Pages

Sunday, 20 April 2014

Bunga Pena dari Seberang, Sebuah Intermezo: SUMATERA, BATUBARA DAN TENTARA

 
Ilustrasi. Batu Bara di Sawah Lunto. image id.indonesia.travel

Kamis pagi, 17 April 2014. Kuala Lumpur masih terbaring dalam lelap yang dingin, setelah sepanjang malam hujan mengguyur dengan lebat. Suara adzan Subuh sayup-sayup terdengar menyelinap diantara lorong-lorong yang gelap dan dinding-dinding rumah yang tertutup rapat. Enam tahun yang lalu, ketika untuk pertama kalinya saya tinggal di tengah kota yang menjadi salah satu landmark keuangan terbesar di Asia, saya merasakan bahwa suara adzan adalah sesuatu yang langka dan terkesan mahal. Meskipun Malaysia adalah salah satu negara Islam di dunia, tetapi untuk mendengar suara adzan dan mencari mesjid untuk bersembahyang, tidak bisa serta-merta dengan mudah kita temukan. Hal ini sangat berbeda dengan di Indonesia yang notabene adalah negara skuler, tetapi kita bisa mendengarkan adzan dan menemukan mesjid dimanapun kita berada dengan begitu mudah. Hehehe..! Suatu kondisi yang patut kita syukuri dan tidak salah jika kita banggakan.

Secara yuridis formal, konstitusi kita jelas bukanlah Al Quran yang menjadi satu-satunya pijakan konstitusi di negara-negara muslim. Indonesia adalah suatu Republik yang berideologikan Pancasila yang berkonstitusikan pada UUD 1945. Namun dengan bilangan penduduk yang mayoritas muslim, menjadikan bangsa Indonesia bertingkah laku dan menjalankan hidup berdasarkan syariat Islam. Bahkan di suatu daerah, hukum Islam ditegakkan secara legal di bawah naungan Pancasila dan UUD 1945. Tetapi bukan soal konstitusi dan bentuk kedaulatan negara kita yang akan saya bicarakan disini. Saya ingin mengajak semua untuk menelaah  sebuah dokumen tebal yang tergeletak di meja saya.

Dokumen itu baru saya terima kemarin petang, dari kantor pusat saya di Tokyo, Jepang. Tetapi apabila dilihat dari stempel yang ada di sudut atas amplop itu, jelas sekali bahwa dokumen itu tidak dikirim langsung dari Tokyo, melainkan dari London, Inggris. Artinya, my Big Boss was in London event when the document sent to me. Besides that, I’m so sure that it will be talking about the South East Asia, what is my business area. Itulah sebabnya mengapa dokumen itu berada di ruangan saya. Yups..! Benar, dokumen itu bukan hanya menyangkut Asia Tenggara, melainkan lebih spesifik lagi menyangkut Indonesia, tanah air, bangsa dan negara tercinta saya..!

Kantor Pusat jelas sangat gundah, sejak Indonesia mulai menerapkan UU Minerba. Tidak dipungkiri begitu banyak negara-negara industri di dunia yang melayangkan protes terhadap tindakan yang diambil oleh pemerintah dan parlemen Indonesia.  Mereka sangat merasakan dampak negatif dari penerapan UU tersebut. Komoditi menjadi langka, harga melambung tinggi, biaya produksi membengkak, harga jual produk tidak lagi kompetitif, omset menurun drastis, produksi menipis, margin perusahaan tidak terkendali, dan akhirnya sang investor pun lari..! Mulai saat ini kita akan sering mendengar berita kematian satu per satu industri di dunia. Indonesia telah dipandang sebagai negara penebar maut yang mengancam kelangsungan hidup industri negara-negara maju. Ironisnya, tindakan Indonesia ini juga mendapat dukungan dari negara-negara pemilik SDA lainnya, selain tentu saja lahir di tengah kesadaran dunia akan semakin langkanya komoditi bahan tambang dan kesadaran dunia akan pentingnya menjaga kelangsungan ekosistem. Semoga segala hujatan dan ancaman dari kubu lawan tidak menyeret langkah kita untuk surut ke belakang dan memaksa kita kembali ke masa lalu.

