Jakarta – Setelah pesawat tempur F-16 “Fighting Falcon” terbakar jelang lepas landas, beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo memerintahkan Panglima TNI Jenderal Moeldoko untuk memperbaiki kebijakan dan proses pengadaan alat utama sistem persenjataan. Kira-kira ke mana arah perbaikannya?
Pertama, ke masa lalu, perlu dilakukan investigasi menyeluruh untuk melihat kemungkinan adanya kecurangan dalam kebijakan dan proses pengadaan F-16. Menilai kebijakan masa lalu masih dirasa perlu karena publik masih bertanya-tanya mengapa memutuskan membeli (hibah) 24 pesawat tempur uzur (bekas) dari perusahaan Amerika untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara kita?
Pada 2012, anggaran untuk menerima hibah itu sekitar 430 juta dolar AS. Apakah kebijakan itu opsi terbaik saat itu ? Sebelum meminjamkan oditur militer terbaiknya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mau dan mampukah TNI melakukan investigasi ke dalam? Di masa lalu terbukti peradilan militer mampu menyelesaikan kasus korupsi yang melibatkan Jenderal Djaja Suparman dengan baik.
Kedua, ke masa depan, TNI harus memasok alat utama sistem persenjataan (alutsista) dari perusahaan alutsista yang anti korupsi. Mencari dan bermitra dengan perusahaan alutsista anti korupsi menjadi keniscayaan.
Perusahaan anti korupsi
Tak mungkin TNI bebas dari korupsi kalau perusahaan penyuplai alutsista-nya tidak anti korupsi. Korupsi itu hasil interaksi antara sisi permintaan dan penawaran. Upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi harus dilakukan secara simultan dari kedua sisi. Lamban pupusnya korupsi dalam kehidupan masyarakat barangkali disebabkan kesalahan kita juga yang selama ini terlalu menitikberatkan pencegahan dan pemberantasan korupsi pada sisi permintaan. Sisi penawaran, dunia bisnis, kurang mendapat perhatian.
KPK dan penegak hukum lain ke depan perlu memberikan perhatian lebih pada upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di sektor bisnis. Persoalannya bagi TNI sekarang, adakah perusahaan alutsista yang berbisnis dengan semangat dan komitmen anti korupsi?
Transparansi Internasional cabang Inggris (TI-UK) sudah lama mengembangkan indeks anti korupsi perusahaan alutsista. Indeks ini mengukur intensi dan komitmen perusahaan dalam memerangi korupsi dalam bisnis alutsista. Mengukur komitmen itu dilakukan dengan cara memeriksa apakah perusahaan tersebut menganut nilai (etika) dan program anti korupsi. Etika dan program anti korupsi perusahaan tersebut harus terbuka dan bisa diakses publik.
Ada lima aspek informasi perusahaan yang digali untuk membangun indeks ini, yaitu: (1) kepemimpinan, tata kelola, dan organisasi; (2) manajemen risiko; (3) kode etik dan kebijakan; (4) pelatihan; serta ( 5) personalia dan saluran pengaduan. Kelima aspek itu dipecah ke dalam 41 pertanyaan. Berdasarkan kriteria itu perusahaan alutsista dikategorikan dalam enam kategori (band), yaitu A (buktinya melimpah), B (buktinya banyak), C (buktinya cukup), D (buktinya terbatas), E (buktinya sangat terbatas), dan F (hampir tak ada bukti).
Akhir April 2015, TI-UK meliris hasil survei terkini indeks anti korupsi perusahaan alutsista. Ada 163 perusahaan alutsista yang disurvei dari 47 negara. Temuan utamanya paling menarik adalah semakin banyak perusahaan alutsista yang serius mengelola risiko korupsi berbisnis di sektor ini. Indikasinya jelas, selama kurun 2012-2015, jumlah dan persentase perusahaan alutsista yang masuk kategori A dan B bertambah dari 10 (8 persen) menjadi 26 (17 persen). Lebih detail, jumlah perusahaan masuk kategori A bertambah dari 1 menjadi 4, sementara kategori B bertambah dari 9 menjadi 22. Jumlah perusahaan yang masuk kategori paling bawah, F, berkurang dari 46 menjadi 35. Dari 85 perusahaan alutsista yang masuk kategori D sampai F pada 2012, 29 perusahaan sudah meningkatkan disklosur etika dan program anti korupsinya kepada publik.
Beberapa perusahaan alutsista bahkan memperbaiki risiko korupsinya secara tajam: 3 perusahaan naik 3 peringkat, 9 perusahaan naik 2 peringkat, dan 30 perusahaan naik 1 peringkat. Padahal, kriteria yang dipakai untuk survei tahun ini 7 persen lebih ketat ketimbang survei tahun 2012. Pertanyaannya lebih rigid dan pemberian skornya lebih variatif. Misalnya, pada survei terbaru sudah mulai ditanyakan tentang ada tidaknya offset contract, agenda untuk meninjau ulang program anti korupsi, donasi perusahaan untuk kegiatan amal, dan whistleblowing system.
