PENUH
KENANGAN: Romadi dengan latar belakang KRI Karang Banteng di Dermaga
Ujung Armatim, Selasa (2/6). Foto: Guslan Gumilang/Jawa Pos
SUASANA dermaga
penjelajah barat Markas Komando Armada RI Kawasan Timur (Armatim) pada
Minggu pagi (1/6) tampak berbeda. Pada akhir pekan itu masih ada
aktivitas puluhan prajurit TNI-AL di depan kantor Satuan Kapal Bantu
Armatim.
Kawasan terbatas di daerah basis
Angkatan Laut tersebut biasanya sepi pada hari libur. Sekitar 40 tentara
matra laut terlihat sibuk menyiapkan penarikan KRI Karang Banteng yang
baru saja pensiun menggunakan kapal tunda.
Kapal bernomor lambung 983 itu disiapkan
menjadi ”tumbal” dalam latihan gabungan (latgab) TNI matra darat, laut,
dan udara. Kapal cepat angkut pasukan (KCAP) tersebut dijadikan sasaran
senjata strategis TNI-AL.
Yakni, peluru kendali (rudal) yang
diluncurkan dari beberapa KRI di selatan Selat Bali mendekati Samudra
Hindia. Rudal itu, antara lain Exocet, ditembakkan kapal perusak
berpeluru kendali KRI Sultan Iskandar Muda sore nanti.
Tiga kapal perusak lain turut siaga.
Yakni, KRI Sultan Hasanuddin, KRI Abdul Halim Perdanakusuma, dan KRI Yos
Sudarso. Berdasar skenario, kalau satu rudal dari KRI Sultan Iskandar
Muda tidak bisa membuat KRI Karang Banteng tenggelam, kapal lain
bergiliran menembak. Tembakan dilakukan hingga KRI Karang Banteng yang
berdimensi 68,8 meter dan lebar 10,4 meter itu benar-benar tenggelam.
Sedikit banyak, rasa sedih terasa pada
raut wajah puluhan kru KRI Karang Banteng setelah upacara penurunan
ular-ular perang sampai apel pelepasan kapal.
Di antara 35 prajurit yang mengawaki
kapal perang KRI Karang Banteng, ada Sersan Kepala Mesin (Serka Mes)
Romadi. Boleh jadi, bintara berumur 46 tahun tersebut adalah salah
seorang yang paling kehilangan.
Sebab, ikatan emosional antara dirinya
dan KRI Karang Banteng terbilang erat. ’’Saya mulai memperbaiki kapal
sebelum diresmikan pada 7 April 2006,’’ ungkapnya. Ada nada sedih pada
kalimat itu.
Di KRI Karang Banteng yang berbobot 493 metrik ton tersebut, Romadi adalah juri mesin diesel generator (DG).
Selama masa baktinya, KRI Karang Banteng
pernah dipimpin lima komandan silih berganti. Yakni, Mayor Laut (P) Edy
Supriyanto (sekarang kepala Fasilitas Pemeliharaan dan Perbaikan Kapal
Surabaya, Mayor Laut (P) Adi Lumaksana (komandan Pangkalan AL Lanal
Saumlaki, Ambon), dan Mayor Laut (P) Nurrozi (perwira pelaksana komandan
Lanal Sorong, Papua).
Selanjutnya, ada Mayor Laut (P) Agung
Sapto Adi (Dinas Komunikasi dan Elektronika Koarmatim) dan yang sekarang
Kapten Laut (P) Dita Ariyanugroho.
Di antara seluruh kru kapal, hanya dua
orang yang tidak pernah ganti. Selain Romadi, ada Serka Mes Sudaryanto
yang sekarang mendukung patroli perbatasan di Ambalat.
Menurut Romadi, perbaikan sebelum KRI
Karang Banteng benar-benar berlayar dilaksanakan selama enam bulan.
Sebab, kondisi kapal yang termasuk kategori feri cepat itu memang kurang
laik. Kondisi bangunannya tinggal 60–70 persen.
Kelistrikan dan permesinan masih 50–65
persen. Sistem peranti elektronik dan komunikasi tinggal 60 persen.
Artinya, banyak peralatan yang tidak berfungsi.
Sejatinya desain bodi dan interior KRI
Karang Banteng cukup apik. Mirip kapal pesiar mewah. Sebab, dulu kapal
itu milik PT Angkutan Danau dan Penyeberangan. BUMN memberikan kapal
tersebut kepada Kementerian Pertahanan melalui TNI-AL pada 15 September
2005.
Kapal produksi 1998 dari galangan
Laurzen, Jerman, itu sebelumnya melayani jalur Surabaya–Banjarmasin,
Surabaya–Balikpapan, dan Kupang–Banjarmasin. Namanya masih KM Serayu.
