Partai Hijau Australia meminta Pemerintah Australia megakui terkait pengungkapan badan agen intelijen elektronik Australia (DSD) menawarkan berbagi informasi tentang warga sipil dengan negara lain.
The Guardian Australia telah menerbitkan dokumen rahasia dari tahun 2008 yang dibocorkan oleh Edward Snowden serta menunjukkan kalau Defence Signals Directorate Australia bersedia berbagi metadata yang telah dikumpulkan, asalkan tidak menargetkan Australia.
Metadata merupakan sidik jari elektronik dan dapat mencakup semua penggunaan elektronik seperti email, panggilan telepon, postingan media sosial namun tidak selalu termasuk isi komunikasi.
Senator dari Partai Hijau Scott Ludlum menyatakan DSD bisa jadi bersalah dan berpotensi melanggar undang undang Australia.
“Jika anda tidak sengaja mengumpulkan metadata milik warga negara Australia, anda tidak boleh membagikannya, anda harus menghancurkannya,” tegas Ludlum.
Dia melanjutkan kedua partai besar di Australia, yakni Buruh dan Liberal, bersalah dan tidak besuara terkait masalah ini.
“Kami kembali menyerukan agar Pemerintah Australia mengakuinya,” tambah Ludlum.
Ludlum menyampaikan agar Pemerintah Australia jangan menunggu sampai pers di Australia dan dunia mengungkap satu persatu soal ini.
"Ayo keluar dan jelaskan kepada warga negara Australia apa yang terjadi,” lanjutnya.
Anggota Parlemen Australia Klaim Telefonnya Disadap
Anggota Parlemen Australia Clive Palmer mengklaim kalau telefonnya diretas oleh badan intelijen Australian Security Intelligence Organisation (ASIO) selama lebih dari satu dekade.
Anggota Parlemen Clive Palmer |
“Apakah kantor Parlemen kita disadap?” tanya Palmer.
Abbott menjawab kalau dia tidak akan mengomentari isu operasional keamanan sambil menambahkan bahwa surat perintah khusus akan diperlukan untuk menyadap telepon siapa pun.
“Saya bisa pastikan pada anggota parlemen bisa berbicara dengan nyaman, silahkan berbicara tanpa takut sesuatu yang tak diinginkan terjadi,” tutur Abbott.
Namun dalam konferensi pers Rabu (4/12/2013), Anggota Perlemen yang mewakili Negara Bagian Queensland itu mengungkapkan sudah menjadi rahasia umum kalau ASIO menyadap telefon orang-orang kaya Australia.
“Telefon saya diretas selama kira-kira 10 atau 15 tahun, begitu juga dengan email saya,” ungkapnya.
Dia menyampaikan kalau semua anggota parlemen perlu tahu kalau kantor mereka aman dari penyadapan.
“Kami ini bukan negara lain, tapi kami adalah perwakilan masyarakat Australia,” tegas Palmer.
Saat konferensi pers berlangsung, telefon Palmer terus berdering dan dia berguaru dengan menjawab: “Apa kabar ASIO? Apakah anda mendengar bunyik klik di telefon?” guraunya.
Dia menyebut peristiwa hari ini sebagai “skandal Abbott pada hari pertama,” sambil merujuk skandal Watergate pada era kepemipinan Presiden Nixon di Amerika.
PM Abbott Bela Penggeledahan Kantor Pengacara Timor Leste
Perdana Menteri Tony Abbott membela tindakan badan intelijen Australia, ASIO, menggeledah rumah sekaligus kantor Bernard Collaery, pengacara yang mewakili Timor Leste dalam kasus gugatan pembatalan kerjasama pengolahan minyak dan gas melawan Australia. Kasus tersebut akan diperiksa di Den Haag, Belanda, Kamis (5/12/2013), dan pihak Timor Leste diwakili pengacara Collaery yang adalah warga Australia.
Inilah rumah sekaligus kantor pengacara Bernard Collaery yang digerebek ASIO. (Credit: ABC)
Pihak Timor Leste membawa kasus ini ke Den Haag dengan tujuan untuk membatalkan perjanjian pengelolaan minyak dan gas dengan Australia senilai 40 milliar dollar. Alasannya, menurut pihak Timor Leste, karena ternyata Australia memata-matai mereka sebelum negosiasi perjanjian itu dilakukan.
