Bila berbicara pasukan elit, pikiran awam akan langsung pada pasukan elit milik TNI seperti Kopassus, Denjaka, Kopaska dan lain-lain. Padahal Jauh di masa lalu ketika hiruk-pikuk mesin perang dan konfrontasi bersenjata masih meliputi air, udara, dan tanah Indonesia, ketika Republik ini masih berusia seumur jagung, ketika pemerintah berjuang mempertahankan keberadaan Republik yang masih belia ini dari serangan penjajah Belanda dan rongrongan pemberontak, dari tubuh kepolisian Negara Republik Indonesia, lahir pasukan khusus yang memiliki kemampuan dan keberanian menggetarkan.
Sebuah pasukan yang dihormati oleh kawan dan disegani lawan.
Reputasi yang didapat pasukan ini bukan berasal dari serangkaian pencitraan, bukan pula dari mitos yang diagungkan melalui berbagai media layaknya mitos-mitos pasukan khusus yang kita dengar sekarang, melainkan melalui rangkaian perjuangan panjang yang menuntut keuletan, keterampilan, ketabahan, ketahanan, keberanian, dan upaya yang terkadang melampaui kesanggupan manusia normal.
Sebenarnya, hal-hal tersebut biasa bagi para prajurit, mengingat bahwa mau tidak mau mereka harus siap diturunkan di berbagai medan, namun yang membedakannya, atau yang membuat mereka layak diberi sandangan sebagai pasukan khusus adalah, hasil dan kearifan mereka dalam menjalankan tugas.
Pada masa kejayaannya, Resimen Pelopor, nama pasukan tersebut merupakan sebuah “mesin perang” yang efektif dan efesien. Setidaknya mereka merupakan gambaran ideal dari sebuah pasukan khusus: berani, berkemampuan tinggi, efektif dan efesien dalam menjalankan tugas.
Di manapun mereka diturunkan, di manapun mereka ditugaskan, para anggota pasukan ini seolah memiliki semboyan bahwa penugasan itu adalah penugasan terahir, sehingga mereka memiliki semangat yang meluap-luap.
Sayangnya, gelombang sejarah menenggelamkan kesatuan ini dalam palung terdalam. Ketika terjadi pergantian penguasa, keberlangsungan pasukan inipun berakhir. Kerja keras, pengorbanan, jasa, dan risalah mereka turut terkubur hingga seolah mereka tidak pernah ada.
Yang lebih ironis lagi, kisah kehebatan mereka nyaris tak ditulis dalam sejarah dan hanya menjadi cerita pengantar tidur anak-anak, cucu, dan saudara terdekat para mantan anggota pasukan tersebut.
Pasukan dari Kepolisian ini pada awalnya dibentuk bukanlah untuk tujuan agar menjadi sebuah pasukan elit. Namun peranan dan kiprah merekalah pada masa perang kemerdekaan, yang membuat nama mereka semakin melambung.
Pasukan ini bertempur bersama TNI dan rakyat melawan penjajah yang dua kali melakukan agresi. Sebagai negara yang baru merdeka, masa pendidikan pasukan perang Indonesia tidak melalui tahapan rumit ataupun seleksi ketat seperti sekarang.
Yang paling penting pada masa itu adalah merekrut sebnanyak-banyaknya pemuda bangsa untuk dijadikan pasukan memerangi penjajah. Bahkan untuk persenjataan ringan seperti senapan saja, pemerintah masih kesulitan memfasiliatsinya.
Di medan pertempuran, para pejuang awal bangsa ini merebut senjata dari musuh yang berhasil dibunuh, malah terkadang mereka melakukan aksi nekat menyerbu gudang persenjataan milik musuh.
Dewasa ini, Brigade Pelopor yang meruupakan bagian dari Korps Brimob Polri mendapat reputasi dan stigma negatif dari masyrakat. Banyak kasus yang terjadi semakin memojokan Brimob, seperti perkelahian oknum Brimob dengan Oknum TNI yang memakn korban luka maupun nyawa.
