Surabaya - Pangarmatim Laksamana Muda TNI Darwanto
menegaskan bahwa kebijakan Poros Maritim Dunia membutuhkan 157 kapal
untuk memperkuat TNI AL, bahkan jumlah itu hanya merupakan kebutuhan
minimal dibandingkan dengan luas wilayah lautan Indonesia.
"Saat ini sudah ada 130-an kapal dengan 80-an kapal di antaranya di wilayah Timur (Armatim), karena wilayah Timur sudah mencakup 2/3 wilayah laut kita," katanya setelah berbicara dalam dialog publik di Universitas Hang Tuah (UHT) Surabaya, Kamis.
Di hadapan 150-an mahasiswa dan pelajar SMA/SMK yang menghadiri dialog tentang kemaritiman yang digelar BEM Fakultas Hukum UHT Surabaya itu, ia mengatakan pihaknya juga masih menghadapi kendala bahan bakar untuk kapal perang RI (KRI) yang sangat terbatas.
"Kita belum mampu melakukan kejar-kejaran dengan perompak di laut, seperti perompak yang melakukan illegal fishing, karena bahan bakar kapal-kapal kita hanya terpenuhi 37-40 persen, sehingga kita sering menunggu di daerah operasi," katanya.
Namun, pihaknya mampu melaksanakan instruksi pemerintah untuk menenggelamkan kapal ikan asing yang mencuri ikan di lautan Indonesia. "Penenggelaman itu juga tidak kita lakukan sembarangan, namun kita selalu mengacu bukti dan keputusan dari pengadilan," katanya.
Ditanya tentang diskriminasi dalam penenggelaman kapal ikan asing terkait adanya kapal ikan asing yang hanya dihalau, mantan Komandan KRI Dewaruci yang mendapat gelar kehormatan sebagai "Kapita Marinyo Lau Nyili Lovo-Lovo" (Panglima Armada Laut Wilayah Timur) Kesultanan Tidore itu membantah hal itu.
"Kita selalu mengacu pada proses hukum, tapi kita juga menghindari baku tembak dengan kapal asing yang membawa bahan-bahan berbahaya, karena baku tembak justru menambah masalah," katanya.
Harus Serius
Dalam dialog publik yang juga menampilkan pakar hukum lingkungan Unair Dr H Suparto Wijoyo dan dosen FISIP UHT Dr Budi Rianto, Pangarmatim mengatakan konsep Poros Maritim juga perlu kebijakan yang komprehensif.
"Kalau kita menenggelamkan kapal dan melarang pengambilan biota laut tertentu, tentu akan menurunkan pasokan ikan, baik di dalam negeri maupun di dunia, karena itu kita perlu melakukan action lain," katanya.
Selain itu, koordinasi antarlembaga juga penting, seperti pariwisata di Bunaken yang juga merusak lingkungan laut, karena banyak kapal yang justru melakukan lego jangkar yang merusak terumbu karang yang indah. Tantangan lain adalah proses perizinan kapal ikan yang harus ke Jakarta justru mendorong jual beli perizinan, karena itu perlu perizinan tingkat provinsi.
Dalam kesempatan itu, pakar hukum lingkungan Unair Dr H Suparto Wijoyo menyatakan Poros Maritim Dunia itu mensyaratkan anggaran yang optimal untuk TNI AL, karena TNI AL merupakan kunci untuk mewujudkan poros dunia itu.
"Coba bandingkan, TNI hanya diberi anggaran Rp40 triliunan dan itu pun dibagi untuk AL, AD, AU, sehingga hanya Rp15 triliunan per angkatan, padahal seharusnya TNI AL saja perlu diberi Rp40 triliunan, seperti Polri yang sudah diberi anggaran Rp40 triliunan," katanya.
Menurut dia, kebijakan Poros Maritim Dunia akan menjadi tidak serius bila anggaran untuk TNI AL tidak memadai, apalagi bahan bakarnya juga tidak cukup. "Zaman Kartanegara saja kita punya ribuan kapal, lho sekarang kok hanya 130-an kapal," katanya.