Empat perusahaan yang masuk kategori A adalah Bechtel, Lockheed Martin, Fluor Corporation, dan Raytheon. Semua berbasis di Amerika Utara. Lockheed Martin adalah metamorfosis dari General Dynamics yang dulu memproduksi F-16. Prototipe F-16 dikembangkan pada 1970-an dan diproduksi secara industrial pada 1980-an. Pada zaman itu F-16 termasuk pesawat tempur paling canggih. Meskipun pesawat bekas itu melalui proses daur ulang dan refurbikasi, risiko tak laiknya tetap lebih tinggi daripada pesawat baru.
Pada 1993, General Dynamic menjual sahamnya ke Lockheed Corporation. Kemudian pada 1995 Lockheed Corporation jadi Lockheed Martin setelah melalui penggabungan antara Lockheed dengan Martin-Marietta. Martin- Marietta dulunya juga hasil penggabungan antara Glenn L Martin Company dengan American-Marrietta Corporation.
Dari sisi pemasok terlihat juga relevansinya menginvestigasi kebijakan dan proses pengadaan F-16: apakah Lockheed Martin sudah konsisten dan ajek menerapkan etika dan program anti korupsinya? Tersedianya informasi tentang peringkat perusahaan alutsista anti korupsi ini memungkinkan kita melakukan pilih kelir, acak corak: mau dengan siapa kita berbisnis alutsista tanpa korupsi.
PT Dirgantara Indonesia, satu-satunya perusahaan dari Indonesia yang disurvei, masuk kategori F . Sukhoi, yang memasok pesawat tempur Sukhoi Su-35, juga masuk kategori F. Apakah kita akan meninjau ulang kerja sama bisnis militer dengan Sukhoi karena mereka masuk kategori F? Mungkin tidak karena semangat dan komitmen anti korupsi perusahaan bukan satu satunya variabel dalam menentukan dengan siapa kita mau berbisnis alusista. Sukhoi dan Rusia tidak mengaitkan bisnis alutsista dengan isu demokrasi atau pelanggaran HAM. Amerika, sebaliknya, kerap mengaitkan bisnis alutsista dengan isu demokrasi dan HAM.
Mungkin lebih baik Sukhoi kita jadikan peluang dan ladang advokasi supaya mereka meningkatkan dan menerapkan komitmen anti korupsi juga. Demikian juga kelihatannya tak terhindarkan, ke depan, PT DI dan PT Pindad juga harus mengembangkan dan menerapkan etika dan program anti korupsi dalam bisnisnya, mendisklor etik dan program anti korupsinya di situs webnya dan vokal menyuarakan anti korupsi, baik di lingkungan perusahaan maupun ke publik.
Menaikkan peringkat
Dua langkah tersebut tampaknya sejalan dengan intensi dan komitmen Moeldoko mewujudkan TNI bebas dari korupsi, seperti yang dicanangkan Agustus tahun lalu di Cilangkap. Pilihan menjadi militer bebas korupsi itu memang harus diambil karena korupsi di tubuh militer membahayakan kedaulatan bangsa dan negara, mengancam keamanan dan keselamatan warga, plus membahayakan keamanan dan keselamatan tentara.
Selain itu, semangat anti korupsi dalam tubuh dan industri militer sekarang ini juga sudah mulai menjadi arus pemikiran utama di mana-mana. Tampaknya adopsi dan penerapan etika dan program anti korupsi sudah menjadi standar perilaku baru bagi perusahaan dalam mengembangkan industri dan bisnis alutsista.
Besar kemungkinan langkah ini bisa meningkatkan peringkat kategori risiko korupsi militer kita dari E (sangat tinggi) saat ini, taruhlah menjadi C (moderat) dalam beberapa tahun ke depan. Dalam jangka lebih panjang nanti militer kita bisa sejajar dengan Australia dan Jerman yang risiko korupsi militernya sangat rendah (A). Atau dengan Austria, Norwegia, Korea Selatan, Swedia, Taiwan, Inggris, dan Amerika Serikat yang risiko korupsinya rendah (B).
Untuk melaksanakan tugas berat dan suci itu, tampaknya Presiden Jokowi perlu mempertimbangkan memperpanjang masa kerja dan jabatan Jenderal Moeldoko yang akan pensiun pada Agustus tahun ini. Opsi lain, Presiden mengangkat panglima baru yang potensial komit dan mampu melaksanakan misi itu.
Dedi Haryadi
Deputi Sekjen Transparansi Internasional Indonesia
* Artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Juni 2015 dengan judul “Indeks Anti Korupsi Perusahaan Alutsista”.
Kompas.com