Pages

Saturday, 2 May 2015

Dibalik Kelincahan Manuver Sukhoi Su-35 Super Flanker


Nozzle Su-35 yang dilengkapi thrust vectoring.
Dalam kompetisi, tiap manufaktur sah saja berdalih bahwa produk yang diusungnya lebih canggih dan handal. Seperti dalam tender pengadaan jet tempur pengganti F-5 E/F Tiger II TNI AU. Pihak Sukhoi, Eurofighter, Saab dan Dassault punya argumen dan perspektif tersendiri atas produk yang diusungnya, karena pada dasarnya baik Sukhoi Su-35 Super Flanker, Eurofighter Typhoon, JAS 39 Gripen NG dan Dassault Rafale punya sisi plus minus, alias tidak ada yang benar-benar ideal.


Namun, ada satu teknologi yang membuat sang jawara jet tempur idola Su-35 berbeda dari ketiga kompetitornya, yakni thrust vectoring. Merujuk dari definisinya, thrust vectoring adalah kemampuan yang memungkinkan sebuah pesawat mengatur arah semburan dari mesin jetnya untuk memberikan dorongan vertikal ke atas. Thrust (dorongan) yang dihasilkan oleh pesawat, baik jet maupun propeller (baling-baling) umumnya mengarah ke belakang pesawat. Sedangkan gerakan pesawat diatur oleh control surface. Dengan sokongan thrust vectoring, maka pesawat dapat lebih dinamis dalam melakukan manuver.

Selain Su-35, MiG-35 pun mengusung teknologi yang sama.
Selain Su-35, MiG-35 pun mengusung teknologi yang sama.

Thrust vectoring bukan cerita baru dalam dunia aviasi, contoh yang sangat mengena adalah jet Harrier yang bisa mengarahkan thrust-nya ke bawah , sehingga jet yang kondang di Perang Malvinas ini dapat terbang secara vertikal. Dalam segmen pesawat baling-baling, V-22 Osprey menjadi pembuktian yang cukup berhasil.

Kembali ke Sukhoi Su-35, solusi thrust vectoring yang digunakan pada dua mesin Saturn 117S (AL-41F1S turbofan adalah Vectoring in Forward Flight (VIFF). Dengan VIFF, pesawat dengan mesin jet konvensional dapat melakukan manuver yang tidak biasa, diantaranya seperti manuver Cobra Pugachev dan berkat TVC (thrust vectoring control) pesawat mampu beroperasi dari landasan pendek. Thrust vectoring yang diadopsi Su-35 mengusung teknologi tiga dimensi. Putaran ke semua arah ini dilakukan dengan bantuan tiga aktuator hidrolik yang dipasang pada interval 120 derajat di sekitar nacelle mesin, yang membelokkan nozzle mesin. Sistem Klimov ini punya nozzle yang bergerak 18 derajat ke segala arah.

Su-30MKM AU Malaysia dengan thrust vectoring.
Su-30MKM AU Malaysia dengan thrust vectoring.

Dengan trust vectoring tiga dimensi, maka arah semburan dari nozzle dapat diputar ke semua arah. Dengan begitu, Su-35 digadang mampu meladeni dogfight dengan ‘gaya’ yang tak lazim, seperti tiba-tiba dapat berputar salto 360 derajat dalam waktu singkat. Di arsenal NATO, vectoring thrust ala Su-35 hanya dapat ditandingi oleh F-22 Raptor dan F-35 Lightning II. Bekal thrust vectoring inilah yang menjadi salah satu daya deteren Su-35. Adanya thrust vectoring plus kanon GSh-30 kaliber 30 mm plus penjejak target berbasis optik sudah menjadi bekal penghantar maut yang jadi andalan dalam laga dogfight.


Eurofighter Typhoon Ikutan Pakai Thrust Vectoring
Melihat kompetitornya dari Eropa Timur unggul dalam urusan thrust, membuat pihak Eurofighter tidak tinggal diam. Pada tahun 2011 lalu, Eurofighter dan pihak Eurojet selaku pembuat mesin EJ200 menawarkan paket upgrade mesin Typhoon dengan kelengkapan thrust vectoring. Proyek ini secara khusus disampaikan Eurofighter dalam penawarannya ke AU India. Tawaran ini di integrasikan dalam paket mid life upgrade.
Mesin EJ200 dengan thrust vectoring.
Mesin EJ200 dengan thrust vectoring.

Pihak Eurofighter menyebutkan instlasi thrust vectoring nozzles dapat dilakukan tanpa perubahan struktur mesin dan airframe. Adopsi thrust vectoring di Typhoon dapat menghemat pembakaran mesin hingga 5% dan menambah kecepatan supersonic cruise (super cruise) hingga 7%. Super cruise adalah kemampuan pesawat untuk melesat dalam kecepatan supersonic tanpa melakukan afterburner. 
(Indomiliter)