Pages

Thursday, 12 September 2013

Belanda Minta Maaf atas Kekejaman Westerling, Bagaimana Kasus Lainnya?


Permintaan maaf itu disambut baik dan juga kritik.
Kapten Raymond Westerling 

Setelah hampir 67 tahun, Kamis pagi 12 September 2013, pemerintah Belanda akhirnya menyampaikan permintaan maaf kepada Indonesia. Permintaan maaf atas dosa pasukan Belanda pimpinan Kapten Raymond Westerling, yang telah membantai penduduk Sulawesi Selatan dalam kecamuk Perang Kemerdekaan RI selama 1946-1947. Permintaan maaf yang disampaikan Duta Besar Belanda Tjeerd de Zwaan,itu disambut baik dan diharapkan sanggup membuka babak baru menuju hubungan yang bersahabat antara dua negara.
Dalam pidatonya, Zwaan mengatakan bahwa acara permintaan maaf ini secara khusus didedikasikan kepada para janda dari korban pembantaian para tentara Belanda di masa lampau. Pemerintah Belanda, kata Zwaan, ingin memperbaiki hubungan dengan Indonesia.
"Para korban secara langsung telah mengalami bagaimana hubungan antara Belanda dan Indonesia memburuk bertahun-tahun usai proklamasi Kemerdekaan Indonesia," kata Zwaan. Oleh sebab itu Pemerintah Belanda merasa perlu bertanggung jawab demi menghormati para janda korban pembantaian di Sulawesi Selatan.

"Atas nama Pemerintah Belanda saya meminta maaf yang sedalam-dalamnya atas kejadian-kejadian ini. Hari ini saya juga meminta maaf kepada para janda dari Bulukumba, Pinrang, Polewali Mandar dan Parepare," kata Zwaan.

Zwaan menambahkan bahwa selama beberapa tahun terakhir, para janda dari Sulawesi Selatan dan Rawa Gede (Bekasi), yang suaminya tewas akibat eksekusi besar-besaran yang dilakukan tentara Belanda telah mendatangi pengadilan di sana untuk meminta ganti rugi. "Pemerintah Belanda telah membuat kesepakatan dengan keluarga korban ini tentang kompensasi," imbuh Zwaan.

Niat meminta maaf ini sebenarnya sudah disampaikan oleh Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, di Den Haag pada 30 Agustus kemarin. Belanda telah meminta maaf dan membayar kompensasi kepada keluarga korban orang-orang dalam kasus-kasus tertentu, tetapi tidak pernah menyampaikan permintaan maaf dan menawarkan kompensasi bagi para korban eksekusi secara umum.

Permintaan maaf ditujukan Pemerintah Belanda untuk para janda yang berasal dari daerah Bulukumba, Pinrang, Polewali Mandar dan Parepare. "Pemerintah Belanda melihat perlunya permintaan maaf ini disampaikan secara terbuka, khususnya setelah terjadi berbagai peristiwa yang terjadi saat tentara Belanda masih berada di Indonesia," kata dia.

Ditanya apakah permintaan maaf juga akan disampaikan kepada keluarga korban lainnya saat penjajahan Belanda selama 3,5 abad di tanah air, Zwaan menegaskan bahwa acara hari ini hanya diperuntukkan bagi keluarga korban di Sulawesi Selatan.

Selain permintaan maaf, Pemerintah Belanda juga diketahui memberikan kompensasi senilai 20 ribu Euro atau Rp301 juta kepada setiap janda korban pembantaian itu. Ditanya apakah dana kompensasi itu telah diberikan, Zwaan mengatakan dana tersebut telah diterima oleh masing-masing perwakilan keluarga.

"Namun untuk prosedur teknis bagaimana pengirimannya, Anda bisa memperoleh keterangannya melalui pengacara masing-masing keluarga," ujar Zwaan.

Dari data Kedubes, saat ini tercatat sudah ada 10 janda yang menerima kompensasi tersebut. Mereka merupakan sebagian dari para janda korban yang pernah mendatangi pengadilan Belanda untuk meminta ganti rugi.

Acara permintaan maaf secara terbuka ini sebenarnya berlangsung lancar. Namun, saat kalangan media massa ingin mewawancarai kerabat keluarga korban yang diundang untuk dimintai kesan mereka, salah satu dari mereka mengaku dilarang berbicara kepada pers. Pihak kedutaan pun tampak tidak memberi kesempatan kepada media untuk berinteraksi secara langsung kepada mereka selama dan usai acara.

Saat dikonfirmasikan kepada Dubes de Zwaan, dia mengaku tidak tahu menahu perihal tersebut. De Zwaan hanya mengatakan dia merasa terhormat, karena perwakilan keluarga bersedia terbang dari Sulawesi Selatan ke Jakarta. "Yang saya tahu, mereka lah yang tidak ingin berbicara kepada media. Namun saya sangat senang, karena mereka bersedia hadir bersama kami di sini," kata de Zwaan.