Citra polisi yang semakin buruk semakin memperkeruh hal semacam ini. Padahal bila diteisik lebih dalam, kesalahan berasal dari beberapa oknum bukan institusi. Terlepas dari itu semua, peranan Brimob yang dulu bernama Mobil Brigade (Mobrig) semasa perang mempertahankan kemerdeaan patut menjadi tauladan bangsa. Pikiran mereka saat itu masih bersih dan murni yaitu perang melawan penjajah. Pertempuran itu sebhagian dilakoni oleh Brigade Pelopor.
Beberapa pertempuran sengit selama perang mempertahankan kemerekaan banyak dilakoni Brigade Pelopor antara lain:
PERTEMPURAN DI TAPANULI SELATAN
- Padang Sidempuan Jatuh Ke Tangan Pasukan Belanda
Dengan jatuhnya ibukota Tapanuli itu maka wilayah Tapanuli terjepit. Lantas, pemerintah republik di Tapanuli memutuskan untuk melebur semua laskar perjuangan yang ada (termasuk yang mengungsi) di seluruh wilayah Tapanuli di bawah komando Mayor Maraden Panggabean.
Pimpinan komando lalu menugaskan pasukan republik Brigade-B pimpinan Mayor Bejo untuk segera menahan serangan pasukan Belanda yang sudah bergerak menuju Padang Sidempuan. Pada tanggal 28 Desember 1948, pasukan Belanda kemudian tiba di Batangtoru.
Untuk menahan akselerasi pasukan Belanda dari arah Sibolga, pasukan republik yang dimotori laskar Padang Sidempuan eks anggota Kapten (anm) Koima Hasibuan untuk melakukan taktik pencegatan dan bumi hangus. Karenanya, seluruh jembatan yang menuju Padang Sidempuan diruntuhkan.
Pohon-pohon yang berdiri sepanjang jalan raya ditumbangkan ke tengah jalan, jalan-raya yang rata diberi berlubang dimana-mana agar kendaraan militer Belanda tidak dapat melewatinya, dan bangunan-bangunan yang kemungkinan akan digunakan Belanda untuk markasnya lalu dibakar dan diruntuhkan.
Inilah salah satu bukti pengorbanan rakyat dan laskar rakyat Padang Sidempuan dalam mengusir kedatangan (pasukan) Belanda ke Padang Sidempuan kembali. Semua taktik bergerilya yang dilakukan laskar republik ketika itu ternyata pasukan Belanda tetap saja merangsek.
Pasukan Belanda yang berpengalaman perang, lengkap dengan persenjataan dan kendaraan lapis baja
ternyata mampu mengatasi rintangan yang ada.
Pasukan Belanda tampaknya mengungguli pasukan republik. Akhirnya, pada tanggal 1 Januari 1949 pasukan Belanda berhasil memasuki wilayah Padang Sidempuan. Setiba di dalam kota, pasukan Belanda tampaknya ‘kecele’ karena menemukan ibukota Padang Sidempuan itu sudah dibumihanguskan–seperti halnya ‘Bandung lautan api’ 24 Maret 1946.
Pasukan Belanda juga menemukan kota dalam keadaan kosong karena telah ditinggalkan rakyat Padang Sidempuan mengungsi ke luar kota. Pasukan Belanda tampaknya tidak menduga apa yang telah dilalui dan yang terjadi di depan mata. Sebaliknya, apa yang telah dilakukan oleh pasukan gerilya telah menunjukkan bukti bahwa pasukan gerilya dapat membuat nyali pasukan Belanda menjadi selalu waswas dan mungkin keberaniannya bisa jadi telah mengendor.
Pemerintah republik di Padang Sidempuan pimpinan Bupati Sutan Doli Siregar, Patih Ayub Sulaiman Loebis, dan Wedana Maraganti Siregar dan kepala persediaan makanan (logistik) rakyat Kalisati Siregar juga telah meninggalkan Padang Sidempuan menuju Sipirok (ibukota Kewedanaan Siprirok).
