- Bukan Abdul Rahman (AR) Baswedan namanya jika tak buat sensasi. Dalam sebuah majalah terbitan mingguan, Mata Hari nama majalahnya. Ada sebuah foto dalam halaman majalah tersebut yang menggemparkan warga kala itu.
Foto yang terbit pada 1 Agustus 1934 itu, ada seorang warga peranakan Arab mengenakan busana tradisional Jawa yakni beskap dan blangkon. Warga keturunan Arab itu berpose santai bersama orang Jawa asal Malang yang konon bernama Soeljoadikoesoemo dan istrinya.
Dalam teks berbahasa jawa, foto itu tertulis; Apakah foto ini tiada meroepaken peranakan Arab dari generatie jang aken dateng. Yang artinya apakah foto ini tidak merupakan (gambaran) peranakan Arab dari generasi yang akan datang.
Kisah itu dituliskan dalam buku Biografi AR Baswedan, 'Membangun Bangsa, Merajut Keindonesiaan, karya Suratmin dan Didi Kwartanada' terbitan Kompas, dikutip merdeka.com, Minggu (28/9).
Dikisahkan, warga keturunan Arab itu bernama AR Baswedan. Foto itu menjadi heboh lantaran saat itu, seorang peranakan Arab tidak lazim memakai busana tradisional Jawa. Saat itu warga keturunan Arab lebih terbiasa memakai peci atau tarbus.
Namun hal ini tidak dipatuhi oleh AR Baswedan. Ia ingin memutus rantai yang sudah diikatkan oleh pemerintahan kolonial Belanda saat itu. Dengan caranya, Baswedan tak pernah surut menyerukan kepada sesama kaum peranakan Arab supaya bersatu untuk memperjuangkan bangsa Indonesia dari penjajah.
"Di mana seorang dilahirkan, di situlah tanah airnya," kata AR Baswedan saat itu guna memantik kaumnya.
Akhirnya untuk menembus tujuannya, dia bersama rekan-rekannya membuat kongres peranakan Arab 4 Oktober 1934 di Semarang. Yang menghasilkan sumpah pemuda Indonesia keturunan Arab sebagai bentuk kelanjutan kelahiran sumpah pemuda 1928.
Bahkan dalam kongres Semarang tersebut juga menghasilkan organisasi Persatoean Arab Indonesia (PAI), yang setahun kemudian menjadi Partai Arab indonesia (PAI). Dan AR Baswedan sendiri disepakati sebagai ketuanya.
Merdeka.com