Keuntungan pertama: Gripen dapat di-customize 100% menurut kebutuhan Indonesia
Pesawat tempur import modern dewasa ini, baik F-16C/D atau Su-30MK2,
biasanya memiliki daftar perlengkapan/persenjataan standard yang sudah
ditentukan oleh negara penjual. Kelemahannya, pembeli tidak mungkin
menambah pilihan lain yang tidak tercantum di dalam daftar si penjual.
Uni Arab Emirates (UAE) saat ini adalah satu-satunya pengguna F-16 Block-60, sub-tipe
F-16 yang paling modern di dunia (lebih modern dari versi USAF). UAE
bahkan membayar $3 milyar untuk development cost F-16 Block-60, dan
sebagai upahnya, akan mendapat royalty kalau Block-60 ini terjual ke
negara lain (belum terjual).
Konsep seperti ini mirip dengan KF-X, bukan? Apakah sudah menjadi skenario yang ideal ?
Saatnya berkenalan kembali dengan tehnik jitu FMS pemerintah US untuk mengontrol persenjataan/perlengkapan negara client.
Untuk menghadapi Iran, UAE menginginkan stealth cruise missile jarak
yang jangkauannya mencapai 300 km untuk dipasangkan ke F-16 mereka. F-16
USAF tentu saja dapat membawa senjata semacam ini – AGM-158 JASSM stealth cruise missile. Tapi pemerintah US tidak mengijinkan penjualan senjata ini ke semua negara Timur Tengah.
UAE kemudian melirik MBDA Storm Shadow
sebagai pilihan kedua untuk memenuhi kebutuhan mereka. Mereka tetap
membentur tembok! Pemerintah US juga tidak mengijinkan perubahan
source-code untuk F-16 Block-60 UAE yang memungkinkannya membawa Storm
Shadow. Solusi UAE untuk menghadapi masalah ini: mereka memasang MBDA
Storm Shadow (versi mereka: Black Shaheen cruise missile) ke Mirage 2000-9 mereka.
Tragedi UAE ini pasti akan terulang dalam KF-X versi Indonesia atau F-16 Block-62.
Tidak seperti UAE, Indonesia tidak akan mempunyai dompet yang cukup tebal untuk membayar harganya.
Di sinilah kunci keunggulan Gripen Negara pembeli mempunyai kebebasan penuh untuk menentukan sendiri apa yang dibutuhkan untuk Gripen mereka.
Gripen-NG di Brazil memberikan
contoh yang baik. Kalau melihat diagram breakdown dari Gripen Brazil,
local content sudah cukup banyak. Versi Brazil juga akan memasangkan
sistem aerial network buatan sendiri, dan mengintegrasikan missile
A-Darter (hasil kerjasama Brazil – Afrika Selatan). Hasilnya, Gripen
untuk Brazil sudah akan berbeda dibandingkan milik Swedia. Sepuluh tahun
di masa depan, perbedaan perlengkapan antara Gripen Brazil dan Swedia
akan semakin membesar, tergantung pilihan masing-masing.
Gripen untuk Indonesia tentu saja juga berpotensi menuju ke arah yang sama. SAAB akan mentransfer source code Gripen (contoh: Brazil) sebagai bagian dari 100% ToT.
Penguasaan Source Code di Gripen memberikan kebebasan untuk Indonesia
memilih senjata. Ini akan menjadi deterrent effect tersendiri, dan
mendorong kreativitas pemakai.
Misalnya, untuk BVR combat, versi Indonesia dapat membawa tidak hanya Meteor,
tapi juga R-77T (infra-red) dan R-77-1 buatan Russia. Kombinasi seperti
ini sudah akan menjadi mimpi buruk untuk latihan pilot untuk RAAF
Australia dan RSAF Singapore. Sekarang mereka harus berlatih untuk
menghadapi 3 macam sub-variant missile yg berbeda, dari negara pembuat
yang berlawanan satu sama lain.
Kalau mereka melihat Gripen Indonesia di radar, mereka juga harus
menebak, sebenarnya Gripen ini akan membawa senjata yang mana ?.
Sebaliknya, untuk latihan BVR combat, pilot-pilot Indonesia hanya
perlu berlatih untuk menghadapi AMRAAM C-7. Sebagai sarana pembantu,
Gripen-E/F sudah membawa next-generation Gallium-Nitride jammer
yang lebih unggul dibanding semua tipe lain. Keunggulan Jammer ini akan
membantu menangkal kemampuan radar kecil di AMRAAM untuk “men-lock”
Gripen.
