Ilustrasi pertempuran laut
Salah satu bunyi Perjanjian Linggarjati (15 November 1946 -disahkan
25 Maret 1947) yang disepakati Indonesia dan Belanda, adalah negeri
kincir angin itu bersedia mengakui secara de jure, Pulau Sumatera, Jawa
dan Madura sebagai wilayah kedaulatan Republik Indonesia.
Sayangnya, Belanda baik di darat, laut dan udara masih kerap
melakukan tindakan provokatif. Salah satunya yang terjadi di Teluk
Sibolga, Sumatera Utara, 9 Mei 1947.
Diawali upaya Belanda yang memang ingin melemahkan ekonomi Indonesia
dengan blokade laut, sebuah kapal Torpedo Jaeger (pemburu torpedo) Hr.MS
Banckert JT-1 milik Koninklijke Marine (AL Belanda) diperintahkan
berpatroli di pesisir barat Sumatera, 6-19 Mei 1947.
Sibolga adalah sebuah Kota Tua yang berada di tepi laut. Kota ini
terletak tidak terlalu jauh dari Kota Barus yang konon ceritanya
merupakan pintu masuk penyebar agama islam pertma di Sumatera Utara.
Dewasa ini, Sibolga lebih dikenal sebagai kota parawista yang
menawarkan wisata pantai dan pulau-pulau indah. Salah satu yang terkenal
adalah Pulau Mursala yang terkenal dengan air terjun mursalanya. Sebuah
Air terjun yang airnya langsung jatuh ke laut. Hanya ada beberapa air
terjun yang airnya langsung jatuh ke laut di dunia.
Citra Satelit Air Terjun Mursala.
Sibolga Masa Sebelum Kemerdekaan, tumbuh sebagai kota dan bandar
pelabuhan ekspor-impor yang memainkan peranan penting di percaturan
ekonomi internasional. Oleh sebab itu, Sibolga juga menjadi wilayah yang
multi-etnis, terjalain kerukunan antar etnis yang erat.
Namun Jaman keemasan Sibolga sebagai bandar pelabuhan berakhir ketika
bala-tentara Kekaisaran Jepang menduduki Indonesia. Pada masa
Pendudukan Jepang (1942-1945) Sibolga berada di bawah kendali Tentara AD
ke-25 yang berkedudukan di Bukittinggi.
Bagi Jepang Sibolga memiliki nilai strategis di bidang sosial ekonomi
dan militer, karena posisi geografisnya menghadap ke Teluk Sibolga yang
langsung menuju ke Samudera Hindia. Jepang kemudian membangun sejumlah
benteng pertahanan dan bunker untuk mengantisipasi kemungkinan serangan
Sekutu dari Australia dan Asia Selatan.
Sementara itu di bidang sumber daya manusia, Jepang memperkuat
militernya dengan merekrut pemuda-pemuda pribumi yang tergabung dalam
beberapa badan semi kemiliteran.
Angkatan Laut Kekaisaran Jepang (Nihon Kaigun) membentuk organisasi
Kaigun Heiho (Prajurit Pembantu AL). Untuk tujuan tersebut, AL Jepang
mendirikan sekolah-sekolah pembantu AL dan pelayaran serta
galangan-galangan kapal.
Inisiatif Jepang tersebut mendapat reaksi positif dari para pemuda
dan tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Ratusan pemuda yang berminat
menjadi pelaut dan marinir mendatangi pusat-pusat perekrutan AL pada
tahun 1943.
Para pemuda Indonesia yang menjadi anggota Kaigun Heiho umumnya tidak
mengetahui situasi peperangan di Pasifik, karena Jepang melakukan
sensor ketat terhadap pemberitaan di media massa.
Pihak Jepang sesungguhnya tengah “keteteran” menghadapi tekanan
militer Sekutu yang kian hebat sejak tahun 1943. Perang Pasifik mencapai
klimaksnya ketika Sekutu menjatuhkan bom atom di dua kota industri
utama Jepang, Hiroshima dan Nagasaki, yang memaksa Jepang menyerah tanpa
syarat kepada Sekutu.
Tanda tanya mulai menggayuti para anggota Kaigun Heiho di Sibolga
ketika melihat kesibukan luar-biasa bala tentara Jepang di
barak-baraknya, yang menandakan sesuatu yang besar tengah terjadi.
