Wednesday, 9 April 2014
Landing Craft Utility: “Kepanjangan Tangan” Gelar Operasi Amfibi LPD TNI AL
Dalam serbuan operasi amfibi, lumrah bila elemen kavaleri Korps Marinir maju lebih dahulu dalam sebuah embarkasi basah dari kapal jenis LST (Landing Ship Tank) dan LPD (Landing Platform Dock). Setelah sebelumnya kawasan pendaratan telah disisir oleh pasukan Taifib (Intai Amfibi), maka giliran berikutnya diterjunkan unit tank amfibi dan pansam (panser amfibi).
Dengan kemampuan daya kejut serta daya tembak, tank amfibi jenis PT-76 dan BMP-3F yang dibekali meriam mampu melakukan tembakan ke arah area pendaratan, disamping tetap berharap adanya close air support. Nah, pasca area pentai berhasil didarati tank, giliran unit infanteri diterjunkan lewat LCVP (Landing Craft Vehicle Personel). LCVP sendiri menjadi bagian dari kelengkapan di kapal LST dan LPD.
Lewat pertempuran sengit yang melibatkan kombinasi infanteri dan kavaleri, dalam skenario kawasan pendaratan dan sekitarnya sejauh 10 km berhasil dikuasai. Tapi tugas Korps Marinir TNI AL tak berhenti disitu, pasukan pendarat ini punya misi lanjutan untuk membuka jalan bagi elemen tempur lain guna penguasaan dan menetralisir wilayah operasi.
Terkait dengan misi tempur lanjutan dalam skenario operasi amfibi, maka kemudian dilibatkan satuan artileri medan, perbekalan angkutan (bekang) hingga kesehatan menuju area pendaratan. Untuk soal mendaratkan satuan-satuan ini punya seni tersendiri, pasalnya alutsista berikut kendaraan taktis yang digunakan tidak punya spesifikasi amfibi, karena umumnya menggunakan platform truk dan jip. Agak mendingan bila LST sebagai kapal pembawa berjumpa dengan kontur pantai yang landai, sehingga LST dapat merapat. Tapi medan operasi faktanya bisa jauh dari harapan, kendaraan tempur dan sista pendukung akhirnya harus siap ‘dilepas’ dari tengah laut.
Untuk tugas diatas, Korps Marinir TNI AL punya yang namanya Resimen Bantuan Tempur dan Resimen Artileri, yang diterjunkan disini adalah rantis pengusung meriam Howitzer LG-1 MK II/M-30 Howitzer 122mm, peluncur roket, dan truk Unimog. Umumnya perangkat tempur tadi dihantarkan ke darat dari LST lewat KAPA (Kendaraan Amfibi Pengangkut Artileri). Jenis KAPA yang diandalkan Korps Marinir TNI AL adalah K-61 dan PTS-10. Kedua rantis amfibi ini cukup panjang kiprahnya, dibuat sejak era Uni Soviet, K-61 dan PTS-10 sudah kenyang operasi militer dan operasi penanggulangan bencana alam. Lebih detail tentang K-61 dan PTS-10 telah kami ulas di artikel terdahulu.
Dengan memanfaatkan platform roda rantai ber-propeller, K-61 dan PTS-10 punya banyak keunggulan dalam membawa muatan dari laut hingga masuk jauh ke daratan. Tapi ada keunggulan tentu juga ada kekurangan, kedua ranpur punya limitasi dalam hal daya angkut serta dimensi payload yang bisa dibawa. Ambil contoh, peluncur roket self propelled MLRS RM-70 Grad, dengan dimensi dan bobotnya yang besar, jelas sulit dan berbahaya untuk menumpanginya pada PTS-10 sekalipun.
Tapi selalu ada jawaban di setiap kebutuhan operasi, buktinya Marinir AS tetap dapat menghantarkan MBT M1 Abrams yang beratnya puluhan ton dari kapal perang menuju pantai. Solusinya tidak lagi bisa mengandalkan jenis KAPA, melainkan harus dengan moda yang lebih besar, yaitu hovercraft dan LCU (Landing Craft Utility). Dan, sesuai kondisi terkini, TNI AL sejak beberapa tahun belakangan telah memanfaatkan secara penuh keunggulan dari LCU yang berpangkalan di kapal LPD.
Landing Craft Utility
Persisnya sejak Satfib (Satuan Kapal Amfibi) TNI AL mulai mengoperasikan jenis kapal LPD pada tahun 2006, maka muncul skenario baru dalam gelaran elemen perangkat tempur dan infanteri pada operasi amfibi. Dengan tonase dan dimensinya yang jumbo, LPD dapat membawa muatan jauh lebih besar ketimbang LST.
