Posko pencarian didirikan. Di bawah koordinasi Badan SAR Nasional, posko utama itu akhirnya diletakkan di Landasan Udara Iskandar, Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Hampir setiap hari, jenazah penumpang dan kru pesawat itu ditemukan di perairan. Jenazah itu akhirnya dibawa ke Lanud Iskandar untuk kemudian diterbangkan ke Surabaya, Jawa Timur, guna proses identifikasi lebih lanjut.
Namun, sebelumnya, jenazah ditransitkan terlebih dahulu ke RSUD Imanuddin, Pangkalan Bun, untuk dikemas. Dengan demikian, ini memudahkan proses identifikasi lanjutan.
"Di sini kita lindungi dulu. Sejumlah data penting kita selamatkan untuk proses identifikasi. Setelah itu, kita tutup jenazah dengan plastik dan kita plakban agar tidak mempercepat proses pembusukan," kata AKBP dr Sumy Hastry Purwanti, Sp Forensik, di Lanud Iskandar, Rabu (7/1/2015).
Hastry merupakan satu-satunya dokter forensik perempuan yang membantu proses identifikasi jenazah di RSUD Imanuddin. Di rumah sakit tersebut setidaknya ada dua tim yang diterjunkan untuk melakukan proses identifikasi awal jenazah. Satu tim berisi sepuluh orang yang terdiri dari dua dokter forensik, tim teknis, dokter umum, serta petugas yang memasukkan dan mengemas jenazah ke dalam peti jenazah.
"Setiap tim itu bertugas secara bergantian untuk menangani satu jenazah," tuturnya.
Keluarga sebagai "vitamin"
Ketika pesawat AirAsia QZ8501 dikabarkan hilang, Hastry telah mempersiapkan diri jika sewaktu-waktu akan diterjunkan DVI untuk membantu proses identifikasi jenazah. Ia sadar bahwa peristiwa hilangnya pesawat itu berdekatan dengan malam pergantian tahun baru, sebuah malam yang tepat untuk berkumpul bersama keluarga. Kendati demikian, ia mengungkapkan, keluarganya sudah cukup memahami profesinya sebagai dokter forensik yang bekerja di kepolisian.
Sebuah tugas besar menanti. Ada keluarga lain yang membutuhkan bantuannya dalam mengidentifikasi jenazah keluarga mereka. "Anak dan suami saya sudah tahu bahwa ibunya harus berangkat," ceritanya.
Bagi Hastry, keluarga adalah "vitamin" penyemangat hidup. Untuk itu, ketika ia harus bekerja dalam waktu lama, baik itu di luar kota maupun di luar negeri, komunikasi dengan keluarga menjadi "vitamin" yang cukup manjur untuk mengobati rasa rindu.
"Biasanya kalau pagi sebelum kerja atau malam sesudah kerja itu saya telepon. Mereka tahu, kalau sudah bekerja, biasanya ibunya susah dihubungi," katanya.
Piawai dan disegani
Sehari-hari, Hastry berdinas di Kepolisian Daerah Jawa Tengah. Ia menjabat sebagai Kepala Sub Bidang Kedokteran Polisi (Kasubid Dokpol) Bidang Kedokteran Kesehatan (Biddokes) Polda Jawa Tengah. Namun, jika ada peristiwa besar, seperti kecelakaan atau bencana alam, ia akan bergabung dengan tim Disaster Victims Identification (DVI) Polri untuk menanganinya.
Sejumlah kasus besar pun pernah ditangani sejak ia masih menempuh pendidikan sebagai dokter spesialis forensik di Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah. Kasus-kasus itu antara lain Bom Bali I (2002), bom Hotel JW Marriott (2003), bom di Kedutaan Besar Australia, bencana alam tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam (2004), kecelakaan pesawat Mandala di Medan (2005), Bom Bali II (2005), serta kecelakaan pesawat Sukhoi (2012).
Kepiawaiannya dalam mengungkap identitas jenazah yang sulit teridentifikasi pun membuat namanya cukup diperhitungkan di dunia. Bahkan, ketika peristiwa kecelakaan pesawat Malaysia Airlines MH17 terjadi di Ukraina beberapa waktu lalu, dia sempat dipanggil ke Belanda untuk membantu proses identifikasi tersebut.
"Enggak diseganilah. Kebetulan kan kerja di kepolisian dan memiliki keahlian. Jadinya sering diminta bantuan kalau ada kejadian di dalam dan luar negeri," katanya.
Hastry mengungkapkan, menjadi dokter forensik merupakan profesi yang sangat menantang. Layaknya seorang polisi yang mengungkap sebuah kasus kejahatan, tak jarang dokter forensik juga harus dihadapkan pada realita bahwa jenazah yang dihadapinya tidak utuh. Dengan demikian, mereka harus menyusun satu per satu bagian tubuh jenazah dan mencocokkannya dengan data antemortem dan postmortem sebelum akhirnya menentukan identitas jenazah.
"Saya ini enggak mikir mau perempuan atau laki-laki. Begitu kali pertama kerja dan ke TKP (tempat kejadian perkara) lalu kasus terungkap, itu senang banget," ujarnya.
Menurut Hastry, ada beban mental yang dihadapi oleh seorang dokter forensik. Ia bercerita, ketika sebuah kecelakaan atau bencana besar terjadi, keluarga korban pasti akan menunggu kepastian nasib keluarganya yang menjadi korban dengan harap-harap cemas. Setidaknya, jika memang keluarga mereka meninggal dunia, jenazah dapat teridentifikasi dan segera dikembalikan ke keluarga untuk dimakamkan.
"Kasihan kalau tidak teridentifikasi, ini jadi beban juga buat kami. Kita berharap proses identifikasi bisa cepat selesai dan segera disemayamkan," katanya.
Wajah disaster
Seringnya bersentuhan dengan jenazah korban kecelakaan ataupun bencana membuat Hastry sudah tak lagi canggung dengan para jenazah itu. Bahkan, saking seringnya, ia menjuluki dirinya sendiri sebagai orang yang dekat dengan bencana.
"Wajahku ini sudah kayak disaster," selorohnya.
Selain panggilan jiwa, kata dia, orang yang menjadi dokter forensik itu haruslah memiliki kegigihan yang kuat. Profesi ini juga menuntut seseorang untuk dapat bekerja secara profesional tanpa kenal lelah.
"Jadi ya kerja ini padamu negeri saja. Kalau enggak gila, ya hobi. Nah, saya ini dua-duanya," katanya.(KOMPAS.com )
Hastry berharap, ke depan, dunia forensik di Indonesia dapat berkembang. Fakultas kedokteran yang ada pun semakin banyak mencetak lulusan ahli forensik yang dapat disegani dunia. Tak hanya untuk mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional, tetapi yang lebih utama adalah membantu suatu keluarga untuk menemukan anggota keluarga mereka yang hilang atau menjadi korban kecelakaan dan bencana alam.
"Saya ingin kedokteran forensik itu disenangi. Banyak adik-adik yang belajar sehingga banyak membantu masyarakat," katanya.