Apapun yang diinginkan Indonesia, dapat disampaikan langsung ke SAAB,
dan mereka akan mencoba mengakomodasi, dalam batasan platform Gripen.
Keuntungan kedua: 100% Transfer-of-Technology, dan kesempatan untuk partnership dalam pengembangan proyek Gripen-NG
Kita tidak akan pernah bisa berlari, kalau belum pernah belajar berjalan. Artikel Transfer-of-Technology, sudah membahas hal ini.
Pembelian Gripen akan memberikan kesempatan untuk
Indonesia mulai belajar dari NOL. Inilah tempat terbaik untuk mulai
terlebih dahulu mendalami tehnologi salah satu pesawat tempur paling
modern dewasa ini. Tawaran 100% ToT dari SAAB,
tentu saja juga akan membuka peluang yang besar untuk Indonesia dapat
merakit Gripen sendiri di Bandung. Indonesia kemudian akan dapat mulai
melihat dalam jangka menengah-panjang, seberapa banyak ”part” dalam
Gripen yang akan menjadi ”made in Indonesia”.
Ini bukan berarti setelahnya, SAAB akan berpangku tangan, dan mendikte kita seperti kasus FMS pemerintah US. Pembelian
Gripen-NG dari SAAB juga akan menjadi undangan untuk bergabung dalam
proyek bersama untuk memajukan Gripen fighter system. Brazil sudah
dinobatkan sebagai salah satu partner untuk Gripen-NG project,
pertama-tama untuk produksi lokal mereka, tapi kemudian untuk semua
“Gripen NG customers”. Indonesia juga akan lebih berpeluang mendapat
tempat duduk yang sama.
Gripen-NG akan menjadi proyek bersama dari negara-negara yang
non-blok / netral, bebas dari pengaruh industri-industri militer
tradisional US, dan Russia. Kerjasama antara SAAB (Swedia), dan PT DI
(Indonesia), dalam Gripen-NG akan berpeluang besar menjadi kekuatan yang
patut diperhitungkan di dunia aviation.
Keuntungan Ketiga: Aerial Data Networking
Networking akan membagi satu gambaran yang sama untuk target (lawan),
tanpa perlu mengandalkan kemampuan deteksi individual. Target mungkin
dideteksi oleh radar di darat, dari kapal, pesawat AEW&C, atau
mungkin pesawat tempur lain, tapi setiap pilot pesawat tempur akan
mempunyai pengetahuan yang penuh lokasi, ketinggian, dan kecepatan
lawan. Tentu saja, semuanya akan tahu benar bagaimana caranya menembak
jatuh lawan tersebut. Pihak mana yang dapat membuat gambaran lawan lebih
baik, tentu saja akan menjadi pihak yang lebih unggul didalam konflik.
Dalam keadaan sekarang, tidak mungkin F-16 Block-15/52ID dan Sukhoi
Su-27 Indonesia dapat di-network bersama. US tidak memberikan (atau
tidak mengijinkan) Link-16 NATO-standard network di F-16 Block-52ID,
sedangkan TKS-2 Network (kalau ada) di Su-27/30, yang berbasiskan
tehnologi Russia tidak akan compatible ke semua sistem pertahananan
udara Indonesia yang lain yang rata-rata berbasis tehnologi Barat.
Kelemahan lain, Indonesia tidak akan dapat memasang data network buatan pihak ketiga untuk menghubungkan Su-27/30 dan F-16. Peraturan
FMS US tidak mengijinkan modifikasi apapun di F-16 tanpa persetujuan
mereka. Di lain pihak, belum pernah ada negara lain yang mencoba
memasang Aerial Network buatan Barat yang lebih modern di atas Sukhoi
Flanker.
Kesulitan ini akan membawa dampak yang jelek di saat konflik, karena F-16 dan Su-27/30 Indonesia akan bertempur sebagai dua kekuatan yang terpisah,
yang hanya dapat dikoordinasi melalui radio. Dan karena sistem radio
kedua tipe pesawat ini juga dibuat dari dua sumber yang berbeda,
kemungkinannya juga sangat besar untuk lawan dapat melakukan jamming dan
mengacaukan signal komunikasi / koordinasi pemakaian kedua tipe ini.
Pembelian Sukhoi Su-35, F-16 Block-62, atau KF-X tidak akan menyelesaikan permasalahan ini. Sebaliknya, Gripen fighter system akan menjadi satu-satunya solusi yang dapat diambil Indonesia.
