Pages

Wednesday, 9 July 2014

Apresiasi Eropa kepada Model Kerjasama Airbus-Indonesia

foto-foto: Airbus


Pola kerjasama Airbus Defence and Space dan PT Dirgantara Indonesia kembali mendapat apresiasi internasional. Airbus Defence and Space, Head of Military Aircraft, Domingo Urena Raso, mengungkap pujian itu di hadapan puluhan wartawan kedirgantaraan dunia, sembari menjelaskan bahwa kerjasama kedua pihak merupakan model kerjasama bisnis dan industri yang mampu memelihara dan memenuhi kebutuhan pasar regional.

Ketika angkatan udara di berbagai negara Eropa menghadapi masalah pemotongan anggaran, combined customer base yang dibangun di luar Eropa, seperti PT Dirgantara Indonesia, justru mampu memberi harapan yang lain. Potensi pasar juga tampak bersinar di Timur Tengah dan Amerika Latin. Dalam beberapa tahun terakhir, pemotongan anggaran membuat banyak pemerintahan selektif dalam menentukan pilihan alutsista, termasuk untuk pesawat militer. Kini, mereka cenderung memilih pesawat yang mampu melakukan aneka ragam misi.

Berikut laporan langsung wartawan Angkasa Adrianus Darmawan dan Dudi Sudibyo dari ajang Airbus Defence and Space Trade Media Briefing (TMB) 2014, 10-11 Juni lalu di Sevilla dan Madrid, Spanyol. Di bagian lain, dari ajang Airbus Innovation Days 2014 di Toulouse, Perancis, Dudi Sudibyo juga menyampaikan perkembangan terkini pertarungan dua raksasa besar produsen pesawat komersial badan besar, Airbus dan Boeing.

Pernyataan Domingo Urena Raso pada jamuan makan malam di sebuah daerah sejuk di pinggiran kota Sevilla itu jelas bikin puluhan wartawan penerbangan dunia terhenyak. Tak terkecuali Angkasa. Pasalnya, industri pesawat terbang terbesar di dunia ini bukanlah yang terhebat di antara 22 subsidiaries yang berdiri di berbagai negara. Kenapa justru PT Dirgantara Indonesia (DI) yang diunggulkan? Adakah keunikan khusus dari pabrik pesawat yang bermarkas di Bandung, Jawa Barat ini?

            Seperti biasa, pimpinan Airbus yang dikenal supel itu tak langsung menerangkan gamblang. Namun, dari paparan taktisnya terjelaskan berbagai hal. Menurutnya, DI bisa dijadikan model karena, pertama, didirikan atas dasar kesepahaman bilateral, dan, kedua, dalam perjalanannya, meski diwarnai berbagai rintangan,  telah ikut mengembangkan pasar yang cukup unik di kawasannya. DI begitu menarik perhatian negara-negara di sekitarnya karena memproduksi pesawat transpor militer badan kecil/menengah yang bisa digunakan untuk berbagai misi.

            Kerjasama telah dimulai sejak 1976, ketika Airbus Defence and Space yang bermarkas di Spanyol masih bernama CASA (Construcciones Aeronauticas SA). Diawali pembuatan pesawat badan kecil berlisensi C-212 Aviocar, kini kerjasama dengan DI telah meningkat dengan produk yang masih tetap populer, yakni pesawat transpor badan menengah CN235 dan C295. Selain bisa digunakan untuk misi standar angkut pasukan, keduanya juga bisa didayagunakan untuk misi bantuan kemanusiaan, patroli maritim, pemantauan lingkungan dan lain-lain. Belakangan C295 sudah bisa dipesan dalam versi airborne early warning.

            Sampai saat ini, CN235 yang pertama kali diperkenalkan pada 1988, masih tetap digemari berbagai operator di kawasan Asia. Seperti dikatakan Direktur Komersial dan Restrukturisasi DI, Budiman Saleh. “CN-235 masih tetap jadi favorit, tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Pesawat ini dibeli Korea Selatan, Thailand, Malaysia, Brunei, Uni Emirat Arab, Pakistan, Senegal dan lainnya.” (Kompas (15/2/2014).