Dari Sipirok para pimpinan itu direncanakan unuk meneruskan perjalanan ke Panyabungan (sebagai ibukota Kabupaten Batang Gadis). Di Kewedanaan Sipirok sendiri, antisipasi perlawanan terhadap pasukan Belanda sudah terbentuk dan dilakukan oleh laskar rakyat yang dinamakan AGS (Angkatan Gerilya Sipirok).
AGS ini dipimpin oleh Sahala Muda Pakpahan yang bertugas sebagai komandan dengan wakilnya Maskud Siregar.
Komando angkatan gerilya Sipirok ini selanjutnya menjadi sangat penting untuk melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda dan membuat pertahanan di Sipirok dan penyerangan ke daerah induk Padang Sidempuan. AGS ini sendiri sesungguhnya baru dilantik oleh Wedana sekaligus PPK (Pimpinan Pertahanan Kewedanaan) Sipirok tanggal 3 Januari 1949.
Sejumlah eks laskar yang terpukul mundur dari Sumatera Timur dan telah mengungsi di Sipirok lalu direkrut untuk memperkuat barisan AGS. Anggota laskar yang menganggur itu diantaranya para anak buah Kapten Koima Hasibuan, eks pasukan ‘Naga Terbang’ dan sejumlah anggota kepolisian Sipirok.
Para laskar ini lalu seluruhnya dipersenjatai senapan locok yang hanya itu yang ada ketika itu. Dalam tempo yang realtif singkat, kekuatan barisan AGS sudah memadai dan siap untuk melakukan pertempuran besar.
Pada tanggal 5 Januari 1949 pasukan republik melancarkan serangan terhadap Belanda yang menduduki Padang Sidempuan dari Sipirok, dan berhasil masuk ke dalam kota. Akan tetapi balasan mortir yang bertubi-tubi dihamburkan pasukan Belanda bukan imbangan pasukan republik dalam pertempuran itu.
Pasukan republik ini terpaksa mundur dan kembali ke Sipirok dengan membawa serta pejuang yang gugur dan anggota pasukan yang terluka. Selanjutnya pada tanggal 21 Januari 1949 kota Sipirok diserang oleh pasukan Belanda, dan pemerintahan republik di Sipirok terpaksa mengungsi ke Arse dan markas AGS terpaksa dipindahkan ke bukit Maondang (tiga kilometer dari Sipirok).
Pada tanggal 30 Januari 1949, Binanga Siregar selaku Wakil Residen Tapanuli mengunjungi bukit Maondang dan Arse di Tapanuli Selatan untuk menyaksikan dari dekat pertahanan republik di garis depan. Keesokan harinya Wakil Residen bersama Wedana Sipirok berpidato dihadapan rakyat tentang isi surat Residen Tapanuli ketika itu yang mengutip berita-berita yang disiarkan “All Indian Radio” dan “Radio Australia”, bahwa Indonesia telah berhasil melakukan diplomasi di PBB.
Pada tanggal 1 Februari 1949 Ayub Sulaiman Lubis dan Kalisati Siregar (Patih dan Kepala Logistik Padang Sidempuan) berangkat ke Batang Angkola rute gerilya dan selanjutnya meneruskan perjalanan ke Panyabungan (ibukota Kabupaten Batang Gadis).
Keesokan harinya jalan yang sama dilalui pula oleh Binanga Siregar (Residen ‘adinterim’ Tapanuli), Sutan Doli Siregar (Bupati Padang Sidempuan/Bupati Tapanuli Selatan yang pertama), Abdul Hakim Harahap (Wakil Residen Tapanuli), dan Maraganti Siregar (Wedana Sipirok) untuk mengabarkan keberhasilan bangsa Indonesia di PBB untuk bidang diplomatik kepada masyarakat di pedalaman.