Seorang staf Kedutaan Belanda, Nicolaas Schermers, menyarankan apabila media ingin mewawancarai salah satu keluarga korban, maka harus terbang langsung ke Sulawesi Selatan. Dubes de Zwaan mengatakan akan berkunjung ke Sulawesi Selatan untuk bertemu langsung dengan keluarga korban pembantaian Westerling. Zwaan dijadwalkan bertemu dengan perwakilan keluarga pada pekan depan, tanpa menyebut detail harinya.

Permintaan maaf dan pemberian uang duka itu tidak saja untuk korban Westerling di Sulawesi Selatan. Zwaan juga menyampaikan pernah berkunjung ke Rawagede, Bekasi, pada Desember 2011 untuk bertemu dengan keluarga korban pembantaian tentara Belanda di sana.

Pemerintah Belanda disebut Zwaan juga sudah meminta maaf terhadap korban pembantaian di Rawagede dan memberikan kompensasi kepada mereka. Hal itu disebabkan pada 14 September 2011, Pengadilan di Den Haag mengabulkan tuntutan keluarga korban kejahatan perang di Desa Rawagede. Pengadilan meminta Pemerintah Belanda harus mengakui kesalahannya dan memberi kompensasi kepada keluarga korban.

Sambutan Beragam
Pemerintah Indonesia pun menyambut baik permintaan maaf Pemerintah Belanda kepada rakyat Sulawesi Selatan atas kasus pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda pimpinan Westerling itu. "Pemerintah Indonesia sambut positif terkait permohonan maaf dan untuk berikan kompensasi kepada keluarga yang menjadi korban," kata Menteri Luar Negeri RI, Marty Natalegawa, di Jakarta.

Permintaan maaf Pemerintah Belanda terhadap tragedi di Sulawesi Selatan, menurut Natalegawa, juga diharapkan membuka proses serupa terhadap kasus-kasus lain. Dengan demikian, peristiwa masa lalu tidak sampai terus mengganggu hubungan bilateral RI-Belanda. "Masalah-masalah lalu segera diberikan penanganan yang baik," kata Natalegawa.

Namun sambutan yang kritis disampaikan Wakil Ketua Komisi I DPR Bidang Luar Negeri, Tubagus Hasanudin. Meski menyambut positif, Tubagus menilai permintaan maaf itu belum cukup. Sebab, secara historis, Belanda belum mengakui kemerdekaan Indonesia, yang jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945.

"Menurut Belanda, Indonesia baru merdeka pada tanggal 27 Desember 1949," kata Tubagus di Gedung DPR, Kamis 12 September 2013.

Menurut dia, tanggal pengakuan itu berarti apapun yang dilakukan Belanda dari tahun 1945 hingga 1949 dianggap sebagai tindakan yang sah dan legal. Bahkan, pada tahun-tahun itu, tindakan militer apapun yang dilakukan oleh Indonesia, dianggap Belanda sebagai tindakan ekstremis yang mengganggu keutuhan Hindia Belanda.

Tak hanya itu, kata Tubagus, Belanda juga harus minta maaf kepada rakyat Indonesia pada saat penyerangan 10 November 1945 di Surabaya, penangkapan terhadap Presiden Sukarno dan lain-lain.

Duta Besar Belanda dan Korban Rawagede
Keterangan Foto: Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Tjeerd de Zwaan, saat bertemu janda korban pembantaian di Rawagede pada Desember 2011. VIVAnews/Anhar Rizki Affandi
Sementara itu, sambutan yang getir diutarakan oleh sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Anhar Gonggong. Dia mengaku ayahnya dibunuh oleh pasukan Westerling di Pinrang, Sulawesi Selatan.

Anhar juga memiliki banyak kerabat di Pingrang, Pare-pare dan Bulukumba yang menjadi korban kejahatan Westerling. Namun dia mengaku selama ini dia atau keluarganya tidak pernah dimintakan maaf oleh Belanda.

Menurutnya, permintaan maaf tidak berarti bila disampaikan kepada orang per orang yang hanya menjadi perwakilan. Sebab, korban kejahatan itu jumlahnya ribuan bahkan puluhan ribu.

"Jadi tidak ada gunanya permintaan maaf kepada orang per orang. Kapan dia minta maaf kepada saya. Kalau kepada tiga keluarga itu oke bisa minta maaf, tapi kepada saya kapan?" kata Anhar.

Menurut Anhar, permintaan maaf Belanda juga harus dinilai apakah Belanda memandang korban sebagai rakyatnya di tanah jajahan ataukah sebagai warga negara lain yang merdeka. "Kalau bunyinya seperti di negara yang dia jajah, maka saya menolak," kata Anhar.

Menurut dia, kalau pemerintah Belanda serius minta maaf atas kejahatan berat di masa lalu, maka harus disertai dengan pengakuan atas kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.