            Hingga kini, lebih dari 270 unit CN235 telah terjual ke berbagai negara. Selain dibeli berbagai operator di wilayah Asia, Timur Tengah, dan Amerika Selatan,  pesawat ini juga dibeli sejumlah negara di Eropa dan Amerika Utara. Sementara C295, tercatat lebih dari 120 unit telah terjual. Berkat peraihan total market-share mencapai 58 persen antara 2005 sampai 2014, kedua pesawat selanjutnya tercatat sebagai market-leader di kelas transpor menengah.

Selain dengan Airbus DS, DI juga menjalin kerjsama yang cukup penting dengan unit bisnis strategis Airbus Group lainnya, yakni Airbus Helicopter, terkait penjualan dan perawatan helikopter EC225/775; juga dengan Bell-Textron AS terkait pembuatan helikopter Bell-412.

Meski dikatakan masih perlu kesepahaman dan pendekatan lebih lanjut, Domingo Raso tak memungkiri bahwa pemerintah Indonesia telah ikut mendukung upaya pemasaran pesawat-pesawat tersebut. Di antara yang terbaru adalah lawatan ke enam negara (Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam, Myanmar, Thailand dan Malaysia) pada Mei 2013 untuk memperkenalkan C295. Melalui beberapa pertemuan intens, empat negara yakni Filipina, Myanmar, Thailand, bahkan Timor Leste, mengajukan berbagai pesanan.
Ketangguhan-kemudahan
Dalam TMB 2014, secara detail, Airbus DS menyampaikan laporan tahunan performa bisnis, perkembangan uji terbang atas beberapa produk baru serta program layanan purna atas produk-produknya. Jika pada tahun-tahun sebelumnya mereka bergerak dalam pembuatan, pemasaran, program pelatihan serta layanan purna jual untuk pesawat CN235, C295, A400M dan A330 MRTT, mulai Desember 2013 lalu kepadanya ikut “dititipkan” pesawat tempur Eurofighter Typhoon dan Sistem Pesawat Tanpa Awak (UAS).

--- Artikel selengkapnya dapat dibaca di Maj. Angkasa edisi Juli 2014---




Upaya Jemput “Bola” ke Luar Eropa
            “Eropa harus berhenti untuk malu mengakui bahwa dirinya memiliki kemampuan yang amat baik. Kenapa harus malu? Kenapa kita justru tak bergerak bersama? Kita punya kekuatan industri. Untuk itu kenapa tidak berkolaborasi? Jangan takut untuk bekerjasama dengan berbagai negara di dunia,” ungkap Domingo Urena Raso tegas di hadapan puluhan wartawan kedirgantaraan dari berbagai negara, yang pada 10 Juni lalu berkumpul di Sevilla, Spanyol.

            Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, dalam Trade Media  Briefing (TMB) 2014 kali ini petinggi Aircraft Military, Airbus Defence and Space itu, tampak sudah tak bisa lagi menyembunyikan kegalauannya. Ia menganggap perlu menyatakan sikap karena sejumlah industri kedirgantaraan dan kemiliteran di Eropa sedang resah menghadapi penurunan skala produksi akibat gelombang pengetatan anggaran belanja yang dialami angkatan bersenjata di banyak negara Eropa. Pengetatan anggaran ini tak lain adalah akibat krisis ekonomi dan kebijakan bersama Masyarakat Eropa.

            Dampak krisis ini tampaknya juga bakal menerpa Airbus DS, karena beberapa negara yang masuk dalam konsorsium pembuatan pesawat militer badan besar A400M mulai goyah dalam memegang kesepakatan pembeliannya. Jerman yang sebelumnya sepakat membeli 53 unit, belakangan hanya menyanggupi 40. Sementara Perancis, yang semula menyatakan perlu 50 unit dari berbagai jenis pesawat transpor taktis buatan Airbus DS, tampaknya akan meninjau kembali. Selain Jerman dan Perancis, kemitraan A400M juga melibatkan Belgia, Luksemburg, Spanyol, Turki, dan Inggris.