Sebagai gambaran, salah satu LPD, yakni KRI Surabaya 591 dengan panjang 122 meter punya berat 10.932 ton. Yang dibawa dibawa kapal ini mencakup 22 ranpur/rantis, 15 truk, dan 3 helikopter. Sementara jumlah pasukan yang bisa diangkut mencapai 618 termasuk awak kapal. Untuk menunjang operasi amfibi, LPD ini dilengkapi empat LCVP yang terikat rapi pada sisi kapal, dua disisi kanan dan dua disisi kiri. Kapasitas LCVP ini dapat mendaratkan satu pleton infanteri, sekitar 30-35 personel. Penggunaan LCVP jelas menjadi hal yang biasa dalam setiap operasi amfibi, dan keberadaan LCVP sudah jamak di setiap LST yang dimiliki TNI AL.
Untuk urusan menggeser ranpur/rantis, meriam, truk, dan lain-lain yang punya bobot besar dari kapal di tangah laut ke daratan, diandalkan LCU. Pada setiap kapal LPD TNI AL dilengkapi dua LCU. TNI AL hingga kini punya 4 LPD, yaktu KRI Makassar 590, KRI Surabaya 591, KRI Banjarmasin 592, dan KRI Banda Aceh 593. Sebenarnya ada satu lagi, yaitu KRI Dr. Soeharso 990, kapal ini tadinya bernama KRI Tanjung Dalpele 927. Kapal buatan Daesun Shipbuilding ini merupakan LPD, tapi kemudian fungsinya diubah sebagai kapal bantu rumah sakit.
Berbeda dengan LCVP yang dimensinya kecil dan punya daya angkut terbatas, maka LCU wujudnya cukup bongsor, seperti LCU yang melengkapi KRI Banjarmasin dan KRI Banda Aceh, menggunakan tipe LCU 24 meter. LCU yang dibuat industri Dalam Negeri PT. Tesco Indomaritim, punya daya angkut hingga 20 ton. Bisa dipastikan tank ringan hingga medium yang tak punya kemampuan amfibi bisa dibawa oleh 1 unit LCU. Dalam beberapa rangkaian latihan, tampak LCU kerap digunakan untuk membawa truk Tatra 813 8×8 sebagai pengusung platform MLRS RM70 Grad. Agar lebih jelas mengenai proses loading truk ke LCU, simak tayangan video dibawah ini.
Dengan bobot maksimum hingga 62 ton, tentu ada syarat khusus dalam menggelar LCU, dan yang bisa memang hanya LPD. Menyandang gelar landing platform dock, maka di setiap LPD memang terdapat dock yang bisa berfungsi sebagai dock kering dan mampu disulap untuk digenangi air. Saat membawa LCU berlayar, maka dock menjadi kering setelah pintu palka ditutup. Sedangkan saat LCU akan dikeluarkan, dock akan digenani air laut, sehingga LCU dapat mengambang untuk kemudian bergerak keluar dari dock setelah melakukan loading muatan.
Untuk menggelar pasukan pun bisa dilakukan lebih cepat, sebab satu LCU dapat memuat satu kompi pasukan Marinir, mulai dari 100 sampai 150 pasukan dengan senjata lengkap. Awak LCU hanya terdiri atas 2 orang, untuk menunjang keamanan, setiap LCU dibekali 100 life jacket. Layaknya sebuah kapal, LCU dilengkapi dengan sarana navigasi dan komunikasi seperti marine radar, GPS, echo sounder, wind direction, dan radio VHF/NAVTEX/SSB.
Ditenagai mesin utama Caterpillar C32 Acert, serta 2 water jet dari Hamilton Jet MH571, LCU dapat melaju dengan kecepatan ekonomis 20 knots dan kecepatan maksimum 40 knots. Untuk bekal berlayar menuju pedalaman tak jadi soal, LCU dapat membawa persediaan 300 liter air tawar dan kapasitas bahan bakar hingga 3.400 liter.
Melihat peran LPD yang sangat strategis dalam setiap operasi tempur dan non tempur, maka peran moda seperti LCU akan sangat berperan, melengkapi keberadaan puluhan kapal LST yang menjadi tulang punggung operasi lntas laut TNI AL. (Bayu Pamungkas)
Spesifikasi LCU 24 Meter
Length overall ……………………………………..24.35 M.
Beam overall (incl. rubber fender) ……………6.00 M.
Depth main deck midship ……………………….2.65 M.
Loaded draft ………………………………………..0.80 M.
Displacement (light)……………………………..40.00 MT
Displacement (Fully Loaded)…………………62.00 MT
Maximum speed: …………..40 knots.
Economic speed: ………….20 knots.
Crew: ………………………………………2 Seats.
Passengers: …………………………….100 Persons
Fuel Capacity ……………………………3400 Liter
Fresh Water Capacity ………………..300 Liter
Accomodation Space …………………20 Tonnes
Main Engine: ……………………………CATERPILLAR C32 ACERT
Power output: …………………………..2 x 1600 bhp @ 2300 rpm
Gear boxes: …………………………….2 x ZF 3050
Water Jet: ……………………………….2x Hamilton Jet, Type HM 571
indomiliter