Pages

Wednesday, 4 December 2013

Momentum Indonesia-Malaysia Galang Kerjasama Strategis ala BRICS di Asia Tenggara


Penulis : Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjClnVM3EEVz1rZ6tGWiuCjy6L8bRa39-4q90hbZZpT-6bTn5L6YueLsLGy27571_LlMhcpPwvtn1OhMQRkxBqrLI5raMOuadNSV6Q0cLPFiRzgUbFuKQGHLogGiVTqqXpjvEfT7qsuGgs/s320/1.jpg
Latma Malindo
Ada tema tersembunyi di balik bocoran Edward Snowden, yang belum banyak disorot media massa. Snowden, yang mantan kontraktor National Security Agency (NSA), menginformasikan adanya Program Intelijen Satetroom adanya peralatan untuk penyadapan radio, telekomunikasi dan lalu-lintas internet yang disimpan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat, Australia, Inggris dan Kanada. Snowden menyebut beberapa kota di ASEAN sebagai pos diplomatik keempat negara tersebut. Yaitu Jakarta, Bangkok, Hanoi, Kuala Lumpur, dan Beijing.

Ini satu fakta menarik karena Indonesia, Vietnam, Malaysia dan Thailand seharusnya dalam pandangan Amerika merupakan negara sekutu, kecuali tentunya Cina yang memang sejak masa pemerintahan George W Bush pada 2002, telah dicanangkan sebagai musuh utama Amerika bersama-sama dengan Rusia.

Bagi Amerika, yang dalam setiap operasi intelijennya selalu harus selaras dengan skema dan kebijakan strategis keamanan nasional Gedung Putih, maka dalam semua kegiatan spionasenya di berbagai negara, harus mencerminkan skala prioritas yang digariskan Washington. Dengan demikian, keputusan untuk menetapkan suatu negara sebagai obyek penyadapan, berarti telah menetapkan negara bersangkutan sebagai musuh, atau minimal musuh potensial.

Maka dari itu, fakta bahwa Malaysia termasuk salah satu negara yang ditetapkan oleh Washington dan sekutu-sekutunya sebagai obyek penyadapan, sungguh mengagetkan mengingat selama ini Malaysia merupakan negara yang dipandang bersekutu dengan Inggris dan Jepang.

Meskipun pada era pemerintahan Mahathir Mohamad, Malaysia sepertinya terkesan kurang harmonis dengan Amerika. Namun mengingat kenyataan bahwa kebijakan Mahathir Mohamad Look to the East sejatinya didasari gagasan untuk bersekutu dengan Jepang dalam menjalin kerjasama strategis bidang ekonomi-perdagangan, maka secara teknis Malaysia pada dasarnya tetap dalam pengaruh dan kendali skema kapitalisme global AS.

Hingga kini, kerjasama strategis bidang militer dan keamanan yang terjalin antara Amerika dan Jepang tetap berada dalam orbit pengaruh Amerika yang telah dirintis sejak Pasca Perang Dunia II.

Karena itu sungguh mengagetkan ketika dalam dokumen NSA bocoran Snowden yang disiarkan oleh harian Australia Sidney Morning Herald, digambarkan bahwa Australia telah mengizinkan program rahasia NSA beroperasi di beberapa kedutaan besar Australia yang ada di Indonesia, Malaysia, Vietnam, Thailand, Timor Timur dan Cina. Dengan kata lain, Australia mengizinkan fasilitas penyadapan disimpan di beberapa kedutaan besar Australia di negara-negara tersebut di atas.

Masuk akal jika Pemerintah Malaysia terkejut sehingga pada 1 November 2013, Menteri Luar Negeri Malaysia Anifah Aman meminta penjelasan kepada pihak Amerika atas dugaan kegiatan spionase negaranya di Kuala Lumpur. Meski pihak Amerika kemudia mencoba menetralisirnya dengan mengatakan bahwa semua aktivitas spionasenya di seluruh dunia semata bertujuan untuk keamanan, namun rasa-rasanya kerusakan sudah terjadi.