Keheranan kian mengental ketika persenjataan mereka dan
senjata-senjata di kapal atau pangkalan mulai dilucuti. Jawaban yang
jelas baru muncul tanggal 12 Agustus 1945, ketika seluruh anggota Kaigun
Heiho dikumpulkan oleh perwira AL Jepang dan diberikan informasi bahwa
perang telah selesai dan mereka diperbolehkan pulang ke kampung
masing-masing.
Setelah “apel perpisahan” tersebut, salah seorang anggota Kaigun
Heiho, yaitu Oswald Siahaan, dipanggil menghadap komandan batalyonnya
(perwira Jepang) yang berpesan: “Kami kalah, kalian jangan kalah lawan
Sekutu, senjata ada, kami tinggalkan di gudang”.
Setelah itu, seluruh personil AL Jepang meninggalkan Sibolga dengan
kapal-kapalnya. Para mantan anggota Kaigun Heiho Sibolga, kemudian
membongkar gudang senjata AL Jepang pada tanggal 13 Agustus 1945.
Apa yang dikatakan oleh komandan Jepang ternyata benar, di gudang
masih tersimpan sejumlah besar senjata dan amunisi. Keesokan harinya,
tanggal 14 Agustus pukul 21.30, seluruh senjata dan sekitar 16 peti
amunisi diboyong ke Sibolga Julu.
Semua itu menjadi modal awal para pejuang bahari dalam membentuk
organisasi kemiliteran ketika Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan.
Hr.MS Banckert JT-1 milik Koninklijke Marine
Pangkalan ALRI di Sibolga terbentuk saat berlangsung proses kapitulasi dan repatriasi bala tentara Jepang ke tanah-airnya.
Sekutu mengeluarkan perintah agar Jepang menjaga status-quo di
Indonesia sementara menunggu kedatangan pasukan Sekutu untuk
mengambil-alih kekuasaan.
Kevakuman pemerintahan ini dimanfaatkan bangsa Indonesia untuk
memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 di
Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Bangsa Indonesia secara spontan segera
membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada tanggal 22 Agustus 1945 dan
badan kelaskaran, yang tugasnya mengambil-alih fasilitas pemerintahan,
militer dan senjata dari Jepang.
Akibatnya, tak jarang terjadi bentrokan fisik dengan militer Jepang.
Berita Proklamasi 17 Agustus sesungguhnya telah diketahui oleh
masyarakat Sibolga melalui radio dan berita selengkapnya mengenai
langkah-langkah awal yang harus diambil pasca Proklamasi diterima
tanggal 22 Agustus 1945.
Instruksi mengenai upaya pemulihan dan pengambil-alihan situasi
keamanan di Sibolga diterima dari utusan BKR Pusat Jakarta, yaitu Hadely
Hasibuan. Setelah berkonsolidasi, para mantan anggota jawatan
pelayaran, Gyugun-Heiho, KNIL dan sebagainya, pada bulan Oktober 1945
membentuk BKR Laut Sibolga.
BKR Laut Sibolga pada tanggal 15 November 1945 berubah menjadi
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Laut sebagai tindak-lanjut Maklumat No. X
tanggal 5 Oktober 1945 mengenai pembentukan TKR sebagai organisasi
militer. Selanjutnya pada tanggal 25 Januari 1946 TKR Laut kembali
berubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) Laut.
Pada tanggal 5 Mei 1946 TRI Laut diresmikan oleh pemerintah menjadi
Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Pangkalan Sibolga.Memasuki bulan
Maret 1947, dilakukan reorganisasi ALRI Pangkalan Sibolga menjadi ALRI
Pangkalan Besar Sibolga yang membawahi Pangkalan A Sibolga.
Pangkalan A merupakan kesatuan setingkat batalyon yang
bertanggungjawab atas keamanan di sekitar Pelabuhan Sibolga. Belanda
yang membonceng pasukan Sekutu (Inggris), bermaksud mengembalikan
kekuasaan Hindia-Belanda, telah memancing perlawanan dari pihak
Indonesia.
Para anggota TKR, laskar dan badan perjuangan menggelar sejumlah
penyergapan serta penyerangan terhadap pasukan Sekutu. Di Sumatera
Utara, daerah perjuangan tersebut, dikenal sebagai Medan Area.
Pertempuran Medan Area terus berlanjut hingga penyerahan tongkat komando
keamanan dari Sekutu kepada Belanda tanggal 15 November 1946, dan
setelah itu para pejuang harus berhadapan langsung dengan kekuatan
militer Belanda.