            Masalah pemotongan anggaran di Eropa hampir bisa dipastikan juga akan berimbas pada kelangsungan industri serupa di Amerika Serikat, karena dalam pertemuan di Brussel, Belgia, Maret 2014, Presiden AS Barrack Obama mengisyaratkan perlunya negara-negara NATO di Eropa mewaspadai krisis dan setiap perkembangan yang akan terjadi di Crimea dan Ukraina.  Krisis di kedua tempat akan menjadi “alarm bangun pagi” (wake-up call) karena tak satu pun negara di sekitarnya paham seburuk apa imbasnya.

Merger di Airbus
            Meski pihak Airbus DS terus berjuang agar penciutan jumlah pesanan tidak terjadi, mereka tetap harus waspada dengan berbagai kemungkinan terburuk. Segala hal bisa terjadi karena kepentingan politik di internal pemerintahan kerap berpengaruh. Maka, sangatlah lumrah jika – untuk menghadapi permasalahan ini – berbagai industri pertahanan terkemuka berupaya melakukan merger serta meningkatkan pengaruhnya ke pasar di luar Eropa.

            Merger di keluarga Airbus sudah terjadi sejak Januari 2014. Untuk perampingan manajemen dan memancing pasar yang lebih luas, European Aeronautic Defence and Space Company – pengelola Airbus Group --  menggabungkan Astrium dan Cassidian dengan Airbus Military, menjadi Airbus Defence and Space. Kepada perusahaan ini, EADS juga menitipkan pemasaran Eurofighter Typhoon dan sistem pesawat tanpa awak yang mereka buat.

            Dengan demikian di dalam induk perusahaan Airbus Group, ada tiga bisnis unit, yakni Airbus yang mengelola industri pesawat komersial; Airbus Defence and Space yang mengelola industri pesawat militer, jet tempur, satelit dan UAV; dan Airbus Helicopter yang mengelola industri helikopter.

Terkait perluasan pasar sendiri, dalam TMB 2014, misalnya, pimpinan Airbus DS kembali menyatakan minatnya untuk meningkatkan harmonisasi dan skala kerjasama produksi serta layanan purna jual dengan negara-negara di Asia Pasifik (termasuk Indonesia), Timur Tengah, dan Amerika Selatan. Ke wilayah-wilayah ini mereka akan “jemput bola” menawarkan produk lewat paket-paket kerjasama bilateral. Dengan Indonesia mereka bisa memuluskan penjualan CN235 dan C295 di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya.

“Selain di Asia, pesawat-pesawat badan menengah ini juga disukai di tempat lain. Pada 2013 dan 2014, Mesir, Kazakhstan, Ekuador, Kolumbia dan beberapa costumer yang belum bisa disebutkan namanya, masing-masing telah memastikan membeli C295 sebanyak 6 unit, 2 unit, 3 unit, 1 unit dan 17 unit. Sementara US Coast Guard kembali menyatakan minatnya untuk menambah 1 unit CN235 versi patroli maritim. Dengan total penjualan sebanyak 171 pesawat antara 2005 sampai 2014, kedua pesawat pun bisa disebut sebagai market leader di kelas badan menengah,” tutur Head of Commercial, Military Aircraft, Airbus DS, Antonio Rodriguez Barberan kepada wartawan.

Tingkat penjualan pesawat-pesawat tersebut telah meninggalkan pesaing-pesainnya, seperti C-27J, ATR-48, DHC-8, dan G-222. Selain dari ketangguhan dan kemudahan perawatan, ketertarikan pasar pada CN235 dan C295 juga dipengaruhi oleh ragam pilihan misi yang ditawarkan. Selain untuk standar angkut pasukan, misalnya, CN235 juga ditawarkan dalam versi patroli maritim. Sedang untuk C295, customer juga bisa memesan dalam versi pemadam kebakaran, airborne early warning, dan signal intelligence.

A400M, A330 MRTT, AC295
Ragam pilihan fungsi juga ditawarkan pada pesawat angkut berat A400M. Pesawat yang kerap disebut-sebut sebagai airlifter for the 21st century ini telah diuji untuk mampu melakukan tugas pengisian bahan bakar di udara dan kemampuan self-defence. Dalam kesempatan uji pengiriman kendaraan dan helikopter ke empat wilayah di Mali, Afrika, pesawat ini bahkan terbukti melampui pesawat angkut berat yang dibanggakan AS, C-17 Globemaster II. Bukan dari kuantitas daya angkutnya, melainkan dari kapabilitasnya mendarat di landasan tak beraspal.

