Pages

Monday, 9 September 2013

Menuju Interoperasionalitas Pasukan Elit Asia Pasifik


Jakarta - Ada banyak pasukan elit di seluruh dunia, masing-masing memiliki standar operasi dan taktik serta peralatan yang berbeda; pun sejarah dan filosofi operasinya yang disesuaikan dengan kepentingan negara masing-masing.

Tiap kali pasukan elit digelar, pastilah kepentingan strategis menjadi latar belakangnya. Misalnya, dalam penyusupan Usman dan Harun dalam konfrontasi dengan Malaya ke Singapura. Kedua personel KKO (kini Korps Marinir TNI AL) itu akhirnya gugur setelah tertangkap dengan konsekuensi politik tingkat tinggi antara Singapura dan Indonesia.

Atau saat operasi pembebasan Kedutaan Besar Iran di London, Inggris, pada 5 Mei 1980. Operasi itu sukses, teroris penyanderan staf dan tamu kedutaan besar negara maghribi itu bisa ditumpas. Kali itulah pertama kalinya publik melihat langsung kebolehan personel Special Air Service dengan motto Who Dares Wins beraksi.

Kini disadari model dan pola operasi teroris dan jaringannya sudah berbeda. "Tidak seperti masa lalu, dalam beraksi mereka kini tidak perlu pengakuan publik," kata Panglima TNI, Jenderal TNI Moeldoko, di Pusat Latihan Pasukan Perdamaian PBB, di Sentul, Jawa Barat, Senin.

Dia membuka Latihan Gabungan Anti Teror ASEAN Plus yang diikuti 18 negara. Pasukan elit dari seluruh negara ASEAN hadir, bersama koleganya dari Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, Rusia, China, Australia, dan India. Mereka bukan adu kemahiran alias lomba kebolehan selama lima hari, pada 9-13 September ini.

Melainkan saling berbagi pengalaman, pengetahuan, dan informasi untuk mewujudkan kawasan Pasifik Barat yang aman dan terkendali. "Ini penting, agar kita bisa menjamin ketersediaan energi, pangan, air, dan banyak lagi sumber daya termasuk ekonomi internasional," kata Duta Besar Amerika Serikat untuk ASEAN, David Carden, yang bersama Moeldoko menjadi tuan rumah bersama.

Bagi militer dari negara manapun, konsep operasi dan jaringan teroris masa kini menjadi pijakan prediksi untuk menentukan berbagai aspek kinerja yang diperlukan. Mulai kurikulum pendidikan, profil personel, proses pembinaan dan pembentukan, keperluan persenjataan dan peralatan pendukung, hingga pelibatan oleh pemangku kepentingan politis negara.

Masih ada lagi, pola kerja sama internasional yang diperlukan. Wadah penyatuan persepsi inilah yang cukup sulit diwujudkan mengingat tidak jarang negara-negara di dalam kawasan justru berseteru selama bertahun-tahun.

Dengan begitu, diperlukan satu terobosan bersama untuk melunturkan kebekuan politik selama ini dalam bahasa diplomasi internasional militer.

Moeldoko, dalam kapasitasnya sebagai panglima TNI dan tuan rumah latihan itu, berujar, "Latihan ini harus dikembangkan, bukan cuma untuk memperdalam kemampuan taktik individu, kerja sama antar satuan."

"Tetapi juga meningkatkan kemampuan menyediakan data dan analisis untuk mendukung proses olah yudha mengembangkan taktik dan strategi. Karena itulah latihan gabungan ini harus realistis," kata dia.

Dari kepentingan Indonesia, latihan gabungan ini bisa juga dikatakan sebagai satu ujian wacana mewujudkan Komando Operasi Khusus TNI alias Indonesian Special Command, yang telah dimiliki Amerika Serikat sejak lama, bernama US Special Command.

Tidak salah jika dikatakan ada tujuan strategis dari latihan ini selain sekedar berkumpul dan berdiskusi bersama. Tujuan itu dinyatakan secara terang-benderang, yaitu, "Mempromosikan dan memperkuat kerja sama yang telah terjalin di antara militer yang tergabung dalam kerangka kerja sama ASEAN Plus ini."

"Yang paling utama adalah menciptakan interoperabilitas pasukan elit untuk menjaga perdamaian dan keamanan di kawasan," kata Moeldoko.

Dalam jangkar ideal inilah maka saling memahami, kesamaan persepsi, hingga landasan teknis lapangan sangat diperlukan. Maka wajar jika semua pasukan elit 18 negara itu untuk pertama kalinya bersedia berkumpul di Indonesia, negara yang konsisten berpolitik luar negeri bebas-aktif.

Pola terorisme sudah berubah drastis


Sejak lama disadari terorisme dengan jaringannya adalah ancaman nyata di depan mata, yang dikatakan Panglima TNI, Jenderal TNI Moeldoko, "Aksinya sudah berubah dari pola tradisional ke pola modern."

Berbicara saat meresmikan Latihan Gabungan Anti Teror ASEAN Plus, di Pusat Latihan Misi Perdamaian PBB TNI, di Sentul, Jawa Barat, Moeldoko menegaskan, aksi teroris dilakukan secara mandiri dengan struktur organisasi linier, terpisah, dan tidak jelas.

Latihan gabungan ini diikuti 18 negara, yaitu ke-10 negara ASEAN, ditambah Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, Rusia, China, Australia, dan India. Ini adalah amanat Pertemuan Menteri Pertahanan ASEAN pada 2010 lalu, yang dibagi-bagi ke dalam beberapa aspek.

Khusus untuk latihan anti teror, Indonesia menjadi tuan rumah bersama Amerika Serikat, yang saat peresmian diwakili Duta Besar Amerika Serikat untuk ASEAN, David Carden.

Dari sisi pendanaan, kata Moeldoko, teroris memakai jalur usaha kolektif atau usaha internal dan antarnegara. "Tidak seperti masa lalu, dalam beraksi mereka kini tidak perlu pengakuan publik," kata dia.

Carden juga berkomentar, "Kita memerlukan dunia yang terjamin keamanannya. Inilah tugas kita mewujudkan hal itu. Kawasan yang terjamin pangan, ekonomi, dan ketersediaan sumber daya harus kita jaga bersama."

Disadari bahwa tidak satupun negara di dunia kini yang bisa bekerja sendirian membasmi terorisme. Dari sisi operasionalisasi militer, diharapkan akan dihasilkan satu standar operasi dan kepaduan penggelaran pasukan elit internasional.

antaranews