Pertempuran Laut Teluk Sibolga terjadi setelah Belanda menerima
peralihan kendali keamanan di Indonesia dari Sekutu (Inggris). Belanda
kemudian membentuk Pemerintahan Sipil Hindia-Belanda (NICA/ Netherlands
Indie Civil Administration).
NICA menempuh dua jalur kebijakan di Indonesia, yaitu diplomatik dan
militer. Di jalur diplomatik, NICA menggelar perundingan Linggarjati
(10-15 November 1946), dimana salah satu klausulnya Belanda mengakui
wilayah kedaulatan Indonesia yang meliputi Pulau Jawa, Sumatera dan
Madura.
Walau secara de jure Belanda telah mengakui kedaulatan Indonesia,
namun faktanya kekuatan militernya masih bertahan di Jawa, Sumatera dan
Madura, serta sering melakukan tindakan provokasi.
Tidak hanya itu, di beberapa daerah Belanda kerap melakukan aksi
intervensi di wilayah Republik Indonesia, yang antara lain terjadi di
perairan Teluk Sibolga. Sementara itu di sisi lain, di pihak Indonesia
pun banyak kalangan yang tidak menyetujui hasil Perjanjian Linggarjati
yang dinilai sebagai pengingkaran terhadap bentuk Negara Kesatuan RI,
yang telah disepakati meliputi seluruh wilayah ex-Hindia-Belanda.
Sikap pro-kontra yang terjadi di kedua belah pihak, Indonesia dan
Belanda, pada akhirnya berbuntut agresi militer pada bulan Juli 1947
yang dilancarkan oleh militer Belanda.
Insiden pelanggaran wilayah kedaulatan RI di perairan Teluk Sibolga
oleh kapal perang AL Kerajaan Belanda, sesungguhnya dilandasi oleh
kebijakan Belanda untuk melemahkan kekuatan sosial, politik, ekonomi dan
militer Indonesia.
Untuk itulah, Belanda melakukan blokade di laut, darat dan udara,
serta mengintimidasi dan menghalangi berbagai arus lalu-lintas
perekonomian yang menuju atau bertolak dari Indonesia ke luar-negeri.
Belanda menerapkan peraturan bahwa semua kegiatan lalu-lintas
perekonomian harus mendapat izinnya dan melalui fasilitas pelabuhan di
daerah yang diduduki Belanda.
Ketegangan antara Indonesia dengan Belanda kian memuncak ketika
sebuah kapal perang AL Belanda jenis penghancur bertorpedo ( JT/ jaeger
torpedo) Hr.Ms. Banckert JT-1 berpatroli di sepanjang pantai barat
Sumatera untuk mengontrol lalu-lintas pelayaran disana antara tanggal 6
sampai 19 Mei 1947.
Dengan alasan bahwa hukum laut yang berlaku saat itu, adalah hukum
laut teritorial Kolonial Hindia-Belanda, Hr.Ms. Banckert bermaksud
melakukan kegiatan pemeriksaan terhadap semua kapal yang akan
bongkar-muat di Pelabuhan Sibolga. Kapal perang Belanda tersebut,
kemudian memasuki perairan Teluk Sibolga pada tanggal 9 Mei 1947 untuk
melakukan pemeriksaan terhadap kapal dagang Singapura MTS Sembilan.
Banckert berniat menarik kapal dagang itu ke Pelabuhan Padang (yang
dikuasai Belanda).
Ternyata pada saat itu, di MTS Sembilan terdapat 2 personil ALRI yang
tengah bertugas melakukan pengamanan di kapal, yang kemudian dipaksa
turun dan dikembalikan ke Pelabuhan Sibolga dengan motor boat Belanda.
Pelanggaran perairan tersebut diprotes keras oleh Residen Tapanuli Dr.
F.L. Tobing melalui surat yang disampaikan oleh tim utusan (sejumlah
perwira TKR) kepada Komandan Kapal Hr.Ms. Banckert, Mayor G. Kondys.
Isi surat tersebut meminta dengan tegas, kapal perang Belanda agar
meninggalkan perairan Sibolga karena melanggar hasil Perjanjian
Linggarjati. Protes tersebut awalnya, ditanggapi positif oleh Banckert
yang meninggalkan perairan Teluk Sibolga pada tanggal 10 Mei. Namun
rupanya itu hanya merupakan taktik pengelabuan Belanda saja untuk
mengecoh perhatian pihak Indonesia, yang saat itu telah bersiap-siaga
penuh di sekitar Pelabuhan Sibolga.