Dari 174 pesawat yang dipesan delapan negara (Belgia, Perancis, Jerman, Luksemburg, Spanyol, Turki, Inggris dan Malaysia), tiga pesawat sudah dinyatakan dikirim dan beroperasi, sementara 14 pesawat sedang dalam proses persiapan pengiriman dan 20 dalam tahapan produksi/perakitan. Daya angkutnya jauh lebih besar dari C-130J Hercules. Maka dari itu, ketika AS tak mau mengekspor C-17 ke sembarang negara, pimpinan Airbus DS menyebut A400M, sebagai satu-satunya pesawat angkut berat taktis yang paling terbuka untuk dibeli.

“Kami memperkirakan, dari 1.850 pesawat sejenis yang kini beroperasi, dunia masih memerlukan 700 pesawat sekelas A400M dalam jangka 30 tahun mendatang. Kami berharap 400 di antaranya berbagai negara akan memilih pesawat ini,” ujar Antonio Barberan.

Di lain pihak, Airbus DS juga tak mengurangi perhatiannya dalam menuntaskan pesanan berbagai negara atas A330 MRTT. Lagi-lagi pesawat militer berbasis pesawat komersial badan lebar A330 ini dirancang untuk multimisi. Selain untuk angkut pasukan, juga bisa didayagunakan sebagai tanker udara. Lima pesawat ini kini telah dioperasikan AU Australia, 3 unit di UAE, 4 unit di Inggris, dan 7 unit lainnya di Turki. Pesawat ini, di antaranya, dikembangkan untuk menyaingi KC-135 Stratotanker yang dibuat Boeing (AS) berbasis Boeing B707.

--- Artikel selengkapnya dapat dibaca di Maj. Angkasa edisi Juli 2014---



Airbus : Tak Ada Pengaruh Pembatalan Pesanan A350 Emirates
            Airbus menegaskan pembatalan pesanan 70 pesawat badan lebar bermesin ganda A350 senilai 16 miliar dollar AS oleh Emirates, tidak mempengaruhi roda produksi pesawat terbang Eropa ini. Pembatalan dadakan operator terbesar superjumbo A380 dari Dubai, diterima Airbus sehari sebelum ajang tahunan Airbus Innovation Days 2014 di Toulouse untuk media massa, dan hanya beberapa bulan sebelum terbang komersial oleh launch customer Qatar Airways, yakni setelah delapan tahun pengembangannya dan menelan investasi sekitar 15 miliar dolar AS.

            “Pasti tidak akan ada kekosongan dalam produksi (Airbus),” tegas John Leahy, Chief Operating Officer, Customer, pucuk pimpinan penjualan Airbus sambil mengingatkan 150 wartawan mancanegara – termasuk Angkasa, bahwa Boeing pernah mengalami hal serupa saat pembatalan bagi 787 Dreamliner, yang badannya juga dibalut bahan ringan carbon fibre.

            Beda dengan Airbus, pabrik mesin pesawat Inggris, Rolls-Royce yang menjadi sole engine maker untuk A350XWB (singkatan dari Extra Wide Body), dikutip kantor berita Reuters, menyatakan keputusan Emirates tersebut akan berdampak kehilangan pendapatan 2,6 miliar poundsterling atau 4,4 miliar dolar dalam buku pesanannya. Seperti Airbus, Rolls-Royce juga yakin kekosongan yang ditinggalkan Emirates akan tergantikan oleh pesanan maskapai lain jelang penutupan dekade.

Maskapai dari Teluk ini memesan pesawat rancangan baru sarat teknologi mutakhir Airbus A350XWB pada 2007. Dijadwalkan akan diterima pertama pada 2019, lebih awal daripada pesaing langsung Boeing 777X, dimana Emirates merupakan operator terbesarnya dengan pesanan 150 unit. Emirates tercatat sebagai salah satu di antara maskapai pertama yang tertarik A350XWB saat programnya diperkenalkan 2007. Tak tanggung-tanggung langsung pesan 70 unit, terdiri dari 50 unit A350-900 dan 20 versi lebih besar A350-1000.

