Menurut Sharif, RUU Kelautan yang baru saja disetujui paripurna DPR ini telah melampaui rentang waktu yang panjang dan mengalami pasang surut, laksana gelombang di lautan. Dimulai sejak hari-hari pertama reformasi di bawah Presiden Abdurrahman Wahid, inisiatif pembentukan UU Kelautan sudah mulai digulirkan. Dewan Maritim Indonesia dibentuk pada tahun 1999 dan langsung memulai kajian akademis RUU Kelautan. Setelah berganti nama menjadi Dewan Kelautan Indonesia pada tahun 2007, kajian tersebut terus dilanjutkan. Kemudian pada tanggal 13 Maret 2013, DPD menyampaikan usul inisiatif RUU Kelautan ke Badan Legislasi DPR. Inisiatif ini sempat terhenti terkait dengan kewenangan legislasi DPD. Namun setelah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 92/PUU/X/2012 yang menetapkan bahwa DPD dapat mengajukan RUU, maka DPD kembali melanjutkan pembahasan RUU Kelautan.
Sharif menjelaskan, UU Kelautan menjadi payung hukum untuk mengatur pemanfaatan laut secara komprehensif dan terintegrasi. Kehadirannya semakin mempertegas keterpaduan kebijakan dan peraturan yang ada, sehingga pembangunan berkelanjutan dapat dilaksanakan secara nyata. Semisalnya, tidak ada peraturan yang bisa dijadikan landasan untuk membuat Tata Ruang Laut Nasional, yang ada hanya baru tata ruang laut (rencana zonasi) hingga 12 mil. Sebagaimana diamanatkan UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang kemudian disempurnakan dengan UU No. 1/2014. "Maka dari itu, kehadiran undang-undang Kelautan sangat diperlukan agar kebijakan nasional pengelolaan laut terintegrasi, dan saya tegaskan bahwa undang-undang ini tidak tumpang tindihnya dengan peraturan yang sudah ada", ucap Sharif.
Sharif menambahkan, salah satu substansi penting yang disepakati menjadi muatan UU ini adalah penegasan Indonesia sebagai Negara Kepulauan. Dimana menurut Konvensi Hukum Laut Internasional 1982, selain memiliki laut teritorial, wilayah yurisdiksi, dan kawasan dasar laut, juga mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan potensi maritim di laut lepas. "Penegasan ini mengisyaratkan bahwa Indonesia selain akan mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya lautnya sendiri, juga akan mulai berkiprah di laut lepas," kata Sharif.
Lebih lanjut Sharif mengatakan, UU Kelautan penting bagi bangsa Indonesia karena dua alasan. Pertama, Indonesia merupakan penggagas konsepsi Negera Kepulauan berciri nusantara. Deklarasi Djuanda 1957 adalah tonggak sejarah pertama perjuangan diplomasi menuju pengakuan dunia. Berkat kegigihan dan kecemerlangan para diplomat Indonesia ketika itu, akhirnya dunia mengakui konsepsi tersebut melalui Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut pada tahun 1982. Kemudian kedua, Indonesia sebagai Negara Kepulauan terbesar di dunia sudah barang tentu mengandung potensi ekonomi, keanekaragaman hayati, dan budaya bahari. "Oleh sebab itu keberadaan UU Kelautan ini menjadi sangat urgen bagi bangsa Indonesia", ujar Sharif.
Sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia, potensi ekonomi kelautan Indonesia diperkirakan mencapai US$ 1,2 triliun per tahun. Potensi ekonomi tersebut dibagi menjadi empat kelompok sumberdaya kelautan. Pertama, sumberdaya alam terbarukan (renewable resources) antara lain perikanan, terumbu karang, mangrove, rumput laut (seaweed) dan padang lamun (seagrass). Kedua, sumberdaya alam tak terbarukan (nonrenewable resources) meliputi minyak, gas bumi, bahan tambang, dan mineral lainnya. Kemudian, energi kelautan berupa energi gelombang (wave power), energi pasang surut (tidal power), energi arus laut (current power), dan energi panas laut (ocean thermal energy conversion/OTEC). "Sedangkan keempat, laut sebagai Environmental Service di antaranya berupa media transportasi, komunikasi, pariwisata, pendidikan, penelitian, pertahanan dan keamanan, pengatur iklim dan sistem penunjang kehidupan lainnya", tutup Sharif.
Untuk keterangan lebih lanjut silahkan menghubungi Lilly Aprilya Pregiwati, Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan (Telp. 021-3520350)
Antara