Disebutkan, aksi mata-mata dilakukan di Dilli oleh badan intelijen Australia yang saat itu masih bernama ASIS. Aksi tersebut kabarnya dilakukan atas perintah Menlu Australia waktu itu, Alexander Downer.
Selasa kemarin, petugas ASIO menggeledah rumah sekaligus kantor Collaery di Canberra. Pengacara ini justru sedang berada di Belanda mempersiapkan gugatan kasus tersebut.
Jaksa Agung George Brandis menyatakan pihaknya memberi izin penggeledahan, namun membantah hal itu ada kaitannya dengan kasus yang sedang bergulir di Belanda.
Partai Hijau mengecam tindakan ASIO, dan mendesak Jaksa Agung menjelaskan duduk perkaranya. "Jika hal ini benar, tampaknya George Brandis menganggap dirinya sebagai J Edgar Hoover dan bisa seenaknya mengeluarkan surat perintah penggeledahan," kata anggota parlemen Partai Hijau Adam Bandt.
Namun PM Abbott menyatakan, tindakan pemerintah dapat dibenarkan. "Kita tidak mengintervensi kasusnya, tapi akan selalu memastikan kepentingan nasional kita ditegakkan," kata Abbott.
Pihak Timor Leste menyatakan ASIS melakukan aksi mata-mata dengan kedok program bantuan, dan memasang perangkat penyadap di ruang kabinet pemerintah Timor Leste.
Menurut Collaery, rincian informasi aksi mata-mata itu belum diketahui hingga munculnya seorang whistle blower.
"Dirjen ASIS dan wakilnya memerintahkan teknisi ASIS berangkat ke Timor Leste, dengan berkedok program bantuan Australia merenovasi dan membangun kantor kabinet di Dilli. Mereka memasang alat penyadap di dinding yang dibangun atas bantuan dana Australia," jelas Collaery kepada ABC.
Ia mengatakan, saksi yang diperiksa ASIO Selasa kemarin bukanlah mata-mata, melainkan mantan direktur teknik operasi di ASIS.
Menurut Collaery, saksi tersebut memutuskan untuk menjadi whistle blower, setelah tahu mantan Menlu Alexander Downer kini menjadi penasehat di Woodside Petroleum.
Dalam pernyataan kepada ABC, Downer mengatakan tuduhan ini sudah lama dan pihaknya tidak akan berkomentar atas masalah keamanan nasional.
Sementara itu Pemimpin Oposisi Bill Shorten mengatakan badan intelijen Australia harus beroperasi dalam kerangka hukum yang berlaku.
Xanana Gusmao Tuntut Abbott Jelaskan Penggeledahan Kantor Pengacaranya
Perdana Menteri (PM) Timor Leste mengatakan dirinya terkejut dengan keputusan pemerintah Australia memerintahkan penggeledahan kantor pengacara dan whistleblower yang menyediakan bukti-bukti untuk melawan Australia di Den Haag.
PM Timor Leste Xanana Gusmao mendesak Tony Abbott menjelaskan mengapa pemerintahannya menyetujui penggeledahan di kantor pengacaranya.
Timor Leste akan mengajukan gugatan pembatalan perjanjian eksplorasi minyak dan gas di Laut Timor senilai $40 milyar ini di Pengadilan arbitrasi Internasional di Den Haag pada Kamis (5/12/2013).
Timor Leste menuding Australia mengambil keuntungan dalam negosiasi tersebut karena Badan Intelejen Rahasia Australia (ASIS) menyembunyikan alat penyadap di ruang kabinet pemerintah Timor Leste di Dili pada tahun 2004 lalu.
Timor menuding operasi itu diperintahkan oleh Bos ASIS ketika itu David Irvine, yang kini mengepalai Badan Intelejen Lokal Australia (ASIO).