Memang benar, Indonesia bukanlah negara yang satu-satunya memiliki sumber daya mineral yang diperlukan oleh para pelaku industri dunia. Tapi bisa jadi, kitalah satu-satunya negara di dunia yang memiliki keanekaragaman potensi sumber daya alam yang sangat berharga bagi industri dunia.

Mari kita lihat apa yang ada dalam dokumen itu. Hahaha..! Ternyata hanya soal batubara Sumatera..! Bagi negara seperti Indonesia, batubara bukanlah sebuah barang langka, bahkan kita telah berhasil menjadi negara yang paling depan dalam jumlah ekspor barang tambang ini. Tentu saja, selain itu kita juga menjadi negara pengekspor CPO terbesar di dunia, setelah berhasil menggeser negara yang menjadi sumber rujukan dalam pengembangan industri sawit dunia, yakni Malaysia..! Tetapi perlu diketahui, untuk industri olahan sawit, Malaysia masih bertengger sebagai eksportir terbesar di dunia. Sebuah tantangan yang wajib kita sambut dengan sikap positif; berpikir keras, bekerja keras dan berusaha keras..! Begitupun dengan batu bara kita. Bukankah batubara kita dikenal sebagai batubara berkualitas rendah yang hanya cocok untuk sumber pembangkit listrik? Yups..! Benar sekali..! Secara umum batubara kita memang dikategorikan sebagai batubara berkualitas rendah, karena kandungan kalorinya yang masih rendah serta jumlah sulphur dan phospornya juga terbilang tinggi.
Kualitas batubara kita masih kalah jauh dengan kualitas batubara dari Australia maupun dari Afrika. Kita baru unggul dalam kuantitas. Kita hampir bisa memasok berapapun jumlah batu bara yang dibutuhkan oleh dunia, karena regulasi pertambangan komoditas ini, di Indonesia belum seketat di negara-negara lain. Indonesia terkesan jor-joran. Dari mulai penambang yang legal sampai yang liar, semuanya ada..! Hehehe..! Untuk yang satu ini, jujur agak sedikit mengganggu kemaluan. Uppss..! Maaf, maksud saya sedikit agak memalukan..! Gak perlu menghujat, tapi marilah kita bersama-sama untuk menahan diri agar tidak turut serta menjadi penambang liar baru. Itu sudah lebih dari cukup, andil anda akan lebih dihargai. Soal penambang liar yang sudah ada, biarlah itu menjadi urusan pihak yang berwajib..!
Kembali ke dokumen..! Dokumen ini tidak bicara tentang batubara Indonesia, melainkan hanya bicara tentang batubara Sumatera, khususnya batubara dari Bengkulu. Saya yakin, diantara kita mungkin banyak yang tidak tahu jika Bengkulu juga merupakan daerah penghasil batubara, selain tentu saja daerah Kalimatan yang sudah sering kita baca dalam berita. Membaca kata Bengkulu, pikiran dan ingatan saya melayang-layang di atas daratan Sumatera. Mulai dari Lampung, Sumsel, kampung halaman teman saya di Pagaralam yang berbatasan antara Sumsel dan Bengkulu, kemudian ke Sumbar, Jambi, Riau, Sumut dan Aceh. Ah, betapa luasnya daratan Sumatera..! Secara pribadi, saya lebih mengenal Bengkulu sebagai daerah yang menyimpan potensi kandungan emas terbesar di Sumatera. Mulai mengenal adanya potensi batubara di sana, bermula ketika saya ditugaskan di Batam.
Untuk keperluan rumah baru saya, saya memesan perabotan kayu dari salah satu perusahaan kerajinan kayu yang dikelola oleh seorang wanita Yogyakarta dan bersuamikan seorang lelaki Bengkulu. Keramahtamahan, adalah alasan kuat mengapa kami masih memelihara tali silaturahmi itu hingga ke hari ini. Suatu ketika dulu, sahabat saya dari Jerman datang menemui saya. Dia sedang memerlukan bantuan saya untuk mendapatkan 60.000 ton batubara dengan spesifikasi dan kualifikasi tertentu. Saya menyanggupinya, karena saya beranggapan bahwa tidak mungkin jika dari semua tumpukan batu bara yang ada di Indonesia tidak ada satu pun yang mampu memenuhi kriteria. Saya putuskan untuk hunting ke Kalimantan. Semua teman dan bapaknya teman saya yang saya kenal dan saya ketahui memiliki usaha tambang batubara, saya datangi. Hasilnya? Sangat mengecewakan..! Dari 60.000 ton yang saya cari, saya hanya berhasil mendapatkan kurang lebih 10.000 ton saja. Saya coba menyodorkan permintaan saya pada teman-teman di Australia, Afrika, Brazil, Argentina, Venezuela dan Rusia serta China, semuanya angkat tangan. Jawaban mereka seragam, ‘no stock.’

