F-35 Joint Srike Fighter (sumber : defense-update.com)
Perdana Menteri Australia Tony Abbott
pada hari Rabu (23/4/2014) akan mengumumkan keputusan pemerintah yang
akan membeli 58 buah pesawat tempur siluman F-35 Joint Strike Fighter
(JSF) buatan Lockheed Martin dari AS. Pesawat yang dikenal juga sebagai
Lightning II itu diputuskan oleh pemerintah Australia, dibeli seharga
A$12 miliar. Demikian harian ternama Australia Sydney Morning Herald
memberitakan pada hari Selasa (22/4/2014).
Pembelian pesawat tempur berkemampuan stealth
(anti radar) generasi kelima sebagai tulang punggung kekuatan udara
RAAF itu dikatakan sebagai pembelian terbesar Australia dan akan
mensejajarkan Australia menjadi negara maju setelah Jepang juga
memutuskan membeli pesawat serupa.
Australia akan menerima pesawat pertama
pada Tahun 2018 dan skadron baru itu akan beroperasi penuh pada tahun
2020. PM Abbott menurut SMHU menyatakan, "The fifth-generation F-35
is the most advanced fighter in production anywhere in the world and
will make a vital contribution to our national security."
Diberitakan juga keyakinan pemerintah Australia, bahwa pesawat F-35 yang
akan beroperasi bersama-sama dengan pesawat tempur Super Hornet serta
pesawat electronic warfare Growler akan memastikan Australia mampu
mempertahankan keunggulan udara di kawasan regional.
Biaya sepenuhnya (life time cost)
dari keseluruhan pembelian F-35 itu akan berkisar diangka A$12,4
miliar, termasuk juga perawatan, persenjataan serta spare parts, kini
merupakan akuisisi termahal Australia di bidang pertahanan, disamping
pembelian kapal selam kelas Collins.
Dislokasi F-35 adalah pada fighter
base RAAF Williamtown di NSW dan Tindal di Northern Territory yang akan
dimodernisir dengan biaya A$1,6 miliar untuk keperluan fasilitas serta
infrastruktur. Pada saat penulis masih aktif dan pernah mengunjungi
hombase fighter tersebut, masing-masing shelter terhubung dengan taxy
way yang langsung terhubung dengan run way, sehingga pada saat scramble,
kecepatan mengudara beberapa pesawat sangat menakjubkan.
Pesawat tempur F-35 itu sudah
direncanakan sejak lama akan menggantikan peran F/A-18 Hornet yang akan
dipensiun pada Tahun 2022, sehingga nantinya JSF akan beroperasi
sebagai tulang punggung pertahanan udara (Hanud) bersama-sama 24 buah
pesawat tempur Super Hornet serta 12 Growler, sebagai pesawat
radar-jamming.
Sebenarnya keputusan pembelian 3 skadron
F-35 itu sudah disebutkan dalam buku putih pertahanan Australia Tahun
2013 dari Partai Buruh.
Lieutenant-General Chris Bogdan yang
menangani khusus JSF dari Pentagon saat berkunjung ke Australia
menyatakan sebenarnya masih banyak masalah yang harus dibenahi dari F-35
khususnya masalah software, sehingga menyatakan sebagai "still a risky,
risky business," katanya.
Menhan Australia David Johnson
menyatakan, pembelian itu akan menguntungkan industri pertahanan
Australia, karena Pemerintahan John Howard pernah melakukan kerjasama
dalam produksi JSF, menjadi bagian proyek sebesar A$355 juta dan pada
masa mendatang diperkirakan akan mendapat pekerjaan manufaktur sebesar
A$1,6 miliar.
Analisis
Keputusan pemerintah Australia tersebut akan merubah balance of power,
khusus kekuatan udara di kawasan Asia Tenggara. Sebagaimana diketahui,
Amerika juga memberikan kebebasan kepada Pasukan Bela Diri Jepang dengan
perkuatan pesawat serupa.
Australia sebagai sekutu AS dikawasan
Asia Tenggara memang harus meningkatkan kemampuan gempur serta
pertahanan udaranya, karena perkiraan perkembangan geopolitik dan
geostrategi dikawasan Laut China Selatan. Tiongkok pada masa depan akan
menjadi negara yang sangat diperhatikan oleh AS serta sekutunya.
Sehingga Presiden Barack Omaba melakukan perubahan kebijakan luar negeri
dengan "strategic rebalancing" dan menggeser kekuatan tempurnya kekawasan Asia Pasifik yang disebut sebagai poros.
Dengan keputusan pembelian tiga skadron
F-35 itu maka Australia pada Tahun 2020 akan mempunyai kekuatan serta
kemampuan udara yang lebih unggul dibandingkan Indonesia. Pesawat F-35
yang dikenal anti radar serta pesawat Growler berkemampuan jamming akan
menjadi kekuatan udara terunggul di antara negara-negara Asia Tenggara.
Disamping itu, F-35 merupakan pesawat berkemampuan stealth yang dapat
membawa bom pintar akan mampu menyusup ke wilayah manapun hingga garis
belakang pertahanan sebuah negara.
Kondisi ini yang mampu merubah balance
of power di kawasan, sehingga semakin jelas terjadi perbedaan kekuatan
udara dengan Indonesia (TNI AU). Saat ini dengan kepemilikan pesawat
Sukhoi 27 dan Sukhoi 30, kemampuan pesawat tempur TNI AU berada diatas
kemampuan pesawat tempur Australia (RAAF) super hornet sekalipun. Ini
dibuktikan pada saat latihan bersama Pitch Black pada Tahun 2011. Para
ahli strategi militer Australia membuat pernyataan mengejutkan, bahwa
apabila terlibat pertempuran udara, para penerbang RAAF akan ditembak
jatuh oleh penerbang TNI AU sebelum mereka sadar.
Nah, dengan rencana Australia itu,
nampaknya TNI AU harus memikirkan renstra-renstra mendatang apabila
akan melakukan pengadaan pesawat tempur baru. Indonesia dengan kemampuan
TNI AU yang sudah mengoperasikan Sukhoi, hanya membutuhkan selangkah
lagi untuk dapat memiliki pesawat tempur canggih Rusia lainnya generasi
yang lebih maju, seperti Sukhoi-35 dan jet tempur T-50 PAK FA (Prospective Airborne Complex of Frontline Aviation)
yang juga berkemampuan siluman. Harga jet tempur Rusia harganya jauh
lebih murah dibandingkan F-35 yang harganya mencapai US$95 juta
perbuahnya (belum termasuk senjata).
Walaupun kita mengetahui bahwa keputusan
pembelian JSF untuk RAAF dalam rangka pembangunan kekuatan jaringan AS
dan sekutunya dalam mengantisipasi sikon di Laut China Selatan, paling
tidak TNI AU sebaiknya mulai memikirkan agar keseimbangan tetap terjaga.
Tidak dalam arti perlombaan senjata, tetapi paling tidak dengan harapan
ekonomi membaik dari pemerintahan baru, kita juga mampu
menyeimbangkannya. Paling tidak Sukhoi-35 adalah pilihan terbaiknya.
Dengan demikian pada saatnya nanti, tidak ada negara yang "nose up" kepada Indonesia. Daya kepruk udara memang harus tetap dijaga. Semoga bermanfaat.