Pages

Saturday, 13 September 2014

Menang Tak Dibilang Gugur Tak Dikenang


Kisah Pasukan M ALRI, Menang Tak Dibilang Gugur Tak Dikenang


image003
Ketika Ir. Soekarno dan Drs. Muhammad Hatta selesai mengumumkan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945, maka keesokan harinya di depan sidang PPKI, para pemimpin kita, menegakkan sebuah negara Republik Indonesia dengan Presiden dan Wakilnya Ir. Soekarno dan Drs. Muhammad Hatta.
Namun, bangsa-negara yang baru merdeka ini, justru menghadapi langkah ketidakadilan berlanjut dari kolonialis Belanda yang telah menjajah bangsa dan tanah air Indonesia puluhan tahun lamanya.
Pemerintah kolonial Belanda menolak mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dan juga menolak mengakui kedaulatan Negara Kesatuan RepubliK Indonesia (NKRI) yang dibentuk-tegakkan pada 18 Agustus 1945.
Singkatnya pemerintah kerajaan Belanda tidak menganggap adanya sebuah bangsa-negara Indonesia yang merdeka, dan karena itu, pemerintah kerajaan kolonialis itu tetap menganggap NKRI sebagai Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda). Bangsa kolonialis itu tetap merasa dan berkehendak mengembalikan sistem pemerintahan kolonialismenya ke tengah-tengah bangsa-negara Indonesia (NKRI) yang telah merdeka.
Untuk melaksanakan tujuan kolonialismenya, van Mook-Letnan Gubernur Jenderal, pimpinan pemerintah Belanda yang lari ke Australia –tentu saja atas perintah kerajaan Belanda di Den Haag– melaksanakan suatu perang kolonialis kepada bangsa Indonesia selama kurang lebih empat tahun, 1945-1949.
Pemaksaan perang kolonialis oleh pemerintah kerajaan Belanda dihadapi oleh bangsa-negara Indonesia dalam bentuk “Perang (Mempertahankan) Kemerdekaan” dalam periode yang sama sebagaimana yang disebut di atas.
Dengan demikian, dalam perang yang dipaksakan itu, berhadapan dua kekuatan yang menerjuni perang itu dengan tujuan yang berbeda. Di satu pihak, bangsa-negara Indonesia menerjuni perang yang dipaksakan itu dengan tujuan mempertahankan kemerdekaan bangsa-negarany. Sebaliknya, pemerintah kerajaan kolonialis Belanda mengadakan peperangan itu untuk mengembalikan sistem pemerintahan kolonialismenya ke tengah-tengah bangsa-negara Indonesia yang telah merdeka.
Dalam menerjuni perang mempertahankan kemerdekaan yang dipaksan oleh pemerintah kolonialisme Belanda itu, tentu saja pemerintah, pemimpin bangsa-negara Indonesia berusaha sekuat tenaga, sebaik-baiknya, untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan. Bagi pemimpin bangsa kita, mempertahankan kemerdekaan tentu saja merupakan “tugas dan kewajiban”, bahkan dianggap sebagai sesutau yang memiliki “makna suci”. Karena itu, dalam perang mempertahankan kemerdekaan itu, kita sering mendengar teriakan dan tulisan pamflet : “merdeka atau mati!!!!”.
Anak-anak usia muda yang masih sekolah –pelajar– meninggalkan bangku sekolahnya dan ikut dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan itu; entah karena kemauan sendiri atau ikut dengan kawan-kawannya, bersama membentuk suatu kelompok dan menjadi satu organisasi yang digunakan untuk mengatur dan melakukan perlawanan melawan pasukan kolonialis Belanda.
Dalam menerjuni perang-termasuk dalam perang mempertahankan kemerdekaan itu-tampillah “beberapa” orang yang kemudian hari setelah perang usai, dikategorikan sebagai “pahlawan”, karena selama perang kemerdekaan berlangsung memperlihatkan/menunjukkan “kelebihan” tertentu jika dibandingkan dengan orang lain pada umumnya. Orang yang dianggap mempunyai sikap khas di tengah krisis itu, diberi sebutan pahlawan. Apakah pahlawan itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) –Balai Pustaka, 1991, pahlawan disebutkan sebagai “orang yang menonjol” karena keberanian dan pengorbanan di dalam membela kebenaran; disebut juga pejuang yang gagah berani.
Sejak 1960-an, pemerintah NKRI melakukan kebijakan untuk memberikan anugerah, gelar, kepahlawanan kepada seseorang yang dianggap mempunyai sikap, tindakan yang luar biasa, yang melebihi dari warga negara lainnya, dengan tindakan luar biasa itu, orang yang bersangkutan diberi galar “pahlawan nasional”. Untuk pengusulan seseorang menjadi pahlawan nasional harus melalui mekanisme tertentu sesuai dengan prosedur yang ditentukan oleh Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah.
Laskar Sunda Kecil sedang melakukan pawai
Laskar Sunda Kecil sedang melakukan pawai