Selanjutnya setelah pasukan Belanda mengetahui pemerintah republik telah meninggalkan Sipirok dan membuat pos di Arse, maka pada tanggal 17 Februari 1949 pasukan Belanda melanjutkan serangannya. Lantas pemerintahan Padang Sidempuan dan Kewedanaan Sipirok dipindahkan ke Simangambat. Sipirok sendiri masuk daerah pendudukan Belanda dan Arse adalah garis demarkasi yang menjadi teitori pihak Belanda. Pengungsian rakyat telah berlangsung sejak 7 Maret 1949.
Pasukan Belanda yang terus menyerang itu pada dasarnya terdiri dari pasukan-pasukan yang bermarkas di Sipirok. Setiap pasukan umumnya terdiri hanya dua orang militer asli Belanda dengan perlengkapan militer lengkap tetapi didukung sejumlah anggota pasukan lainnya yang notabene merupakan orang-orang berkulit coklat yang mungkin berasal dari anak bangsa kita sendiri.
- Peretempuran Benteng Huraba di Tapanuli Selatan Sumatera Utara
Pasukan Belanda berharap jika Sibolga sudah dikuasai, sementara Padang (Sumatera Barat) sudah lebih dahulu dikuasai, maka pasukan Belanda merasa mudah menguasai Padang Sidempuan dan wilayah Tapanuli Selatan.
Pasukan Belanda berharap Dengan dikuasainya Padang Sidempuan dan sekitarnya, maka terbuka lebar untuk menjepit salah satu pasukan terkuat RI yang ada di Bukittinggi. Ini jelas, suatu rencana yang sangat taktis dan strategis. Selanjutnya, pasukan Belanda melancarkan agresi militer kembali. Dalam agresi militer Belanda yang kedua ini yang dimulai pada 19 Desember 1948 dengan melakukan serangan terhadap Yogyakarta, Ibukota Republik Indonesia.
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta ditangkap dan dibuang ke Brastagi. Akibatnya ibukota Republik Indonesia dipindahkan ke Bukittinggi dengan dibentuknya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada tanggal 22 Desember 1948 (dan berakhir tanggal 13 Juli 1949).
PDRI yang berkedudukan di Bukittinggi dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara. Sementara, di Tapanuli pasukan Belanda melakukan serangan ke Sibolga baik dari laut, darat dan maupun udara. Akhirnya kota Sibolga jatuh ke tangan pasukan Belanda pada tanggal 20 Desember 1948.
Dengan jatuhnya ibukota Tapanuli itu, pemerintah RI memutuskan untuk melebur semua pasukan dan laskar yang ada. Pemerintah republik menugaskan pasukan republik dibawah pimpinan Mayor Bejo menahan serangan serdadu Belanda yang tengah menuju Padang Sidempuan dari arah Sibolga. Pada tanggal 28 Desember 1948, pasukan Belanda telah tiba di jembatan Batangtoru.
Jembatan sepanjang hampir 100 meter sebelah timur kota Batangtoru itu telah terlebih dahulu dirusak pasukan MBK agar tidak dapat dimanfaatkan pasukan Belanda. Sementara itu Brigade-B yang posnya berada di Padang Sidempuan menyongsong menuju Batangtoru. Penghadangan terhadap pasukan Belanda dilakukan di jembatan Batangtoru.
Dalam pertempuran yang tidak sebanding itu pasukan Belanda yang dibantu dengan pesawat tempur dari bandara Pinangsori akhirnya dapat memukul mundur pasukan Brigade-B dan MBK Tapanuli. Kedua pasukan ini akhirnya mundur ke Padang Sidempuan.
Setelah Batangtoru berhasil direbut, selanjutnya pasukan Belanda mengebom kota Padang Sidempuan dengan dua pesawat tempur. Pasukan Brigade-B dan MBK Tapanuli menyingkir dan mundur ke Penyabungan. Untuk menahan masuknya pasukan Belanda dari arah Sibolga, pasukan dan para laskar diperintahkan melakukan taktik rintangan dan bumi hangus.