Pukul 13.30 di hari yang sama, kapal perang Belanda tersebut kembali
memasuki perairan Sibolga, masih dengan alasan yang sama, yaitu hendak
menyeret kapal MTS Sembilan karena tidak memiliki izin dari Pemerintah
Belanda (NICA).
Kehadiran Banckert –yang semula dikira menghormati protes Residen
Tapanuli- terpantau oleh Pos ALRI yang berkedudukan di Bukit Ketapang,
yang menghadap langsung ke Teluk Sibolga, dan segera melaporkannya ke
Markas ALRI Pangkalan A Sibolga.
Saat yang bersamaan, secara kebetulan di Pangkalan A tengah dilakukan
upacara peresmian Pangkalan Besar dan Pangkalan A ALRI Sibolga oleh
Residen Tapanuli yang dihadiri sejumlah perwira TRI dan badan
perjuangan.
Berita tersebut kontan mengejutkan, namun karena telah diantisipasi
sebelumnya, maka Pangkalan A segera memerintahkan seluruh pasukan untuk
bersiaga penuh. Beberapa penembak mahir ALRI segera menempati posnya di
Bukit Ketapang, yang hanya berjarak 1,5 mil dari posisi kapal MTS
Sembilan, sedangkan perwira ALRI dan tim negosiator yang ditugaskan
untuk berunding dengan pihak Belanda segera meluncur menggunakan
motor-boat ke MTS Sembilan.
Delegasi Indonesia terdiri atas: Kapten Jetro Hutagalung, Letnan
Sabar Hutagalung, Letnan Banggas Lumban Tobing, Letnan Muda Sapiun
Tanjung dan Letnan I Oswald Siahaan (Dan Kie II ALRI Pangkalan A
merangkap pimpinan motor-boat), sedangkan sebagai awak kapal adalah
Kopral ALRI Galung Silitonga dan Kopral ALRI Lambok Simatupang.
Namun, karena posisi Belanda lebih dekat dan lebih dahulu menurunkan
motor-boat berisi pasukan Mariniers dan Pelaut bersenjata lengkap, telah
mendahului on-board di MTS Sembilan.
Sementara itu, di Banckert juga telah dipersiapkan sebuah motor-boat
yang dipimpin seorang perwira untuk melindungi pasukan mereka di kapal
niaga Singapura itu. Setelah kedua belah pihak bertemu di MTS Sembilan
dan perundingan baru saja akan dimulai, Banckert kembali menurunkan
sebuah motor-boat bersenjata.
Naluri militer Letnan I Oswald Siahaan seketika bergetar, karena
tindakan Belanda itu mengancam keamanan delegasi Indonesia. Seketika
itu, ia memerintahkan seluruh delegasi agar segera turun ke motor-boat
dan selekasnya kembali ke pelabuhan.
…komandan motor-boat Belanda mengeluarkan perintah: “vuur (tembak)!”…
Dalam perjalanan, ternyata kedua motor-boat Belanda mengejar
motor-boat ALRI dan berusaha menjepitnya. Motor-boat ALRI berhasil
keluar dari jepitan musuh, namun tiba-tiba, komandan motor-boat Belanda
mengeluarkan perintah: “vuur (tembak)!” yang langsung diikuti tembakan
gencar dari mitraliur 20 mm dan Oerlikon ke arah motor-boat ALRI.
Melihat hal tersebut, satuan penembak mahir ALRI pimpinan Letnan Muda
Ari Poloan dibantu Seksi II Kompi II yang berkedudukan di Bukit
Ketapang, kontan melepaskan tembakan perlindungan dengan gencar ke
kapal-kapal Belanda.
Pasukan Polisi Tentara Laut yang berkedudukan di pelabuhan juga turut
membantu. Setelah kontak senjata selama setengah jam, akhirnya kedua
kapal Belanda bergerak kembali ke Banckert.
Akibat peristiwa tersebut, Kopral Galung Silitonga gugur dan Kopral
Lambok Simatupang terluka, sedangkan di pihak Belanda seorang sersan
penembak terluka parah, sementara seluruh delegasi perunding selamat.
Peristiwa kontak senjata tanggal 10 Mei tersebut, kemudian disikapi
dengan menghimpun seluruh kekuatan perjuangan di Tapanuli agar bersatu
untuk mempertahankan Pelabuhan Sibolga, pelabuhan samudera satu-satunya
di Sumatera Utara yang masih dikuasai RI.