Saya kembali ke Batam. Terduduk putus asa di atas kursi, sambil melihat urat-urat kayu yang ada pada pintu dan dinding kayu, membuat saya teringat pada pemilik perusahaan tempat perabotan kayu itu saya pesan. Karena sudah malam dan sedang kepepet, saya nekad menghubunginya melalui sms. Dimulai dengan menanyakan kabar, perkembangan usaha kerajinan kayunya dan terakhir menanyakan bisnis tambang batubara yang digeluti sang suami. Setelah itu, barulah saya menanyakan tentang kemungkinan ketersediaan batubara dengan spesifikasi yang saya miliki. Sampai disitu, contact sms kami terhenti. Saya berpikir, mungkin dia sudah tertidur. Kira-kira jam 01.00 dinihari, telepon saya berdering. Suara lelaki terdengar mengucapkan salam dan bertanya kabar. Dia, suami bu Dewi, pengelola perusahaan kayu di Batam, meminta saya untuk bertemu di Jakarta esok pagi. Setelah menerima telepon, saya paksakan untuk tidur, supaya besok pagi bisa segera bangun dan bergegas ke bandara Hang Nadim. Beruntung, di Bandara saya masih  bisa mendapatkan tiket Garuda yang masih menyisakan beberapa tempat duduk untuk penerbangan ke Jakarta pada waktu yang tidak terlalu siang.
Di Jakarta, saya dijemput oleh lima orang lelaki berperawakan tegap, dan mengiring saya menuju ke mobil yang telah terparkir.  Melihat dua mobil yang terparkir, saya agak kaget. Seseorang melambaikan tangan dari balik jendela yang tiba-tiba terbuka. Ya, itu suami bu Dewi..! Pangling, dipundaknya tersemat sebuah bintang. Sekarang saya tahu dengan siapa saya berhadapan. Sesampainya di kantor, saya diberikan penjelasan dan gambaran detail tentang perusahaan yang dia geluti, serta kualifikasi batu bara yang dia miliki. Sangat mengejutkan, ternyata dia memiliki stock simpanan pasokan hingga mencapai 150.000 ton, dengan spesifikasai melebihi dari apa yang saya kehendaki, bahkan jauh lebih tinggi dari kualifikasi yang dimiliki oleh kebanyakan batu bara Australia dan Afrika. Beberapa minggu kemudian, setelah dokumen eksport selesai dan sahabat saya mengirimkan kapalnya ke Indonesia, disepakati bahwa pengiriman batu bara dengan kualitas terbaik dari Indonesia, jumlahnya menjadi 190.000 ton, dari semula hanya meminta 60.000 ton. Teman saya berujar bahwa saya adalah orang yang paling beruntung karena menjadi warga sebuah negara yang sangat kaya raya dan memiliki segala-galanya. Tidak semua negara bisa memiliki apa yang kamu miliki..! Saya tersentak, penuh bangga..!

