KEMBALINYA Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi pada 1 Mei 1963 ditandai pengibaran Bendera Merah Putih di kota Hollandia (sekarang Jayapura) merupakan klimaks perjuangan panjang sejak 28 Oktober 1928.
Momentum Sumpah Pemuda mencanangkan Indonesia sebagai Tanah Air utuh, membentang dari Sumatera sampai Irian. Dilanjutkan perjuangan melalui Proklamasi 17 Aguatus 1945 dan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957, sampai dengan kembalinya Irian Barat secara de facto dan de jure, Indonesia menjadi suatu Negara Maritim yang utuh.
Namun, siapa yang mengira bahwa proses penyempurnaan Tanah Air Indonesia dari Sumatera sampai Irian itu terdapat satu nama yang dianggap sebagai tokoh kunci proses perjuangan mengembalikan Irian Barat.
Subandrio, seorang diplomat Indonesia yang berhasil memainkan lobi-lobi internasional membuat Belanda tak berdaya untuk terus berdiam di Irian. Sehingga mau tidak mau harus mengakui Keaulatan Indonesia di tanah Irian.
Meskipun tidak setenar Haji Agus Salim, Ir. Djuanda, Mochtar Kusumaatmaja, dan diplomat lain, nama Subandrio tetap terukir dalam tinta emas persatuan bangsa Indonesia.
Pria yang lahir di Kepanjen, 15 September 1914 ini menyelesaikan studinya di sekolah kedokteran Jakarta (GHS) sebelum Kemerdekaan Indonesia. Pasca-kemerdekaan, Subandrio aktif dalam pergerakan pemuda bersama Subadio Sasrotomo dan Soedarpo, gerakan sosialis Indonesia.
Mantan wapres Adam Malik dalam tulisannya di tahun 1980, mengakui kehebatan Subandrio saat masih menjadi pemuda. Menurutnya, Subandrio lah yang berhadapan dengan agen-agen Buckmaster—agen rahasia Inggris pada Perang Dunia II—yang berkeliaran di Jakarta untuk mencari data sebanyak mungkin mengenai Republik Indonesia yang baru berdiri itu.
Kemampuan diplomasinya sudah terlihat sejak masa itu, dan tidak salah kemudian jika Presiden Soekarno menunjuknya menjadi duta besar RI di Inggris tahun 1950-1954 dan di Rusia tahun 1954-1956.
Pasca menjadi Dubes di kedua negara besar itu, Subandrio dipanggil pulang untuk menempati pos sebagai Menteri Luar Negeri RI. Pada 1960, ia ditunjuk sebagai Wakil Perdana Menteri Pertama (setingkat Wapres pada masa Orde Lama) dan merangkap kepala Badan Pusat Intelijen (BPI).
Di masa inilah kiprah Subandrio sebagai diplomat ulung yang lincah memainkan konstelasi dunia terjadi guna merebut Irian Barat kembali kepada NKRI. Pada 1960, Ia bersama Bung Karno dan Jenderal AH. Nasution bertolak ke Moskwa bertemu Presiden kruschev membahas bantuan militer yang akan digunakan untuk mengusir Belanda di Irian Barat.
Alhasil, lobi tersebut berhasil dengan membawa pulang 1 kapal penjelajah (cruiser), 4 kapal perusak, 8 Fregat, 4 kapal selam jenis “W”, 12 kapal cepat torpedo, dan 20 Pesawat MIG-17. Hasil itu terus bertambah setahun kemudian. Jenderal AH. Nasution kembali ke Moskwa untuk penambahan alutsista.
Pada 1961, Subandrio aktif melakukan lobi-lobi internasional di PBB, menyelesaikan masalah Irian Barat. Diskusinya dengan John F. Kennedy, Edward Bunker, U Thant, Howard Jones, Van Royen, dan PM Belanda Luns menghasilkan Perjanjian New York, 15 Agustus 1962.
Isi dari perjanjian itu adalah penyerahan Irian Barat kepada Indonesia melalui UNTE selambat-lambatnya 1 Mei 1963. Itu merupakan kemenangan Indonesia atas Belanda, bahkan atas dunia internasional.
Menulis Buku
Di masa tuanya, setelah kurang lebih 30 tahun mendekam di penjara akibat dituduh terlibat dalam G30S/PKI, Subandrio masih sempat menulis buku tentang perjuangan kembalinya Irian Barat dengan judul Pelurusan Sejarah Irian Barat pada 2001. Alasan menulis buku itu tidak lain adalah karena miris melihat kondisi Irian Jaya (Papua) yang bergejolak akibat pembangunan yang tidak merata selama Orde Baru.
Teriakan untuk merdeka dari tanah Papua semakin menjadi pada masa itu. Dan jika dibiarkan terus menerus serta tidak diberikan pemahaman yang baik kepada generasi mendatang tentang sejarah Irian Barat, bukan tidak mungkin Papua akan menyusul Timor Timur.
Dalam bukunya itu, Subandrio menceritakan bahwa perjuangan merebut Irian Barat bukan hanya dilakukan oleh ABRI dan sukarelawan yang berasal dari Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Maluku, melainkan orang asli Irian sendiri yang melakukan perjuangan mengembalikan tanahnya ke Ibu Pertiwi dan pengibaran Sang Saka Merah Putih di sana.
Bahkan pada penandatanganan Perjanjian di New York, putera-putera terbaik Irian seperti JA. Dimara, Frans Kaisepo, Raja Rumagesan turut hadir bersama Subandrio menyaksikan prosesi tersebut.
Dr Roeslan Abdulgani dalam pengantar buku itu menyatakan, “ Sekali lagi ingin saya kemukakan penghargaan saya atas karya Dr. Subandrio ini. Mudah-mudahan ini menjadi kajian dan pelajaran bagi generasi muda kita, khususnya yang membaktikan diri pada bidang diplomasi dan luar negeri.”
Pengantar lainnya dalam buku itu adalah Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu menjadi Menko Polsoskam. SBY menyatakan, “Buku ini terbit di saat yang tepat, ketika nasionalisme dan patriotisme bangsa Indonesia diuji kembali. Juga ketika integrasi nasional dan keutuhan NKRI sedang menghadapi permasalahan serius, termasuk munculnya kembali gerakan separatisme di Irian Jaya.”
Subandrio tutup usia pada 3 Juli 2004 dalam usia 89 tahun. Tidak ada penghormatan atau penghargaan terakhir pada pria yang mengabdikan hidupnya untuk bangsa dan negara ini. Apa yang telah diukirnya dalam perjuangan Irian Barat adalah suatu kenangan manis dan amal ibadah yang dibawanya ke liang lahat.
Tugas kita saat ini adalah meneruskan perjuangan Subandrio dengan mempertahankan persatuan dan kesatuan Indonesia.
Jurnal Maritim