Menurut Yusron, Jepang saat ini sudah melakukan deregulasi kebijakan atas ekspor alat-alat pertahanan atau penjualan senjata. Sebelumnya, kerja sama pertahanan Jepang dengan negara lain selalu terhambat aturan di dalam negeri yang membatasi Jepang untuk memiliki kekuatan militer.
"Saya menilai ini peluang yang besar sekali. Misalnya, kerja sama pesawat dengan PT DI atau kita bisa join dalam riset, produksi, dan capital (modal). Kerja sama di bidang industri pertahanan, iklimnya sangat baik," kata Yusron yang ditemui wartawan saat rapat kerja (raker) para pimpinan Kementerian Luar Negeri di Jakarta, Selasa (3/2).
Yusron mengungkapkan Jepang di bawah Perdana Menteri (PM) Shinzo Abe berusaha mengamandemen pasal 9 UUD Jepang yang isinya membatasi negara itu untuk memiliki kekuatan militer. Namun, amandemen ternyata tidak dimungkinkan sehingga pemerintah Jepang mengusulkan rancangan undang-undang (RUU) yang isinya menyebutkan konstitusi bisa memiliki tafsiran baru.
Dia mengatakan RUU itu sudah disepakati oleh parlemen, sehingga Jepang berani membuka diri untuk kerja sama pertahanan sejak 1 April 2014.
"Dengan tafsir baru, seandainya ada masalah-masalah di Laut Cina Selatan, konflik Vietnam, atau konflik yang menyangkut kepentingan nasional mereka. Jepang secara kualitatif bisa meningkatkan pertahanannya," kata Yusron.
Yusron mengatakan MoU itu juga memungkinkan alat-alat pertahanan atau senjata asal Jepang untuk masuk ke Indonesia. Dia mencontohkan Indonesia sebelumnya pernah berkeinginan mengimpor mesin Hino dari Jepang, namun terhambat pasal 9 UUD Jepang.
Dia menambahkan Indonesia bisa mendapatkan tiga keuntungan sekaligus lewat kerjasama pertahanan atau ibaratnya "buy one get three". Keuntungannya adalah pertahanan di dalam negeri semakin bagus, diplomasi pertahanan menjadi semakin kuat, dan industri pertahanan bisa meningkatkan perekonomian Indonesia.
"Kalau Jepang mau menjual produk ke Indonesia, syaratnya mereka harus mau investasi di sini," kata Yusron.(beritasatu.com)