Swedia adalah salah satu pelopor konsep networking, pertama kalu mulai mencoba sistem ini di tahun 1957. Dengan sistem network TIDLS Swedia (non-NATO, bebas dari kontrol US), SAAB Gripen akan membuka lembaran baru untuk Indonesia. Sistem
TIDLS Gripen hampir tidak mungkin bisa di “jamming”. Berbeda dengan
Link-16, sistem TIDLS di Gripen akan menghubungkan lebih sedikit pemakai
(4 Gripen), tapi pembagian data jauh lebih lengkap/unggul untuk
memberikan ‘situational awareness’ yang terbaik. SAAB sudah meningkatkan
kemampuan ini lebih lanjut dalam format WISCOM untuk lebih memaksimalkan kemampuan AESA/IRST di Gripen-NG.
Kerjasama dengan Swedia, akan membuka peluang bagi Indonesia untuk mulai ke tahap pengembangan sistem National Data Link network sendiri, yang tidak hanya akan terbatas di Gripen saja. Kebutuhan Indonesia akan unik, hanya untuk Indonesia sendiri.
Semua Alutsista dari AU, AL, dan AD yang sudah terintegrasi fully
networked ke dalam sistem pertahanan yang terpadu, akan menjadi
deterrent factor tersendiri, yang sukar ditandingi negara lain.
Keuntungan keempat: Gripen-NG adalah proven-concept; satu-satunya
tipe yang akan memenuhi kebutuhan, dan keterbatasan Anggaran Indonesia
Memang Gripen-E yang pertama baru akan terbang di tahun 2018. Tidak
seperti proyek KF-X, atau proyek yang tidak karuan seperti F-35 — 90%
dari semua komponen baru yang akan dipasangkan di Gripen-E/F sudah
berhasil di tes dalam bentuk Gripen-NG demonstrator. Tidak ada tehnologi yang dipakai dalam Gripen-E/F yang belum teruji atau beresiko tinggi.
Gripen-NG adalah proven concept, dan dari segi kemampuan
patut diperhitungkan oleh semua negara-negara tetangga yg bersenjatakan
pesawat tempur buatan US. Perpaduan TIDLS data-link, kemampuan
supercruise, dan Meteor BVRAAM (BVR missile terbaik di dunia) akan membuat lawan berpikir dua kali kalau mau mencoba “menjajal” pertahanan udara Indonesia.
Fleksibilitas Gripen untuk bisa beroperasi dari jalan lurus sepanjang
800 meter, juga dapat disesuaikan dengan proyek pembangunan
infrastruktur di seluruh Indonesia. Kenapa tidak? Tentu saja ini
perpaduan istimewa, kalau pembangunan infrastruktur di setiap tempat
dapat diperhitungkan dengan konsep “jalan lurus disini akan menjadi
pangkalan gerilya untuk Gripen”. Sekarang Indonesia dapat membangun
ribuan “pangkalan rahasia” untuk Gripen di seluruh pelosok negeri.
Masalah selanjutnya, training.
Jumlah latihan jam terbang standar untuk pilot NATO dewasa ini adalah 170 jam terbang / tahun.
Pilot USAF dan US Navy mempunyai standar yang lebih tinggi – 220 jam /
tahun. RSAF Singapore dan RAAF Australia, yang dibentuk menurut standard
NATO, kemungkinan besar akan mempunyai latihan jam terbang per pilot
diantara angka 170 jam – 220 jam per tahun ini.
Indonesia boleh membeli pesawat tempur yang sebagaimanapun hebatnya,
tapi tanpa investasi dalam jam latihan, tetap akan mudah dikalahkan oleh
F-18A/B Australia, atau F-16 Block-52+ Singapore yang jauh lebih
“inferior”, hanya karena pilot mereka jauh lebih terlatih.
Dengan biaya operasional Sukhoi Flanker yang mencapai Rp 400 juta / jam, Indonesia akan membutuhkan Rp 1 Triliun per tahun untuk mencapai angka latihan 170 jam per tahun, hanya untuk 16 Sukhoi. Dengan biaya operasional Gripen (lihat gambar), Indonesia hanya perlu mengeluarkan kurang dari setengah dari biaya tersebut untuk mencapai 170 jam training untuk 48 Gripen (3 Skuadron).
Kenyataannya, Anggaran militer Singapore dan Australia
jauh lebih tinggi. Perlengkapan mereka lebih modern, persenjataan lebih
lengkap, dan keduanya tidak pernah mengalami masa embargo militer.