Strategi pertahanan segera disusun, termasuk menempatkan
baterai-baterai meriam anti tank dan kaliber 20 mm. Kekhawatiran
Indonesia terbukti, karena pada tanggal 11 Mei sore Hr.Ms. Banckert
kembali memasuki perairan Teluk Sibolga.
Melalui perantara nahkoda kapal Pincalang yang ditahannya, Komandan
Kapal Belanda mengirim pesan agar pihak Indonesia menyerahkan awak kapal
MTS Sembilan yang berada di Sibolga. Pihak Indonesia menjawabnya dengan
ultimatum, yang isinya :
” Sesuai dengan naskah perjanjian linggarjati bahwa negara Republik
Indoensia sudah diakui oleh Belanda, dan PBB secara de facto maka kedua
belah pihak kerajaan Belanda dan Republik Indoensia supaya saling hormat
– menghormati, tidak boleh melanggar teritorial kedua belah pihak.
Karena teluk Sibolga adalah hak teritorial ri diminta agar kapal perang
HRMS. Banckert jt – 1 segera meninggalkan teluk Sibolga dalam tempo 1 x
24 jam. Bila tidak diindahkan konsekuensinya akan diambil tindakan
dengan gempuran senjata, dengan batas waktu sebelum jam 10 wib tanggal
12 mei 1947”.
Ultimatum tersebut tidak diindahkan Banckert hingga batas waktu yaitu
pukul 10.00 tanggal 12 Mei. Tembakan pertama dilepaskan oleh unit
meriam Pesindo (Pemoeda Sosialis Indonesia) yang diikuti tembakan gencar
lainnya ke arah Banckert.
Akhirnya, berkobarlah pertempuran sengit di Teluk Sibolga. Dalam
pertempuran tanggal 12 Mei itu, 4 anggota TRI (2 diantaranya anggota
ALRI) gugur yaitu Lettu Oswald Siahaan dan Kopral ALRI Zulkifli Tanjung
dan 2 terluka berat, sementara di pihak Belanda diperkirakan 5
personilnya terluka parah.
Peristiwa Pertempuran Laut Teluk Sibolga ini menunjukkan semangat
perjuangan Bangsa Indonesia terkhusus masyarakat Sibolga di mata Belanda
maupun dunia Internsional bahwa Negara Republik Indonesia itu memang
ada dan perlu diakui eksistensinya oleh dunia Internasional.
Namun, sebagai dampak dari pertempuran ini adalah semakin
berkurangnya frekuensi kunjungan kapal – kapal dagang dari Singapura
yang tentunya berpengaruh terhadap perekonomian daerah setempat.
Belanda yang berusaha untuk menjajah kembali dengan membonceng sekutu
di perairan Sibolga tetapi hal tersebut mendapat perlawanan dari para
pejuang termasuk Lettu ALRI Oswald Siahaan yang memanfaatkan senjata dan
amonisi dari tentara Jepang, karena pihak Belanda telah melanggaran
wilayah RI setelah kekalahan Jepang terhadap Sekutu yang tersirat di
perjanjian Linggarjati maka terjadilah pertempuran sejak tanggal 24
Desember 1948 selama lima hari, sehingga ALRI Sumatera Timur Selatan
dengan ALRI Tapanuli ditetapkan berpangkalan di Sibolga.
Adanya perlawanan dari para pejuang Republik Indonesia dan tekanan
Internasional memaksa Belanda untuk duduk di meja perundingan, kemudian
PBB membentuk Komisi PBB untuk Indonesia atau UNCI (United Nation
Commission for Indonesia) pada tanggal 28 Januari 1949 dicapai
kesepakatan gencatan senjata sebagai hasil perundingan Roem-Roijen di
Den Haag Belanda.
Pada tanggal 23 Agustus 1949 hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di
Den Haag, disepakati adanya pengakuan Kedaulatan RI oleh Kerajaan
Belanda serta membentuk Indonesia Serikat. Dengan diakuinya kedaulatan
Indonesia maka dibentuklah Angkatan Perang Republik Indonesia.
Pengakuan Kedaulatan Indonesia ditandatangani di Den Haag pada
tanggal 23 Agustus 1949, kemudian seluruh kekuatan perjuangan ALRI
Tapanuli di kumpulkan di Sibolga, Pada tanggal 27 Desember 1949 diadakan
penyerahan Marine Basis sektor Sibolga di Baros dari Koninklijke Marine
(KM) kepada ALRIS.