Pertanyaan paling fundamental adalah, mengapa Malaysia ditetapkan sebagai musuh potensial Amerika sehingga jadi sasaran penyadapan?

Dihadapkan Pilihan antara ke India atau Cina

Shankaran Nambiar, ekonom dan konsultan ekonomi Malaysia menulis, saat ini Malaysia sedang dihadapkan pada pilihan: Berkiblat ke India atau Cina. Dalam artikelnya terbitan 28 Agustus 2012 berjudul Malaysia: choosing between China and India?, menggambarkan politik luar negeri Malaysia di era Najib Tun Razak saat ini tidak punya sikap yang jelas seperti ketika di era Pemerintahan Mahathir Mohamad.

Mahathir yang waktu itu menerapkan kebijakan Look to the East, sejatinya telah menetapkan kebijakan luar negeri yang berkiblat pada Jepang melalui kerjasama strategis bidang ekonomi-perdagangan.

Sedangkan era Pemerintahan Najib sekarang, tidak jelas. Kalau diibaratkan menurut Shankaran Nambiar, ibarat menaruh beberapa telor di keranjang yang berbeda-beda (Placing a few eggs in as many baskets as there exist).

Kebijakan Look to the East ala Mahathir waktu itu, meski secara tersurat Malaysia bermusuhan dengan Amerika, namun karena kebijakan tersebut mendasari kedekatan hubungan antara Malaysia dan Jepang, maka negara Jiran tersebut tetap saja dalam orbit pengaruh AS dan Inggris.

Namun menurut analisis Shankaran Nambiar, saat terjadi persaingan tajam antara AS versus Cina di kawaasan Asia Tenggara saat ini, Malaysia di bawah pemerintahan Najib Tun Razak didorong untuk memilih berkiblat ke Cina atau ke India. Karena kedua negara Asia tersebut, saat ini telah muncul sebagai raksasa baru di kawasan Asia Tenggara.

Terbukti bahwa beberapa waktu berselang, Perdana Menteri Najib telah berkunjung ke Cina maupun India. Inilah yang kemudian menjadi dasar kritik Shankaran Nambiar bahwa orientasi politik luar negeri Malaysia saat ini jadi tidak fokus.

Sehingga kecenderungannya untuk dekat baik kepada India maupun Cina, pada perkembangannya Malaysia justru tidak akan mendapat apa-apa baik dari Cina maupun India.

Mengingat kenyataan bahwa sumber daya alam Malaysia maupun nilai strategis geopolitik Malaysia tidak besar seperti Indonesia, maka permainan dua kaki ala Malaysia tersebut menurut saya sama sekali tidak ada manfaatnya.

Bagi Malaysia nampaknya merupakan pilihan yang sulit. Jika berkiblat kepada Cina, Malaysia akan menghadapi resistensi dari Jepang yang saat ini merupakan seteru Cina di kawasan Asia Pasifik, menyusul semakin menajamnya persaingan global antara AS versus Cina di kawasan Asia Pasifik, dan Asia Tenggara pada umumnya.

Padahal di era Look to the East Policy-nya Mahathir Mohamad dulu, Malaysia sangat diuntungkan melalui kerjasama bidang otomotif dengan Jepang.

Sedangkan jika mendekat kepada India, yang menurut beberapa observasi, merupakan raksasa baru yang pertumbuhan ekonominya cukup menjanjikan sehingga dirasa cukup bisa diandalkan sebagai mitra oleh AS, Korea Selatan, dan Singapura.

Sehingga menurut beberapa observasi di dalam negeri Malaysia, meski India saat ini menghadapi berbagai kendala akibat tidak memadainya infrastruktur, birokrasi yang sangat tidak professional, maupun demokrasi yang tidak stabil, namun banyak yang menilai jika Malaysia berkiblat ke Cina dan mengabaikan India, dalam jangka panjang merugikan Malaysia.

