militaryphotos.netIlustrasi
Penulis sependapat dengan pernyataan bahwa hasil investigasi TNI
terhadap tragedi Cebongan, Sleman, beberapa waktu lalu, adalah
perkembangan yang baik dan positif.
Meminjam istilah Andi
Wijajanto (Kompas, 6/4/2013), misalnya, laporan hasil investigasi
tentang pengakuan keterlibatan Komando Pasukan Khusus menunjukkan
adanya budaya militer baru dalam tubuh institusi TNI. Sepertinya,
pilihan membuka terus terang tentang pelaku Cebongan adalah opsi
strategis rasional dan optimal yang saat ini dimiliki TNI. Di sisi
lain, pilihan itu telah menyampaikan sinyal bahwa ”waktunya telah tiba
bagi TNI untuk memanfaatkan ruang publik yang lebih terbuka dan luas
itu”. Budaya baru
Namun, sepertinya tidak akan mudah bagi pihak luar menyesuaikan diri ketika TNI berusaha memanfaatkan ruang publik yang lebih besar dan luas itu. TNI yang lebih terbuka dan transparan pasti juga akan membawa ”gelombang energi besar” yang mungkin akan menciptakan ketidaknyamanan bagi beberapa pihak.
Suka atau tidak suka, ada beberapa dampak yang tidak menyenangkan yang lahir dari budaya baru ini. Kultur keterbukaan akan membuat keresahan-keresahan di tubuh TNI memiliki spill-over sekaligus multiplier effects terhadap keresahan pihak lain di luar TNI. Identifikasi yang dilakukan menunjukkan, setidaknya ada empat pertanyaan besar yang harus dijawab aktor politik sipil jika kultur keterbukaan TNI terus menggelinding seperti bola yang kian membesar.
Pertama, tanggapan apa yang diberikan jika TNI mengartikulasikan secara tegas bahwa institusi itu bukan merupakan pemetik manfaat dari proses reformasi yang telah berjalan lebih dari satu dasawarsa?
Pertanyaan ini bukan tidak beralasan. Anggaran pertahanan, misalnya, masih terus menunjukkan adanya gap sangat besar antara yang dibutuhkan dan yang dialokasikan. Ketertinggalan dalam alat utama sistem persenjataan dibandingkan dengan negara tetangga merupakan rangkaian akibat dari keterbatasan anggaran itu. Tidak dimungkinkannya strategi off-budget karena keharusan regulasi yang ada mengakibatkan para perwira di lapangan dituntut untuk menjadi pemain-pemain akrobatik yang luar biasa.
Kedua, sikap apakah yang diberikan jika TNI secara terus terang menyatakan, institusi keamanan lain di luar TNI, terutama Polri, telah menjadi institusi pemetik dividen utama dari proses reformasi? Secara formal, anggaran Polri, seperti halnya TNI, memang juga tak memadai. Namun, pertanyaan ini layak dilontarkan karena privilese kelembagaan yang dimiliki TNI. Di bawah kerangka regulasi yang ada, Polri telah diposisikan tak hanya sebagai aktor keamanan, tetapi juga aktor dalam penegakan hukum, bagian dari sistem peradilan kriminal di Indonesia. Posisi dua kaki seperti ini memberikan ruang dan instrumen yang lebih luas bagi Polri untuk menjadi pemain akrobat yang jauh lebih canggih dibandingkan dengan TNI ketika berusaha mengatasi kendala anggaran di institusinya.
Dengan ikut melenturkan dan berperan dalam menegakkan ”benang basah” proses penegakan hukum di Indonesia, kendala anggaran untuk dirinya sebagai aktor keamanan baik secara institusional maupun secara individual relatif ”berhasil” dikelola. Liputan berbagai media tentang ”rekening gendut” yang sepertinya larut tanpa tindak lanjut menyampaikan tentang ”keberhasilan” itu. Patut pula mencatat bahwa sebenarnya schism antara TNI dan Polri telah sejak lama dipantau beberapa pengamat asing (lihat, misalnya, Robert Karniol, 2004; dan Michael O’Hanlon, 2005) karena kepentingan strategis negaranya terhadap Indonesia
Ketiga, argumen dan sikap apa yang diberikan bila TNI dengan kultur baru itu secara terus terang pula meminta dukungan untuk ikut melakukan penegakan hukum di Indonesia? Meski Polri bukan satu-satunya lembaga penegak hukum, dibandingkan dengan Kejaksaan dan juga KPK, sepertinya Polri menjadi ”terlalu kuat” dalam konstelasi dan peta kewenangan di antara ketiga lembaga penegak hukum itu.