Seluruh jembatan yang menuju ke Padang Sidempuan diruntuhkan, pohon-pohon besar yang tumbuh sepanjang jalan-raya ditumbangkan ke tengah jalan, permukaan jalan yang rata diberi berlobang dimana-mana.
Semua itu dilakukan agar kendaraan militer pasukan Belanda tidak dapat melewatinya atau paling tidak untuk membuatnya bergerak tersendat-sendat. Sementara itu, bangun-bangunan dan gedung yang masih berdiri yang kemungkinan akan digunakan Belanda untuk markasnya dibakar atau diruntuhkan.
Pasukan Belanda akhirnya memasuki Padang Sidempuan pada tanggal 1 Januari 1949. Pasukan Belanda mendapati ibukota Angkola itu sudah habis di bumi hangus yang ditinggalkan warganya.
Pemerintah RI Kabupaten Tapanuli Selatan pimpinan Bupati, Sutan Doli Siregar, Patih, Ayub Sulaiman Lubis, dan Wedana Maraganti Siregar dan kepala persediaan makanan rakyat Kalisati Siregar juga telah meninggalkan Padang Sidempuan menuju Sipirok. Lantas mereka ini meneruskan perjalanan ke Panyabungan.
Di Sipirok, perlawanan terhadap serangan pasukan Belanda dilakukan oleh AGS (Angkatan Gerilya Sipirok) pimpinan Sahala Muda Pakpahan (“Jendral Naga Bonar”) yang bertugas sebagai komandan dengan wakilnya Maskud Siregar. AGS ini baru dilantik oleh Wedana sekaligus PPK (Pimpinan Pertahanan Kewedanaan) Sipirok pada tanggal 3 Januari 1949 dibawah komando Brigade-B pimpinan Mayor Bejo.
Anggota AGS ini diantaranya bekas para laskar yang terpukul mundur dari Sumatera Timur dalam agresi militer Belanda yang pertama antara lain: bekas pasukan Naga Terbang, bekas anak buah Kapten Koima Hasibuan, anggota kepolisian Sipirok yang seluruhnya dipersenjatai dengan senapan locok yang ada ketika itu.
Pada tanggal 5 Januari 1949 pasukan republik melancarkan serangan terhadap Belanda yang menduduki Padang Sidempuan dari Sipirok, dan berhasil masuk ke dalam kota. Akan tetapi balasan mortir yang bertubi-tubi dihamburkan pasukan Belanda bukan imbangan pasukan republik.
Pasukan republik ini harus mundur dan kembali ke Sipirok dengan membawa serta anggota yang gugur dan terluka.
Pada tanggal 21 Januari 1949 kota Sipirok diserang oleh pasukan Belanda dan Pemerintahan RI di kota itu terpaksa mengungsi ke Arse dan markas AGS terpaksa dipindahkan ke Bukit Maondang (tiga kilometer dari Sipirok). Pada tanggal 30 Januari 1949, Binanga Siregar selaku Wakil Residen Tapanuli mengunjungi Bukit Maondang dan Arse di Tapanuli Selatan untuk menyaksikan dari dekat pertahanan republik di garis depan.
Keesokan harinya Wakil Residen bersama Wedana Sipirok berpidato dihadapan rakyat tentang isi surat Residen Tapanuli ketika itu yang mengutip berita-berita yang disiarkan: “All Indian Radio” dan “Radio Australia”, bahwa rakyat Indonesia telah berhasil melalui diplomasi di PBB. Juga tentang akan adanya penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh pemerintah Belanda di Den Haag.
Pada tanggal 1 Februari 1949 Ayub Sulaiman Lubis dan Kalisati Siregar berangkat ke Angkola Jae untuk melanjutkan perjalanan ke Mandailing. Keesokan harinya jalan yang sama dilalui pula oleh Binanga Siregar, Sutan Doli Siregar, Sutan Hakim Harahap, dan Maraganti Siregar guna mengabarkan keberhasilan bangsa Indonesia di PBB untuk bidang diplomatik kepada masyarakat di pedalaman.