Menurut Airbus, alasan klien topnya membatalkan pesanan, mengacu pada tinjau ulang rencana kebutuhan armada dimana titik beratnya pada superjumbo A380. Sejalan tinjauan ulang, maskapai Dubai ini November 2013 ajukan pesanan tambahan 50 superjumbo dalam pagelaran Dubai Airshow 2013. Menjadikan Emirates operator terbesar dunia dengan mengoperasikan total 140 A380.

Keyakinan Airbus tidak akan mengalami gejolak akibat pembatalan Emirates, didasarkan pada posisi kokoh pesanan pasti 742 unit A350 yang dikantongi, kurang dari setengah tahun A350XWB akan terbang komersial di bawah bendera launch customer Qatar Airways. “Flight test campaign A350 berjalan mulus, type certification is on track,” John Leahy menambahkan.

Tidak suka
Pucuk pimpinan Airbus, Fabrice Bregier menegaskan lagi dalam jamuan makan malam di Aeroscopia, museum Airbus yang sedang dibangun, bahwa pembatalan pesanan Emirates tidak akan berpengaruh negatif pada kelompok usaha kedirgantaraan Eropa. “Apakah menjadi masalah bagi kami? Jawabannya pasti tidak, tetapi jujur saya tidak suka mengingat Emirates merupakan top-class customer (Airbus), dan saya akan lebih senang bila mereka mengoperasikan  A350,” ujarnya dalam ruangan museum yang disulap menjadi ruang jamuan makan.

Dapat dimaklumi kenapa Fabrice Bregier mengatakan demikian. Bagaimana pun Airbus dibuatnya merasa kurang nyaman bagi upayanya berada di ujung tombak pasar pesawat twin-engine badan lebar jarak jauh yang banyak diminati maskapai. Menurut catatan Angkasa, A350XWB dibuat Airbus untuk menjawab 787 Dreamliner Boeing. Sedang varian A350-1000 ditawarkan sebagai pesaing langsung pesawat derivatif Boeing 777X.

Di sisi lain, John Leahy dalam presentasinya tidak kesampingkan bahwa pembatalan pesanan Emirates merupakan suatu indikator titik-balik bagi industri pesawat terbang, yang secara tak langsung memberi sinyal baik kepada Airbus maupun Boeing untuk tidak memproduksi banyak pesawat. Karena pasar sudah tidak dapat menyerapnya lagi. “Apakah kami terlalu banyak membuat pesawat terbang? Apakah terjadi bubble (market)? Menurut saya tidak,” kata John menanggapi sinyal tersebut.

Kedua produsen pesawat dunia tersebut pernah memproyeksikan bahwa hingga 2025 tidak akan ada rancangan pesawat baru. Terakhir, Boeing menawarkan Dreamliner dengan sirip blended winglet pada kedua ujung sayapnya. Kemudian Airbus menyusul dengan A350XWB, ujung sayapnya dilengkapi sirip sharklet. Yang menonjol dari kedua jenis pesawat tersebut, badannya terbuat dari bahan ringan komposit carbon fibre, menggantikan bahan tradisional aluminium agar berat pesawat lebih ringan. Dibantu sirip-sirip tersebut menghasilkan irit konsumsi bahan bakar.

Untuk menjembatani kebutuhan pesawat hingga 2025, Airbus memperkenalkan program re-engine rancangan pesawat yang sudah ada dengan mesin baru irit bahan bakar. Lahirlah program A320Neo (singkatan New Engine Option) bersayap sharklet berdasarkan pesawat laris single aisle badan sedang A320. Boeing menjawabnya dengan 737MAX dengan dasar 737-800.

Tetapi yang paling mendesak saat ini bagi Fabrice Bregier dan Airbus adalah memenuhi jadwal target yang dijanjikan kepada pemesan, terbang komersial sebelum penutupan tahun 2014. Target tersebut yakin dapat dicapai, mengingat program uji terbang yang dimulai sekitar setahun lalu, menggunakan empat pesawat untuk sertifikasi berjalan lancar sesuai rencana. Tambah diperlancar dengan beroperasinya pesawat kelima baru-baru  ini. Total keempat pesawat sudah mengumpulkan 1.900 jam terbang dan lebih dari 440 penerbangan.

Agkasa