Tanpa kemauan utuh Polri untuk melakukan eksekusi terhadap setiap putusan pengadilan, seluruh proses penegakan hukum dalam kasus-kasus besar memang tetap telah terkesan seperti kegiatan menegakkan benang basah. Kasus Susno Duadji, yang sempat sulit dieksekusi, menyampaikan pesan seperti itu. Karena itu, fasilitas rumah tahanan militer bagi para tersangka KPK menyampaikan sinyal sebagai bagian dari upaya untuk menutup ketidakseimbangan otoritas dalam penegakan hukum yang ada.
Gagasan agar TNI tidak hanya berfungsi sebagai security enforcement agency, tetapi juga bagian dari legal enforcement agency khususnya untuk memberantas preman dan pelaku korupsi, tentu saja suatu ide yang tidak mudah diwujudkan. Karena itu pula, menjadi sangat ironis dan sekaligus kontroversial ketika peradilan sipil-umum tampak tidak berdaya melakukan penegakan hukum untuk mengakomodasikan tuntutan publik terhadap rasa keadilan yang lebih besar (beberapa pihak mengusulkan tragedi Cebongan dibawa ke peradilan sipil). Gagasan ini bertambah ironis dan kontroversial karena, bahkan di AS, perilaku menyimpang seperti di Cebongan tetap ditangani melalui konsep sistem peradilan militer (lihat laporan R Chuck Mason 2012)
Bergantung sipil
Keempat, sikap apa yang diambil jika dengan budaya baru itu TNI kemudian berterus terang menyatakan dirinya sebagai institusi juga telah menjadi ”korban” dari kecenderungan adanya bangunan dinasti politik yang dilegitimasikan melalui proses demokrasi di Indonesia? Tanpa perlu penelitian mendalam, liputan media tentang latar belakang Kepala Staf TNI Angkatan Darat yang memiliki jejaring hubungan keluarga dengan Presiden, ataupun berita bisik-bisik yang berseliweran tentang pengangkatan beberapa panglima yang pernah menjadi ajudan SBY (baik sebagai sekretaris militer maupun pimpinan Paspampres), serta ”panggung besar” yang telah diberikan kepada putra Presiden dapat dijadikan referensi untuk menyampaikan adanya upaya membangun dinasti itu di tubuh TNI.
Jika keluhan sensitif seperti ini menggelembung menjadi isu politik besar, keresahan yang muncul dapat menjadi sangat serius karena akan dapat menyangkut rentang kendali organisasi dan kepatuhan dalam tubuh TNI terhadap Presiden sebagai panglima tertinggi dan juga terhadap semua pimpinan panglima TNI, tidak hanya segera setelah pascatragedi Cebongan, tetapi juga di masa depan.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana harus mengakomodasikan ”kultur baru” ini jika dinyatakan secara terus terang? Jawabannya sangat sederhana. Dalam sistem politik yang demokratis, ia akan banyak ditentukan kapasitas sipil—baik di DPR maupun SBY sebagai representasi lembaga Kepresidenan—untuk menangkap dan menanggapi momentum ini. Sinyal kultur baru itu telah disampaikan dari hasil investigasi TNI. Masalah yang tertinggal adalah melembagakannya. Jika tidak, kultur baru itu akan dapat bermuara menjadi suatu gelombang besar. Mengutip kecemasan Samuel P Huntington lebih dari tiga dasawarsa yang lalu, hal itu akan dapat muncul dalam suatu ledakan harapan dan frustrasi yang sangat meningkat terutama ketika suatu negara gagal melakukan proses demokratisasi.
Semoga tragedi Cebongan memberikan pelajaran baik dan bukan merupakan refleksi ketidakmampuan sipil melembagakan dan menanggapi kultur militer baru yang kini berkembang di tubuh TNI.
Kompas