Mengetahui pemerintah Tapanuli Selatan telah meninggalkan Sipirok, maka pada tanggal 17 Februari 1949 pasukan Belanda melanjutkan serangannya ke Bunga Bondar.
Pada tanggal 8 Mei 1949, serdadu-serdadu Belanda berikut kendaraan lapis baja mereka meneruskan penyerangan ke Arse. Meski dalam setiap langkah agresi yang dilakukan pasukan Belanda, pasukan Republik menunjukkan perlawanan. Akhirnya pemerintah Tapanuli Selatan terpaksa mengungsi meninggalkan Arse menuju Simangambat.
Pertempuran Benteng Huraba: Merebut Kembali Padang Sidempuan
Dengan jatuhnya kota Padang Sidempuan ke tangan pasukan Belanda dan kekalahan yang dialami pasukan dan laskar rakyat, maka di wilayah pertahanan RI ini di Huta Goti diadakan perundingan yang melibatkan berbagai komponen pertahanan yang berada ada di luar kota Padang Sidempuan.
Tujuan diadakan perundingan ini untuk menyusun strategi dalam merebut kota Padang Sidempuan dari tangan pasukan Belanda. Kekuatan perlawanan terhadap pasukan Belanda tersebut meliputi pasukan yang terdiri dari MMB-I Sumatera pimpinan Iptu Ibnu, pasukan MBK Tapanuli dan Kompi Brigade-B yang dipimpin Kapten Robinson Hutapea serta laskar rakyat yang dipimpin Letnan Sahala Muda Pakpahan dengan dukungan masyarakat.
Dalam pertempuran yang direncanakan secara matang dan terkoordinasi dengan baik terjadi cukup alot. Pertempuran yang berlangsung selama tiga hari akhirnya dapat merebut kembali kota Padang Sidempuan.
Setelah kota Padang Sidempuan direbut, pasukan Belanda mundur ke Batangtoru. Namun baru berselang enam jam kota Padang Sidempuan ke pangkuan ibi pertiwi, tiba-tiba secara mendadak muncul dua pesawat tempur di langit Padang Sidempuan dan menembaki kota yang disusul dengan pasukan Belanda yang melakukan putar balik di Batangtoru.
Suasana panik dan serangan darat dari pasukan Belanda dari arah Batangtoru tidak mampu ditahan oleh gabungan pasukan dan terpaksa harus mundur secara bertahap ke Huta Goti, Huta Pijorkoling, Huta Pintu Padang dan akhirnya konsolidasi untuk bertahan di Huta Huraba.
Pasukan Belanda yang sudah menguasai wilayah Padang Sidempuan tampaknya belum puas dan khawatir terjadi lagi perlawanan balik.
Pasukan Belanda menyusun rencana strategis baru untuk melumpuhkan lawan dan memukul mundur sejauh-jauhnya dari Padang Sidempuan. Karena itu, pada tanggal 5 Mei 1949 sekitar pukul 04.00.WIB pasukan Belanda mulai melakukan penyerangan terhadap lawan yang dilaporkan membuat pertahanan berupa benteng di Huta Huraba.
Rencana penyerangan dimulai dari Pijorkoling dengan taktik serangan ‘holistik’ dengan cara mengepung dari empat jurusan. Pasukan Belanda dalam hal ini dibantu oleh dua orang penunjuk jalan (scout) yang desersi dari anggota MBK Tapanuli yang bernama Makaleo dan Syamsil Bahri. Dalam serangan Belanda yang tidak diduga pasukan RI ini berhasil merebut Benteng Huraba. Pasukan MBK Tapanuli dan Brigade-B mundur ke Huta Tolang.
