Pages

Thursday, 26 September 2013

Tsunami Aceh Jadi Momentum Kebangkitan Militer Indonesia

Wakil Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin | KOMPAS IMAGES/BANAR FIL ARDHI

JAKARTA, Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin mengungkapkan, peristiwa tsunami di Aceh pada tahun 2004 menjadi momentum kebangkitan militer Indonesia.
Ia mengungkapkan, saat terjadi tragedi tsunami Aceh pada tahun 2004, TNI tak mampu mengevakuasi para korban karena keterbatasan peralatan akibat embargo. Saat itu, TNI tidak hanya tidak mampu melakukan mobilisasi, tetapi juga tidak membangun fasilitas kesehatan.

"Saat terjadi tsunami di Aceh, perlu evakuasi (korban). Tapi tak ada satupun pesawat kita yang mampu mengevakuasi," ujar Sjafrie, saat mengisi Simposium Ketahanan Nasional, di Universitas Paramadina, Jakarta, Kamis (26/9/2013).

"Jadi boro-boro untuk operasi militer, untuk operasi kemanusiaan saja enggak mampu," lanjutnya.

Sjafrie menjelaskan, peristiwa tersebut menjadi titik balik bagi militer Indonesia. Menurutnya, Pemerintah mulai menyadari bahwa Indonesia membutuhkan postur pertahanan militer yang memadai. Melalui Kementerian Pertahanan, Indonesia merancang misi untuk memperkuat postur pertahanan yang unggul, baik postur pertahanan militer dan postur pertahanan non-militer.

"Dengan luas negara yang begitu besar, sumber daya alam yang melimpah, serta penduduk yang banyak, postur pertahanan yang unggul dan memiliki daya tangkal yang tinggi menjadi kebutuhan yang mendasar," jelasnya.

Saat ini, menurut Sjafrie, Indonesia mengalami kebangkitan militer Indonesia setelah 15 tahun mengalami krisis ekonomi dan embargo militer. Ia mengungkapkan, ada dua ciri kebangkitan tersebut, yaitu memiliki kemampuan mobilisasi tinggi yang bisa digunakan, termasuk untuk operasi kemanusiaan, baik matra darat, laut, maupun udara, dan memiliki daya pukul yang dahsyat.

Selain itu, katanya, industri pertahanan nasional juga sedang mengalami kebangkitan. Sebelum tahun 2004, industri pertahanan nasional mengalami stagnasi akibat minimnya dana. Kini, lanjut Sjafrie, industri pertahanan mampu memproduksi peralatan militer untuk mobilisasi dan senjata yang sesuai dengan standar yang ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

"Jadi kalau (industri pertahanan) kita mandiri, kita tidak takut diembargo," ujarnya.

Dengan demikian, kekuatan militer Indonesia, lanjut Sjafrie, tidak kalah dengan kekuatan militer dengan negara-negara di kawasan regional.

"Jadi, saya bisa menyimpulkan bahwa sejak tahun 2004 hingga saat ini, kita sedang mengalami kebangkitan militer," katanya.

Kompas