Hibah tersebut dilakukan lantaran feri
kalah bersaing dengan pesawat yang kian lama kian murah. Lagi pula,
biaya operasional kapal termasuk tinggi karena mesinnya memakai sistem
water jet.
Tiap satu jam, dibutuhkan 18 ton solar
untuk menggerakkan empat mesin. ’’Kapasitas maksimal BBM adalah 54
ton,’’ jelas prajurit yang mengawali karir militer tamtama kelasi dua di
KRI Monginsidi pada 1989–2003 tersebut.
TNI-AL kala itu memang belum punya KCAP
besar yang mampu mengangkut pasukan sampai 925 orang. Nah, KM Serayu
merupakan paket hibah bersama empat kapal feri serupa senilai Rp 491
miliar.
Empat kapal cepat lain adalah KM Ambulu
(sekarang KRI Karang Pilang-981), KM Mahakam (KRI Karang Tekok-982), KM
Cisadane (KRI Karang Galang-984), dan KM Barito (KRI Unarang-985).
Pengoperasian dua kapal terakhir diserahkan ke Armada RI Kawasan Barat.
Seluruh kapal itu dinamai Karang agar
awak kapal punya spirit sekuat batu karang. Dan, Karang Banteng adalah
nama gugusan karang di perbatasan Riau–Singapura. Harapannya, awak KRI
Karang Banteng bisa kukuh menjaga kedaulatan perairan NKRI sampai
wilayah terluar.
Namun, biaya pemeliharaan KRI Karang
Banteng mahal. Mabes TNI-AL memandang bahwa kapal itu dinilai terlalu
banyak minum bahan bakar. Mabes pun mengurangi beban operasional
kapal-kapal berkecepatan maksimal 40 knot (74,08 kilometer per jam).
Pilihannya, KRI Karang Banteng menjadi sasaran tembak untuk latihan
gabungan.
Selama Romadi bertugas di KRI Karang
Banteng sejak 2006, berbagai kegiatan dilaksanakan di atas kapal itu.
Selain pemeliharaan rutin dan sea trial di seputaran Laut Jawa, kapal
berbahan aluminium alloy tersebut dipercaya menjalankan misi sosial dan
pendidikan.
’’Setiap Rabu pagi ada kegiatan
kekeluargaan berupa pengajian. Kapal sering dikunjungi siswa PAUD, TK,
dan pelajar SD,’’ tambah Romadi yang juga pernah bertugas di KRI Arun
pada 2003–2005 itu.
Selain menanamkan kecintaan terhadap
potensi bahari maupun maritim, KRI Karang Banteng adalah simbol
kemewahan untuk ukuran sebuah kapal perang. Bagi komandan kapal, Kapten
Laut (P) Dita Ariyanugroho, kapal yang baru dirinya awaki medio Januari
2014 tersebut sejatinya sangat laik layar.
’’Kondisi interior seperti kursi-kursi,
kabinet, dan lemari masih bagus. Life-raft (pelampung keselamatan) di
kapal ini seperti yang dipasang di pintu-pintu pesawat terbang,’’ jelas
Dita.
KRI Karang Banteng juga sudah menerapkan
sistem pemadaman sentral otomatis dengan menggunakan smoke detector.
Tidak perlu pemadaman manual dengan menggunakan CO2 portabel seperti
yang diterapkan di kapal-kapal lama.
Begitu pula sistem kemudi. Kapal yang
diresmikan pada era KSAL Laksamana TNI Slamet Soebijanto itu sudah
memakai joystick, mirip permainan di arena ketangkasan. Bukan kemudi
kapal lingkaran sebagaimana umumnya.
KRI Karang Banteng sebenarnya masuk
daftar cadangan kapal yang dispose (dihapus sebagai aset negara).
Sedianya kapal yang hendak dijadikan sasaran tembak adalah KRI Tanjung
Fatagar. Kapal angkut personel hibah dari PT Pelni yang sebelumnya
bernama KM Rinjani.
Dita merasa kaget karena keputusan
berubah dari Tanjung Fatagar ke Karang Banteng pada 14 April lalu.
’’Pasti ada kesedihan. Tapi, sebagai prajurit, kami sebatas melaksanakan
perintah,’’ ujarnya.
Ya, kenangan boleh ikut tenggelam di
dasar laut. Tapi, semangat keprajuritan tidak bisa lenyap. Apalagi KRI
Karang Banteng memang menjadi ’’martir’’ untuk unjuk kebolehan seluruh
prajurit TNI yang sedang berlatih mengawal ibu pertiwi. (Suryo Eko Prasetyo/c7/dos)