Posisi Benteng Huraba yang diduduki pasukan Belanda ini sangat strategis dan menjadikannya garis front utama untuk mempertahankan wilayah Padang Sidempuan. Benteng Huraba adalah Batas Demarkasi Sisa Sumatera Utara dan Pusat ‘Pemerintahan Darurat Republik Indonesia’ di Bukittinggi.
Karena itu pasukan Belanda waktunya untuk melakukan pertahanan di Benteng Huraba. Sementara itu, di Huta Tolang, Komandan MBK yang datang dari Panyabungan mengumpulkan seluruh pasukan yang ada dan melakukan konsolidasi untuk penyerangan balasan terhadap pasukan Belanda yang sudah bertahan di Benteng Huraba.'
Dalam pertempuran di Benteng Huraba ini pasukan gabungan memulai penyerangan pada saat fajar dengan menggunakan mortir. Pertempuran ini terjadi sangat heroik dan membuthkan waktu. Baru pukul 16.30.WIB pasukan gabungan berhasil memenangkan pertempuran dan Benteng Huraba dapat direbut kembali. Pasukan Belanda yang dikalahkan mundur ke Padang Sidempuan.
Dalam pertempuran ini ditaksir cukup besar kerugian yang dialami oleh pihak pasukan gabungan baik jiwa maupun materi. Dari anggota pasukan MBK Tapanuli sendiri yang gugur terdapat sebanyak 11 orang dan dari pasukan Brigade–B sebanyak 16 orang. Sementara dari barisan laskar dan rakyat yang tergabung dalam pertempuran itu tidak pernah tercatat berapa orang yang sudah gugur dalam pertempuran yang heroik itu.
Pada tanggal 3 Agustus 1949 gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia disepakati. Kemudian dilanjutkan perundingan yang disebut Konferensi Meja Bundar, sebuah pertemuan antara pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari 23 Agustus hingga 2 November 1949.
Hasil perundingan itu antara lain dan yang terpenting bahwa kedaulatan NKRI akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949.
Benteng Huraba adalah pertahanan terakhir dari perlawanan rakyat di wilayah Provinsi Sumatera Utara terhadap pasukan Belanda dalam agresi militer Belanda kedua. Suatu benteng yang pada masa ini berada di dekat Kota Padang Sidempuan di Kecamatan Batang Angkola, Kabupaten Tapanuli Selatan.
Benteng ini lokasinya sangat strategis yang berada di jalur lintas Padang Sidempuan ke Bukittinggi. Pada masa dulu, Benteng ini tidak bisa ditembus pasukan Belanda hingga terjadinya penyerahan kekuasaan dan pengakuan Belanda terhadap NKRI (27 Desember 1949).
Kini, benteng ini tidak hanya sebagai simbol perjuangan masyarakat Sumatera di kancah nasional dalam pertempuran sealama Perang Kemerdekaan, tetapi benteng ini juga dulu telah menyelamatkan kota Penyabungan sebagai ibu kota pengganti Tapanuli Selatan setelah kota Padang Sidempuan di kuasai pasukan Belanda. Juga, Benteng Huraba ini telah turut serta dari sisi utara dalam mengamankan ibukota Republik Indonesia di Bukittinggi. Bravo lascar dan rakyat Tapanuli Bagian Selatan.
Untuk menghormati para pahlawan yang gugur dalam mempertahankan kemerdekaan di Benteng Huraba dan untuk menunjukkan betapa pentingnya perjuangan rakyat Tapanuli bagian Selatan bersama-sama dengan TNI dan Polri maka dibangunlah monumen Benteng Huraba.
Bangunan benteng yang bentuknya layaknya ‘kastel’ dalam permainan catur ini diresmikan oleh Kapolri Jenderal Awaloedin Djamin pada tanggal 21 November 1981.
Demikianlah eksistensi Benteng Huraba di Padang Sidempuan (sekarang masuk wilayah Tapanuli Selatan), sebuah benteng yang mampu menjaga pertahanan rakyat dalam perang melawan pasukan Belanda pada tanggal 5 Mei 1949.
Merdeka! (JKGR)