seorang perwira aktif akan sangat sulit untuk dapat mengemukakan pemikiran-pemikirannya dengan leluasa. Sebaliknya di saat sudah purnawira, seorang perwira menjadi relatif lebih bebas untuk bisa “mengkritik” apa yang dilihat dan dipikirkannya yang berbasis dari pengalaman panjang penugasannya. Dengan berpikir positif, justru keperdulian dari tidak banyak perwira yang masih mau menyumbangkan pemikiran-pemikirannya itu akan sangat berguna dimanfaatkan sebagai salah satu narasumber yang cukup relevan.
Penutup
Kiranya, dalam proses penyempurnaan dalam merumuskan MEF, diharapkan dapat dipertimbangkan beberapa hal, antara lain keberadaan Master Plan yang berada dalam tingkat strategis dan berjangka panjang dan tepat sasaran. Demikian pula didalam kerangka keterpaduan Matra sudah saatnya memberikan porsi yang lebih besar kepada peran Angkatan Laut dan Udara sesuai dengan anatomi dari ujud sistem pertahanan satu Negara berbentuk kepulauan. Demikian pula berkenaan dengan berbagai masalah ancaman kedaulatan yang kerap dihadapi selama ini. Selain itu, pemberdayaan industri strategis pertahanan harus benar-benar dikelola dengan cermat sesuai kebutuhan nyata dari satuan TNI . Untuk mendapatkan bahan masukan yang relevan, tidak ada salahnya mempertimbangkan pemikiran-pemikiran yang masih ada dari banyak pihak terkait, sebagai salah satu sumber informasi yang kompeten.


chappyhakim