Pages

Saturday, 19 July 2014

Berawal dari Penculikan, Gaza Jadi Darurat Perang

Berawal dari Penculikan, Gaza Jadi Darurat Perang
Wilayah Rafah, Jalur Gaza dibom militer Israel. | (Reuters / Ibraheem Abu Musatafa)
GAZA - Pagi 13 Juni 2014 itu, militer Israel galau luar biasa. Mereka sibuk mejelajahi setiap wilayah di Tepi Barat, termasuk rumah-rumah warga Palestina. Tujuan mereka hanya satu, mencari tiga remaja Yahudi yang hilang pada 12 Juni 2014.

Misi menemukan tiga remaja Yahudi gagal. Militer Israel mulai kalap. Mereka menanyai setiap warga Palestina di Tepi Barat terkait keberedaaan Eyal Ifrach, Gilad Shaer dan Naftali Frankel, yang usianya masih belasan tahun. Siapa yang tidak bisa menjawab sesuai pertanyaan tentara Israel atau IDF, warga Palestina dipastikan ditangkap dan ditahan.

Sudah ratusan warga Palestina ditangkap setelah tiga remaja Yahudi itu hilang. Puncak pencarian itu berakhir, setelah tiga remaja Yahudi itu ditemukan di dekat Hebron dalam kondisi tidak bernyawa. IDF kembali kalap. Rumah-rumah yang diduga milik penculik tiga remaja Yahudi itu dihancurkan.

Kematian tiga remaja Yahudi itu bukan akhir cerita tragedi di Gaza. Cerita justru dimulai, ketiga tiga warga Israel melakukan aksi balas dendam, dengan menculik remaja Palestina bernama Mohamed Abu Khdair, 17. Pembalasan lebih kejam dijalankan. Khdair tak hanya diculik, tapi dia dibakar hidup-hidup.

Pekikan "Intifada!"

Jasad Khdair ditemukan di sebuah hutan di Tepi Barat dalam kondisi hangus. ”Penyebab langsung kematiannya adalah luka bakar akibat kebakaran dan itu komplikasi,” tulis kantor berita Wafa mengutip hasil autopsi jenazah Khdair.

Kematian Khdair itu mulai membakar semangat perlawanan rakyat Gaza. Ketika jasad Khdair dimakamkan, para warga Gaza memekikkan “Intifada!”, “Intifada!”, sebuah jargon khas rakyat Palestina yang bermakna pertempuran habis-habisan melawan pendudukan Israel.

Berselang beberapa hari, setelah Khdair dikubur, para militan di Jalur Gaza mulai bermanuver dengan roket-roket mereka ke wilayah Israel. Pihak Israel mengklaim sudah ratusan roket ditembakkan dari Gaza ke Israel. Namun, manuver itu tidak menimbulkan dampak kerusakan atau pun korban jiwa, sebab Israel mengandalkan sistem pencegat rudal canggih bernama Iron Dome.

Tidak tahan dengan hujan roket, pemerintah Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu kehabisan kesabaran. Mereka memutuskan menginvasi Jalur Gaza melalui serangan udara. Invasi dimulai Selasa, pekan lalu hingga hari ini (16/7/2014). Saban hari rakyat Gaza berjatuhan, dan terus bertambah hingga sore ini jumlahnya lebih dari 200 jiwa.

Sedangkan serangan roket Hamas, sejauh ini baru menewaskan satu warga Israel dan melukai sekitar 10 warga Israel lainnya. Dengan banyaknya korban jiwa di Gaza, Hamas semakin garang. Mereka, terutama sayap militer Hamas, Brigade al-Qassam menolak mentah-mentah usulan gencatan senjata dengan Israel yang dimediatori Mesir. Bagi sayap militer Hamas itu, semboyan “darah dibalas darah, dan nyawa dibalas nyawa” tetap berlaku.

Diplomasi Abbas

Israel pun tidak mau menanggung risiko. Sehari setelah menyatakan setuju gencatan senjata, mereka tetap menginvasi Jalur Gaza. Dalih mereka, tidak lain karena Hamas tidak berhenti menembakkan roket ke Israel.

Sementara itu, Presiden Palestina, Mahmoud Abbas dan pemerintah baru Palestina pimpinan Perdana Menteri Rami Hamdallah, mencari cara lain untuk menghentikan invasi Israel. Cara itu lewat diplomasi di PBB. Di mana, sejumlah negara, termasuk Indonesia sudah siap menyeret Israel ke Mahkamah Internasional atas tuduhan melakukan kejahatan perang terhadap rakyat Palestina di Gaza. Terlebih data PBB menyebut, 70 persen korban invasi Israel di Gaza adalah warga sipil.

Namun, sebagian rakyat Gaza yang tidak menyukai cara pemerintah Palestina justru salah paham. Puluhan rakyat Gaza, berkumpul di halaman rumah sakit di Gaza dengan menggenggam sandal dan sepatu untuk menolak kedatangan para pejabat pemerintah Palestina untuk melihat penderitaan rakyat Gaza di rumah sakit tersebut.

”(Presiden) Abbas adalah seorang mata-mata, keluarga Hamdallah seorang pengkhianat,” teriak seorang pemuda mengacu kepada Presiden Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan Perdana Menteri Rami Hamdallah, perdana menteri dari pemerintahan baru Palestina.


Sindow