Pages

Tuesday, 3 June 2014

Bekas Feri Cepat, Ditembak karena Boros Bahan Bakar



PENUH KENANGAN: Romadi dengan latar belakang KRI Karang Banteng di Dermaga Ujung Armatim, Selasa (2/6). Foto: Guslan Gumilang/Jawa Pos
PENUH KENANGAN: Romadi dengan latar belakang KRI Karang Banteng di Dermaga Ujung Armatim, Selasa (2/6). Foto: Guslan Gumilang/Jawa Pos


SUASANA dermaga penjelajah barat Markas Komando Armada RI Kawasan Timur (Armatim) pada Minggu pagi (1/6) tampak berbeda. Pada akhir pekan itu masih ada aktivitas puluhan prajurit TNI-AL di depan kantor Satuan Kapal Bantu Armatim.
Kawasan terbatas di daerah basis Angkatan Laut tersebut biasanya sepi pada hari libur. Sekitar 40 tentara matra laut terlihat sibuk menyiapkan penarikan KRI Karang Banteng yang baru saja pensiun menggunakan kapal tunda.
Kapal bernomor lambung 983 itu disiapkan menjadi ”tumbal” dalam latihan gabungan (latgab) TNI matra darat, laut, dan udara. Kapal cepat angkut pasukan (KCAP) tersebut dijadikan sasaran senjata strategis TNI-AL.
Yakni, peluru kendali (rudal) yang diluncurkan dari beberapa KRI di selatan Selat Bali mendekati Samudra Hindia. Rudal itu, antara lain Exocet, ditembakkan kapal perusak berpeluru kendali KRI Sultan Iskandar Muda sore nanti.
Tiga kapal perusak lain turut siaga. Yakni, KRI Sultan Hasanuddin, KRI Abdul Halim Perdanakusuma, dan KRI Yos Sudarso. Berdasar skenario, kalau satu rudal dari KRI Sultan Iskandar Muda tidak bisa membuat KRI Karang Banteng tenggelam, kapal lain bergiliran menembak. Tembakan dilakukan hingga KRI Karang Banteng yang berdimensi 68,8 meter dan lebar 10,4 meter itu benar-benar tenggelam.
Sedikit banyak, rasa sedih terasa pada raut wajah puluhan kru KRI Karang Banteng setelah upacara penurunan ular-ular perang sampai apel pelepasan kapal.
Di antara 35 prajurit yang mengawaki kapal perang KRI Karang Banteng, ada Sersan Kepala Mesin (Serka Mes) Romadi. Boleh jadi, bintara berumur 46 tahun tersebut adalah salah seorang yang paling kehilangan.
Sebab, ikatan emosional antara dirinya dan KRI Karang Banteng terbilang erat. ’’Saya mulai memperbaiki kapal sebelum diresmikan pada 7 April 2006,’’ ungkapnya. Ada nada sedih pada kalimat itu.
Di KRI Karang Banteng yang berbobot 493 metrik ton tersebut, Romadi adalah juri mesin diesel generator (DG).
Selama masa baktinya, KRI Karang Banteng pernah dipimpin lima komandan silih berganti. Yakni, Mayor Laut (P) Edy Supriyanto (sekarang kepala Fasilitas Pemeliharaan dan Perbaikan Kapal Surabaya, Mayor Laut (P) Adi Lumaksana (komandan Pangkalan AL Lanal Saumlaki, Ambon), dan Mayor Laut (P) Nurrozi (perwira pelaksana komandan Lanal Sorong, Papua).
Selanjutnya, ada Mayor Laut (P) Agung Sapto Adi (Dinas Komunikasi dan Elektronika Koarmatim) dan yang sekarang Kapten Laut (P) Dita Ariyanugroho.
Di antara seluruh kru kapal, hanya dua orang yang tidak pernah ganti. Selain Romadi, ada Serka Mes Sudaryanto yang sekarang mendukung patroli perbatasan di Ambalat.
Menurut Romadi, perbaikan sebelum KRI Karang Banteng benar-benar berlayar dilaksanakan selama enam bulan. Sebab, kondisi kapal yang termasuk kategori feri cepat itu memang kurang laik. Kondisi bangunannya tinggal 60–70 persen.
Kelistrikan dan permesinan masih 50–65 persen. Sistem peranti elektronik dan komunikasi tinggal 60 persen. Artinya, banyak peralatan yang tidak berfungsi.
Sejatinya desain bodi dan interior KRI Karang Banteng cukup apik. Mirip kapal pesiar mewah. Sebab, dulu kapal itu milik PT Angkutan Danau dan Penyeberangan. BUMN memberikan kapal tersebut kepada Kementerian Pertahanan melalui TNI-AL pada 15 September 2005.