Pada Selasa (3/12/2013), petugas ASIO menggeledah kantor kuasa hukum Timor Leste dalam gugatan ini, Bernard Collaery, di Canberra – yang saat ini berada di Belanda untuk mempersiapkan kasusnya di Pengadilan Arbitrase Internasional. Dihari yang sama ASIO juga menyita paspor mantan agen mata-mata Australia yang akan membeberkan bukti-bukti di pengadilan setelah rumahnya juga digeledah.
Kehadiran whistleblower, mantan Direktur Operasi Teknis ASIS, sebelumnya sosoknya dirahasiakan dan hanya diketahui segelintir pejabat dan pengacara sampai penggerebekan kemarin.
Pada Rabu sore (4/12/2013), PM Timor Leste Xanana Gusmao memberikan pernyataan dan mendesak PM Tony Abbott menjelaskan secara langsung kepada dirinya dan menjamin keamanan dari whistleblower.
"Aksi yang dilakukan oleh pemerintah Australia sangat kontrapoduktif dan tidak kooperatif,” kata Gusmao.
"Menggeledah kantor kuasa hukum kami dan mengambil tindakan agresif terhadap saksi kunci kami adalah tindakan yang tidak bermartabat dan tidak dapat diterima.
"Ini adalah perilaku yang tidak layak yang dilakukan seorang teman dekat dan tetangga atau dari sebuah bangsa yang besar seperti Australia."
Kuasa hukum yang kantornya digeledah mengatakan pemerintah Australia berusaha memberangus bukti-bukti dan saksi hukum utama kami” dengan menyita paspornya.
"Apa penilaian pengadilan internasional di Den Haag jika mengetahui masalah ini? kata Collaery.
Collaery juga mengatakan tuduhan kegiatan spionase salam negosiasi dengan Timor Leste berlangsung bisa dikategorikan "insider trading".
“Jika praktek ‘insider trading’ itu terjadi di bursa internasional seperti Bridge Street, Collins Street, Wall Street, pelakunya akan dipenjarakan,” kata Collaery kepada Lateline.
Jaksa Agung George Brandis mengkonfirmasi dirinya telah menyetujui penggeledahan tersebut, tetapi membantah aksi itu dilakukan untuk mempengaruhi proses arbitrasi di Den Haag.
Program Bantuan 'Kuda Trojan' Australia
Timor Leste mengklaim ASIS telah menggunakan program bantuan Australia sebagai tameng untuk menutupi operasi rahasia mereka dalam mengumpulkan informasi rahasia selama berlangsungnya negosiasi perjanjian eksplorasi minyak dan gas di Timur Leste tahun 2004.
Satu dekade lalu, dibawah program bantuan Australia, gedung pemerintah di Dili diberikan bantuan renovasi yang mahal. Namun bantuan itu dituding sebagai semacam kuda Trojan Australia.
Timor Leste mengklaim pada Mei 2004, agen ASIS berpura-pura menjadi pekerja bangunan di proyek renovasi gedung pemerintahan dan menanamkan alat penyadap di dinding ruang kabinet, yang letaknya hanya berjarak dua kantor dari ruangan yang ditempati Perdana Menteri.
Agen ASIS itu kembali pada Juli dan Agustus, yang kemungkinan untuk memeriksa sekaligus mempertahankan fungsi dari alat penyadap yang mereka tanam, sebelum akhirnya menyingkirkan semua jejak kegiatan penyadapan tersebut pada Desember, ketika operasi spionase tersebut berakhir.
Sebelummnya PM Tony Abbott menyatakan dirinya mendukung aksi penggeledahan yang dilakukan ASIO, dengan mengatakan badan intelejen tersebut sedang melakukan tugasnya menyelamatkan kepentingan Australia.
"Kita tidak bermaksud mengintervensi kasus ini, tapi kita bertindak untuk memastikan kepentingan nasional Australia benar-benar terlindungi. Untuk itulah penggeledahan itu dilakukan,” kata Abbott kepada media di Canberra (4/12/2013).
Namun insiden ini menuai kecaman luas. Ketua Partai Hijau, Adam Bandt menyebut ini sebagai tudingan yang sangat mengganggu dan menuntut penjelasan resmi dari Jaksa Agung.