Gripen-NG, dengan biaya operasional yang bahkan lebih murah dibandingkan
F-16, akan memberikan kesempatan untuk Indonesia untuk mengejar
ketinggalan, atau menyamai kemampuan mereka.
Keuntungan Kelima: SAAB/Swedia akan menjadi supplier Indonesia
Sebelum tahun 2000-an, Swedia / SAAB bukanlah penjual pesawat
tempur yg aktif seperti UK atau Perancis di dunia internasional. Produk
mereka selalu bersaing, tapi tidak pernah dijual bebas. SAAB J-35 Draken
hanya dijual ke negara-negara Skandinavia yang lain, sedangkan JA-37
Viggen bahkan tidak dijual ke negara lain.
Kebanyakan negara di dunia ini, tentu sudah membina hubungan baik
dengan salah satu supplier traditional — US, Russia, Perancis, dan UK.
Kalau hubungan mereka sudah baik, biasanya sudah sulit untuk pindah.
Lagipula, kemampuan marketing SAAB jelas bukan tandingan Boeing,
Lockheed, EADS, atau Dassault.
Kemampuan geopolitik US untuk melakukan tekanan diplomatis cukup
besar (supaya negara lain membeli senjata mereka), dan mereka tentu saja
rajin membagi-bagi subsidi gratis bagi pembeli senjata mereka. Tidak
seperti Pakistan, Indonesia tidak akan mungkin bisa dapat banyak! US akan tetap lebih “sayang” ke Australia dan Singapore.
Swedia yang netral tidak akan mau ambil pusing dengan permainan semacam itu. Tidak akan ada motivasi ”terselubung” yang menyertai pembelian senjata dari Swedia.
Keberanian untuk menawarkan 100% ToT, berarti Swedia /
SAAB melihat adanya peluang kerja sama yang besar dengan industri
pertahanan Indonesia. Di lain pihak, SAAB justru menolak untuk ikut
kompetisi pesawat tempur di negara tetangganya sendiri, Denmark (ini sangat mengejutkan!), Canada, dan Korea (untuk F-X III diundang, tapi menolak untuk ikut).
Kesimpulan
Seberapa hebatnya Gripen untuk Indonesia,
tidak seperti pilihan lain, akan murni 100% tergantung kepada kemampuan
Indonesia untuk berinovasi, dan tentu saja komitmen sendiri. Dan tidak
seperti Flanker, pesawat ini tidak akan menghabiskan uang anggaran
militer hanya untuk biaya operasional, jadi dana yang sudah terbatas
dapat dialihkan ke bagian lain.
Gripen akan membuka pintu untuk para ahli Indonesia,
bukan hanya dalam bidang pesawat tempur, tapi juga dalam bidang
persenjataan, perlengkapan, programming, dan data networking yang
modern.
Tidak seperti KF-X berbasiskan tehnologi US, tidak akan ada tehnologi yang dirahasiakan. Bukan
tidak mungkin, bahkan semua perlengkapan innovatif yang sudah berhasil
dikembangkan melalui sistem Gripen, bahkan dapat di eksport di kemudian
hari.
PT DI (tergantung jumlah investasi negara di Gripen) juga akan
berpeluang untuk menjadi sub-contractor utama perakitan Gripen di
kawasan Asia-Pasifik.
Memilih Gripen-NG akan membebaskan kita dari kemungkinan belenggu FMS
yang terus mengancam semua tipe buatan US / Korea (sama saja), dan juga
menjamin kestabilan dan kesiapan tempur dibandingkan Sukhoi Flanker
yang sudah mempunyai reputasi gampang rusak.
Pembelian Gripen-NG akan menjadi langkah pertama Indonesia untuk mencapai sistem pertahanan yang mandiri.
Catatan penutup
Mesin F414G di Gripen-NG adalah satu-satunya komponen yang masih
buatan US. Tapi kita tidak perlu terlalu khawatir! Di masa embargo
dahulu saja, Indonesia masih bisa mengudarakan F-16 untuk menghadapi
insiden pulau Bawean.
Indonesia tentu akan belajar bagaimana cara men-service mesin F414G tanpa bantuan luar. Lagipula,
mesin ini sudah mengumpulkan jutaan jam terbang, dan sangat relaible.
Di lain pihak, tidak pernah ada satupun Gripen yang pernah jatuh karena
kerusakan mesin.
Tambahan: Iran saja masih mampu menerbangkan F-14A, walaupun sudah di-embargo sejak tahun 1979.