Kenetralan Indonesia membantu mendinginkan situasi yang panas.
(Reuters)
Demikian
ungkap juru bicara delegasi dan Direktur Kantor Bidang Luar Negeri
Kementerian Pertahanan Tiongkok, Mayor Jenderal Guan You Fei yang
ditemui dalam pertemuan khusus dengan media, termasuk VIVAnews,
di Hotel Shangrilla, pada Rabu, 23 Juli 2014. Dalam kesempatan itu,
Guan menegaskan posisi Tiongkok selalu jelas dalam menyikapi konflik di
Laut China Selatan.
"Kami selalu mengedepankan dialog secara bilateral dan menolak kehadiran pihak luar," ungkap Guan.
Tiongkok,
imbuh Guan, akan selalu berupaya untuk menjaga perdamaian di kawasan dan
ingin melihat perkembangan yang dapat membuat rakyat masing-masing
negara sejahtera.
"Laut China Selatan bukan masalah ASEAN, oleh sebab itu, tidak akan kami masukkan ke dalam agenda regional," kata dia.
Dalam
kesempatan itu, Guan turut menegaskan penolakan Pemerintah Tiongkok
terhadap beberapa negara yang menunjukkan gelagat untuk mengadu domba
beberapa negara di kawasan Asia Tenggara. Guan menyampaikan
pemerintahnya tidak akan membiarkan dan merusak kedaulatan Tiongkok
serta perdamaian di kawasan.
"Kami
mengimbau kepada semua pihak untuk menahan diri dan menghormati
deklarasi tata berperikelakuan di kawasan LCS (DOC)," ujar Guan.
Kenetralan
Indonesia ditunjukkan oleh sikap Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa
yang mendorong kerangka regional untuk menyelesaikan klaim maritim
tersebut. Kantor berita Amerika Serikat, VOA Indonesia edisi 2012 lalu, melansir, Marty mendorong inisiasi itu dari Phnom Penh ke Manila, Bangkok, sampai Hanoi.
Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, kenetralan Indonesia membantu mendinginkan situasi yang panas.
“Indonesia
menjadi semacam titik tumpu, mencoba tetap di tengah, di mana pun titik
tengah itu berada. Saya kira peran negara tersebut akan bergerak maju.
Status Indonesia telah meningkat seiring hasil dari diplomasi yang
dijalankannya,” ujar Justin Logan, direktur studi kebijakan luar negeri
di Cato Institute, AS. (art)
viva.co.id