Kembali ke dokumen yang beratnya hampir 2 kg, yang tergeletak di atas meja saya. Dokumen ini sangat jelas menginginkan saya untuk bisa menggolkan keinginan perusahaan induk saya di Jepang. Mengakuisisi perusahaan atau memonopoli output produksi. Dua buah pilihan yang tidak mudah. Saya sadar, zamannya sudah berubah. Meskipun bangsa kita masih dikenal sebagai bangsa yang korup, tetapi bukan berarti semuanya tidak perduli dengan korupsi. Sekarang bukan lagi zaman Orba, dimana uang bisa bicara, dan sesudah itu bebas berkelana. Sekarang mungkin saja uang masih bisa bicara, tetapi sesudah itu akan ada pintu penjara yang menanti kita. Hahaha..!

Di Jepang, berlaku suatu prinsip, dimana suatu industri yang turut menopang kelangsungan industri strategis, maka industri itu akan digolongkan dalam kelompok industri strategis juga. Industri nikel dan feronikel adalah salah satu industri strategis Jepang, karena itu, industri pengolahan bijih nikel dan industri pertambangan batu bara high calory dan ultra high calory, dengan sendirinya akan menempati singgasana status industri strategis Jepang. Dalam sistem kebijakan Jepang, industri strategis tidak sekedar menyangkut industri pertahanan, tetapi lebih dari itu, industri strategis diartikan sebagai industri hulu yang menjamin keberlangsungan industri yang menjadi mainstream perekonomian nasional mereka. Jika demikian adanya, maka bisa disimpulkan bahwa produk batu bara dari Sumatera pada umumnya, dan Bengkulu khususnya, bukanlah produk batu bara sembarangan yang bisa dijualbelikan dengan harga murahan.
Pertanyaannya, sudahkah pemerintah kita menyadari sepenuhnya akan segala potensi dan nilai-nilai strategis yang dimiliki oleh setiap komoditi yang kita hasilkan? Pertanyaan ini sejatinya dialamatkan pada pak Pramono, SE. Mantan atase perekonomian KBRI Kuala Lumpur, yang sudah saya anggap sebagai ayah kandung sendiri. Alhamdulillah, beliau bilang, dalam tubuh pemerintahan sekarang, sudah banyak perubahan yang cukup signifikan. Para pengambil kebijakan di kementerian-kementerian terkait, seperti Kemendag, Kemenperin dan Kemenkeu, bukan sekedar orang Indonesia, akan tetapi juga seorang Indonesianis muda yang pinter, nasionalis, pro rakyat, tidak rakus jabatan dan amanah. Sebuah jawaban yang melegakan.

Melihat betapa vitalnya nilai bahan-bahan mineral yang kita miliki, tidak sedikit pihak atau negara yang menawarkan opsi untuk memindahkan industrinya ke Indonesia. UU Minerba yang dari awal peluncurannya sudah disambut dengan berbagai sanggahan dan pembangkangan, jika tetap kokoh berdiri dipertahankan, bisa menjadi penunjuk jalan ke arah mana industri kita akan berkembang. Industri smelter tentu hanya sekedar jalan tengah bagi mengelola dua kepentingan yang berbeda. Tetapi tujuan utamanya adalah bagaimana industrialisasi bisa bertelur, menetas dan beranak pinak di bumi Indonesia. Sehingga program transformasi ekonomi yang kita pikul, bisa sukses hingga mencapai garis dan titik destinasi. Jika semua ini terwujud, kemudian seluruh TNI dipersenjatai demi menjaga stabilitas, akankah kita masih berkata nyinyir, bahwa TNI digaji hanya untuk menjaga asset asing?

Saya teringat ucapan pak Jusuf Kalla, ketika sumber energi menjadi mahal, maka cara yang paling masuk akal adalah memindahkan industri ke tempat dimana sumber energi itu bisa didapat. Oleh karena itu marilah kita menyongsong era industrialisasi dalam perekonomian Indonesia. Persiapkan diri dengan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan. Jangan berkecil hati bagi yang merasa sudah terlampau tua, karena masa depan yang gemilang masih mungkin kita wariskan pada anak cucu kita kelak. Setidaknya mereka akan bangga dan berterima kasih karena memiliki eyang yang gigih berjuang menyiapkan masa depan mereka. Ingat, industrialisasi jangan diartikan anti tani, tapi industrialisasi harus bisa bermakna sebagai usaha modernisasi tani. Hehehe..! Selamat berjuang, Bung..!

JKGR