Oleh karena itu, katanya, pemerintah harus serius memperhatikan TNI AL. "Pada masa lalu, Nusantara merupakan salah satu dari tiga negara besar bersama Tiongkok dan India, lalu sekarang tertinggal dari Amerika dan Eropa, karena itu kita harus bangkit," katanya. (ANTARA News)
"Saat ini sudah ada 130-an kapal dengan 80-an kapal di antaranya di wilayah Timur (Armatim), karena wilayah Timur sudah mencakup 2/3 wilayah laut kita," katanya setelah berbicara dalam dialog publik di Universitas Hang Tuah (UHT) Surabaya, Kamis.
Di hadapan 150-an mahasiswa dan pelajar SMA/SMK yang menghadiri dialog tentang kemaritiman yang digelar BEM Fakultas Hukum UHT Surabaya itu, ia mengatakan pihaknya juga masih menghadapi kendala bahan bakar untuk kapal perang RI (KRI) yang sangat terbatas.
"Kita belum mampu melakukan kejar-kejaran dengan perompak di laut, seperti perompak yang melakukan illegal fishing, karena bahan bakar kapal-kapal kita hanya terpenuhi 37-40 persen, sehingga kita sering menunggu di daerah operasi," katanya.
Namun, pihaknya mampu melaksanakan instruksi pemerintah untuk menenggelamkan kapal ikan asing yang mencuri ikan di lautan Indonesia. "Penenggelaman itu juga tidak kita lakukan sembarangan, namun kita selalu mengacu bukti dan keputusan dari pengadilan," katanya.
Ditanya tentang diskriminasi dalam penenggelaman kapal ikan asing terkait adanya kapal ikan asing yang hanya dihalau, mantan Komandan KRI Dewaruci yang mendapat gelar kehormatan sebagai "Kapita Marinyo Lau Nyili Lovo-Lovo" (Panglima Armada Laut Wilayah Timur) Kesultanan Tidore itu membantah hal itu.
"Kita selalu mengacu pada proses hukum, tapi kita juga menghindari baku tembak dengan kapal asing yang membawa bahan-bahan berbahaya, karena baku tembak justru menambah masalah," katanya.
Harus Serius
Dalam dialog publik yang juga menampilkan pakar hukum lingkungan Unair Dr H Suparto Wijoyo dan dosen FISIP UHT Dr Budi Rianto, Pangarmatim mengatakan konsep Poros Maritim juga perlu kebijakan yang komprehensif.
"Kalau kita menenggelamkan kapal dan melarang pengambilan biota laut tertentu, tentu akan menurunkan pasokan ikan, baik di dalam negeri maupun di dunia, karena itu kita perlu melakukan action lain," katanya.
Selain itu, koordinasi antarlembaga juga penting, seperti pariwisata di Bunaken yang juga merusak lingkungan laut, karena banyak kapal yang justru melakukan lego jangkar yang merusak terumbu karang yang indah. Tantangan lain adalah proses perizinan kapal ikan yang harus ke Jakarta justru mendorong jual beli perizinan, karena itu perlu perizinan tingkat provinsi.
Dalam kesempatan itu, pakar hukum lingkungan Unair Dr H Suparto Wijoyo menyatakan Poros Maritim Dunia itu mensyaratkan anggaran yang optimal untuk TNI AL, karena TNI AL merupakan kunci untuk mewujudkan poros dunia itu.
"Coba bandingkan, TNI hanya diberi anggaran Rp40 triliunan dan itu pun dibagi untuk AL, AD, AU, sehingga hanya Rp15 triliunan per angkatan, padahal seharusnya TNI AL saja perlu diberi Rp40 triliunan, seperti Polri yang sudah diberi anggaran Rp40 triliunan," katanya.
Menurut dia, kebijakan Poros Maritim Dunia akan menjadi tidak serius bila anggaran untuk TNI AL tidak memadai, apalagi bahan bakarnya juga tidak cukup. "Zaman Kartanegara saja kita punya ribuan kapal, lho sekarang kok hanya 130-an kapal," katanya.
Oleh karena itu, katanya, pemerintah harus serius memperhatikan TNI AL. "Pada masa lalu, Nusantara merupakan salah satu dari tiga negara besar bersama Tiongkok dan India, lalu sekarang tertinggal dari Amerika dan Eropa, karena itu kita harus bangkit," katanya. (ANTARA News)