Setelah masa penyerahan Marine Basis sektor Sibolga, selanjutnya
adalah masa konsolidasi pembentukan kekuatan setelah mengalami masa
perjuangan pra kemerdekaan dan perang kemerdekaan (revolusi fisik) yaitu
adanya agresi militer sekutu, sehingga sejak saat itulah perkembangan
kekuatan pangkalan di Sibolga mulai diadakan penataan dan penyusunan
baik dibidang Organisasi maupun administrasinya, perkembangan terus
terjadi untuk memperbaiki administrasi Pangkalan.
Perkembangan organisasi pangkalan Sibolga terus terjadi baik secara
fisik maupun administrasi sehingga terjadi perubahan nama menjadi Sional
Sibolga tahun 1985, kemudian berubah kembali menjadi Lanal Sibolga tipe
B tahun 1999, dan Akhirnya berdasarkan Surat Keputusan Kepala Staf
TNI-AL Nomor : kep/11/VIII/2004 tanggal 26 Agustus 2004 berganti nama
menjadi Pangkalan TNI AL Sibolga tipe C Kedudukan secara administratif
dibawah Lantamal II.
Pangkalan Angkatan Laut Sibolga sejak zaman Jepang dan Belanda
mempunyai peranan amat penting, karena pangkalan Sibolga merupakan
Pangkalan Angkatan Laut terbesar di pantai Barat Sumatera, hingga saat
ini hal tersebut tidak diragukan.
Setelah membaca dari penelusuran sejarah tersebut pembentukan
Pangkalan di Sibolga dimulai ketika direbut pertama kali dari kekuasaan
tentara Jepang dan diserahkan pada tanggal 5 Mei 1946, kemudian
pangkalan tersebut berusaha dikuasai Belanda hingga akhirnya diserahkan
Pangkalan Sibolga dari Koninklijke Marine (Angkatan Laut Kerajaan
Belanda) kepada Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini Angkatan
Laut Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949.
Untuk mengenang pertempuran yang heroik itu, maka dibangunlah sebuah
monumen Oswald Siahaan.Untuk mengenang semua jasa para leluhur pejuang
bangsa. Yang menarik, monemen ini sekarang sudah dilebgkapi satu unit
tank PT-76 dan Meriam Howitzer yang diserahkan Kepala Staf Angkatan Laut
(KSAL), Laksamana Marsetio sebagai hadiah dari Panglima TNI untuk
melengkapi Monumen Oswald Siahaan. Keduanya terpajang gagah seakan
mengawal monumen sebagai sejarah adanya pertempuran di wilayah laut
Teluk Tapian Nauli Kabupaten Tapanuli Tengah.
Monumen Oswald Siahaan kini dilengkapi Tank PT-76 dan Meriam Howitzer
Menurut Danlanal Sibolga Letkol (P) Laut Ivan Gatot Prijanto Tank dan
Meriam ini masih aktif namun tidak begitu maksimal lagi untuk
dioperasikan. Monumen ini berdiri pada tahun 1996, berada di kawasan
perumahan TNI AL terletak di Jalan Sibolga – Barus KM 4, Dusun
Panakkalan, Desa Tapian Nauli I, Kecamatan Tapian Nauli. Secara
administratif sudah masuk wilayah Tapanuli Tengah namun pemeliharaannya
menjadi tanggung jawab dari Lanal Sibolga.
Selain monumen, nama Oswald Siahaan juga di abadikan sebagai nama
kapal perang perusak kawal berpeluru kendali Ahmad Yani Class. Kapal
bekas frigat Belanda ini dibangun tahun 1964. Dan kapal inilah yang
berhasil meluuncurkan Rudal Yakhont asal Rusia dalam sebuah latihan
militer.
KRI Oswald Siahaan-354 Tenbakan Rudal Yakhont April 2011 di Perairan Selat Sunda
Owesome Picture KRI Teluk Sibolga-536
Lalu ada KRI Teluk Sibolga-536 yang penamaanya di ambil dari nama
teluk Siboga. Kapal perang ini pernah datang ke Teluk Sibolga kemudian
merpat di Lanal Sibolga untuk mengantarkan Tank PT-76 dan Meriam
Howitzer yang akan di pajang di Monumen Oswald Siahaan.ini adalah kapal
perang jenis kapal pendarat kelas Teluk Gilimanuk yang dibangun tahun
1977 dan dibeli oleh indnesia dalam paket pembelian kapal perang bekas
Jerman Timur pada tahun 1993.
(JKGR)