Terlepas pilihan antara berkiblat ke India atau ke Cina merupakan dilemma bagi pemerintahan Najib Tun Razak, namun hal ini mengindikasikan adanya masalah krusia terkait penentuan haluan politik luar negeri Malaysia ke depan.

Hal ini saya kira menjelaskan mengapa kemudian Malaysia, setidaknya sejak 2009, berdasarkan bocoran Snowden, telah ditetapkan oleh Malaysia sebagai musuh potensial. Setidaknya hal ini bisa dibaca sebagai indikasi bahwa AS dan sekutu-sekutunya merasa khawatir terhadap potensi Malaysia untuk menjalin persekutuan strategis dengan Cina di bidang ekonomi, politik dan pertahanan-keamanan.

Indonesia-Malaysia Merintis Kerjasama ala BRICS di Asia Tenggara?

Kenyataan bahwa Indonesia pada KTT G-20 di London pada 2009 juga jadi sasaran penyadapan, mengindikasikan bahwa ada kekhawatiran bahwa Indonesia berpotensi untuk melakukan kontra skema menghadapi dominasi global Amerika dan negara-negara Uni Eropa minus Rusia. Dan tentunya derivasinya juga terjadi pada forum KTT APEC yang memang khusus jadi blok ekonomi 24 negara di kawasan Asia Pasifik.

Kalau Indonesia saja di KTT G-20, yang tentunya juga di KTT APEC, menjadi negara sasaran penyadapan, maka Malaysia pun mengalami hal yang sama. Baik di forum G-20 maupun APEC, Amerika dan Uni Eropa sebenarnya menaruh kekhawatiran bahwa negara-negara ASEAN seperti Indonesia dan Malaysia, kemudian berkiblat kepada Cina dan Rusia dalam sebuah aliansi strategis bidang ekonomi dan perdagangan.

AS dan Uni Eropa cukup beralasan untuk khawatir, karena sejak 2001, Cina dan Rusia telah menjalin aliansi strategis di Asia Tengah melalui payung Shanghai Cooperation Organzation (SCO). Yang pada perkembangannya kemudian menginspirasi Brazil, India, Rusia, Cina dan Afrika Selatan, untuk membentuk blok ekonomi-perdagangan lintas kawasan (BRICS).

Karenanya, cukup masuk akal jika terbongkarnya bocoran penyadapan terhadap beberapa negara sekutu AS di Asia Tenggara seperti terhadap Malaysia, Vietnam dan Thailand, merupakan momentum untuk meninjau ulang haluan politik luar negeri negara-negara yang jadi obyek sadapan AS tersebut.

Khusus untuk Malaysia, yang saat ini sedang dihadapkan pada dilema untuk memilih berkiblat pada India atau Cina, saya kira alangkah strategisnya jika Indonesia dan Malaysia menjadikan ini sebagai momentum untuk membangun kerjasama strategis baru dalam kerangka mengimbangi pengaruh AS dan Uni Eropa di ASEAN.

Tidak ada salahnya bagi Indonesia dan Malaysia, atau bahkan dengan Vietnam, untuk mempertimbangkan kemungkinan memotori terbentuknya sebuah aliansi strategis di kawasan Asia Tenggara dengan merujuk pada SKEMA SCO dan BRICS.

Merujuk pada doktrin politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif, dan dengan menginspirasi prakarsa yang dilakukan Bung Karno ketika menggalang kerjasama negara-negara Asia-Afrika melalui Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, maupun Konferensi Gerakan Non Blok di Beograd pada 1961, berkiblat pada salah satu kutub yang sedang bersaing sah-sah saja.

Sepanjang didasari pertimbangan untuk memperkuat kepentingan nasionalnya seraya menjadikan dirinya sebagai kekuatan tersendiri yang diperhitungkan oleh kedua kutub yang sedang bersaing.

The global review