Kapal produksi 1998 dari galangan Laurzen, Jerman, itu sebelumnya melayani jalur Surabaya–Banjarmasin, Surabaya–Balikpapan, dan Kupang–Banjarmasin. Namanya masih KM Serayu.
Hibah tersebut dilakukan lantaran feri kalah bersaing dengan pesawat yang kian lama kian murah. Lagi pula, biaya operasional kapal termasuk tinggi karena mesinnya memakai sistem water jet.
Tiap satu jam, dibutuhkan 18 ton solar untuk menggerakkan empat mesin. ’’Kapasitas maksimal BBM adalah 54 ton,’’ jelas prajurit yang mengawali karir militer tamtama kelasi dua di KRI Monginsidi pada 1989–2003 tersebut.
TNI-AL kala itu memang belum punya KCAP besar yang mampu mengangkut pasukan sampai 925 orang. Nah, KM Serayu merupakan paket hibah bersama empat kapal feri serupa senilai Rp 491 miliar.
Empat kapal cepat lain adalah KM Ambulu (sekarang KRI Karang Pilang-981), KM Mahakam (KRI Karang Tekok-982), KM Cisadane (KRI Karang Galang-984), dan KM Barito (KRI Unarang-985). Pengoperasian dua kapal terakhir diserahkan ke Armada RI Kawasan Barat.
Seluruh kapal itu dinamai Karang agar awak kapal punya spirit sekuat batu karang. Dan, Karang Banteng adalah nama gugusan karang di perbatasan Riau–Singapura. Harapannya, awak KRI Karang Banteng bisa kukuh menjaga kedaulatan perairan NKRI sampai wilayah terluar.
Namun, biaya pemeliharaan KRI Karang Banteng mahal. Mabes TNI-AL memandang bahwa kapal itu dinilai terlalu banyak minum bahan bakar. Mabes pun mengurangi beban operasional kapal-kapal berkecepatan maksimal 40 knot (74,08 kilometer per jam). Pilihannya, KRI Karang Banteng menjadi sasaran tembak untuk latihan gabungan.
Selama Romadi bertugas di KRI Karang Banteng sejak 2006, berbagai kegiatan dilaksanakan di atas kapal itu. Selain pemeliharaan rutin dan sea trial di seputaran Laut Jawa, kapal berbahan aluminium alloy tersebut dipercaya menjalankan misi sosial dan pendidikan.
’’Setiap Rabu pagi ada kegiatan kekeluargaan berupa pengajian. Kapal sering dikunjungi siswa PAUD, TK, dan pelajar SD,’’ tambah Romadi yang juga pernah bertugas di KRI Arun pada 2003–2005 itu.
Selain menanamkan kecintaan terhadap potensi bahari maupun maritim, KRI Karang Banteng adalah simbol kemewahan untuk ukuran sebuah kapal perang. Bagi komandan kapal, Kapten Laut (P) Dita Ariyanugroho, kapal yang baru dirinya awaki medio Januari 2014 tersebut sejatinya sangat laik layar.
’’Kondisi interior seperti kursi-kursi, kabinet, dan lemari masih bagus. Life-raft (pelampung keselamatan) di kapal ini seperti yang dipasang di pintu-pintu pesawat terbang,’’ jelas Dita.
KRI Karang Banteng juga sudah menerapkan sistem pemadaman sentral otomatis dengan menggunakan smoke detector. Tidak perlu pemadaman manual dengan menggunakan CO2 portabel seperti yang diterapkan di kapal-kapal lama.
Begitu pula sistem kemudi. Kapal yang diresmikan pada era KSAL Laksamana TNI Slamet Soebijanto itu sudah memakai joystick, mirip permainan di arena ketangkasan. Bukan kemudi kapal lingkaran sebagaimana umumnya.
KRI Karang Banteng sebenarnya masuk daftar cadangan kapal yang dispose (dihapus sebagai aset negara). Sedianya kapal yang hendak dijadikan sasaran tembak adalah KRI Tanjung Fatagar. Kapal angkut personel hibah dari PT Pelni yang sebelumnya bernama KM Rinjani.
Dita merasa kaget karena keputusan berubah dari Tanjung Fatagar ke Karang Banteng pada 14 April lalu. ’’Pasti ada kesedihan. Tapi, sebagai prajurit, kami sebatas melaksanakan perintah,’’ ujarnya.
Ya, kenangan boleh ikut tenggelam di dasar laut. Tapi, semangat keprajuritan tidak bisa lenyap. Apalagi KRI Karang Banteng memang menjadi ’’martir’’ untuk unjuk kebolehan seluruh prajurit TNI yang sedang berlatih mengawal ibu pertiwi. (Suryo Eko Prasetyo/c7/dos)

JPNN