Bali-Sunda Kecil: Ancaman Kolonialis Belanda
Setelah proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia, 17 Agustus 1945, dan menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 18 Agustus 1945, maka menyebarlah berita proklamasi dan pembentukan NKRI itu ke seluruh wilayah Republik, dari Sabang sampai Merauke, dari wilayah pantai-pantai sampai ke gunung-gunung dan segeralah para pemimpin, tokoh, dan masyarakat umum di daerah-daerah memberikan dukungannya –walau tentu saja ada juga sejumlah kecil warga yang tetap memberikan dukungannya kepada pemerintah kolonial kerajaan Belanda– kepada Presiden dan pemerintah NKRI.
Sesuai dengan keadaan transportasi dan peralatan komunikasi yang sederhana dan medan wilayah NKRI pada 1945 itu, terdengar dan sampainya berita proklmasi kemerdekaan itu tidak bersamaan ke seluruh wilayah NKRI. Namun demikian, setelah mendengar berita proklamasi kemerdekaan dan terbentuknya NKRI itu, masyarakat memberi dukungan dan mempersiapkan diri untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negaranya, NKRI. Demikian pula halnya dengan keadaan di Bali-Sunda Kecil.
Perkembangan kegiatan membela dan mepertahankan (proklamasi) kemerdekaan bangsa-negara, NKRI tentu sesuai dengan situasi obyektif yang ada di Bali-Sunda Kecil pada periode 1945-1949 itu. Keadaan di Bali-Sunda Kecil pada waktu itu terbagi atas delapan kerajaan, dan pada umumnya “memihak” kepada kekuasaan kerajaan Belanda. Hanya ada satu raja yang dapat dianggap betul-betul memihak kepada Republik, yaitu Puri Satrya, Raja Badung. Namun demikian, dengan bantuan dukungan masyarakat yang pro republik, akhirnya pemerintah Jepang menyerahkan kekuasaannya kepada Gubernur Bali, Ktut Pudja pada 8 Oktober 1945. Susunan badan-badan perjuangan pun makin diperbaiki untuk melakukan kegiatan mempertahankan kemerdekaan, bendera Merah Putih mulai berkibar di gedung-gedung pemerintahan. Beberapa kapal kayu dagang milik Jepang diambil alih oleh pemuda dan kelasi berkebangsaan Jepang ditampung oleh pemerintah. BKR juga terbentuk dengan komandannya I Made Putu.
Untuk melakukan konsolidasi perlawanan mempertahankan kemerdekaan di Bali-Sunda Kecil, diadakanlah suatu rapat di Puri Raja Badung, Denpasar, yang merupakan rapat pertama yang dihadiri oleh utusan-utusan dari daerah atau kerajaan yang merupakan keluarga dari raja-raja kerajaan yang ada du Bali. Dalam rapat pertama ini diputuskan markas TKR Sunda Kecil berkedudukan di Denpasar. Rapat kedua, telah mengambil keputusan untuk memilih pimpinan dan staf TKR Sunda Kecil, yang terdiri dari:
Pimpinan TKR : I Gusti Ngurah Rai
Barisan Penggempur/Operasi : I Gusti Putu Wisnu
Kepala Staf : I Wayan Ledang
Dalam perkembangannya, pasukan Belanda pun berusaha menduduki Bali dengan cara membonceng pasukan Sekutu-Inggris yang datang untuk menggantikan posisi pasukan pendudukan Jepang.
Pasukan M-Markadi: Pasukan Bantuan Perjuangan di Bali
Sebagian anggota Pasukan-M pada tahun 1946.
Sebagian anggota Pasukan-M pada tahun 1946.

Keadaan masyarakat Bali – Sunda Kecil dan pendukung NKRI dalam menghadapi kekuatan imperialis Balenda dalam situasi kritis. Masyarakat Bali yang measih berada di bawah kekuasaan sistem pemerintahan feodalistik kerajaan-kerajaan, tidak dapat mengembangkan kekuatan perlawanannya sebagaimana yang diharapkan. Untuk mendukung perlawanan perjuangan di Bali-Sunda Kecil, diperlukan usaha untuk memberikan bantuan pasukan dari Pulau Jawa. Dalam rangka itulah kemudian suatu pasukan yang akan dikirimkan ke Bali dibentuk, yaitu pasukan yang dipimpin oleh Kapten Markadi atau sesuai dengan huruf awal nama komandannya itu, disebut “Pasukan M”. Kapten Markadi semula adalah Komandan Kompi Tentara Laut Resimen II TRI Laut Malang, yang kemudian ditugaskan untuk membentuk unit pasukan kecil yang akan dikirim ke Bali dengan tugas utama menghimpun informasi intelijen yang akan digunakan untuk melakukan pelbagai operasi yang terkait dengan pengambilalihan persenjataan Jepang; senjata-senjata rampasan Jepang itu dimaksudkan untuk memperkuat kekuatan para pejuang di Bali-Sunda Kecil.
Kapten Markadi diberi tugas intelijen – yang tentu tidak mudah – ke Bali itu tentu karena dianggap mempunyai kemampuan berdasar pengalaman yang telah dimilikinya sebelum penugasan itu. Ia sudah pernah mendapat tugas mendampingi Kolonel Prabowo dan Kolonel Moenadji untuk mengambilalih persenjataan Jepang di Bali. Sementara itu, situasi di Bali-Sunda Kecil makin kritis karena kegagalan gerakan pemuda republiken untuk merebut senjata Jepang pada peristiwa 13 Desember 1945.
Walaupun begitu, usaha-usaha para pejuang patriotik Bali-Sunda Kecil yang dipimpin oleh Letkol I Gusti Ngurah Rai tidaklah surut. Selama periode Januari-Maret 1946, Letkol I Gusti Ngurah Rai bersama Kolonel Prabowo, Kolonel Moenadji dan didampingi oleh Kapten Markadi menemui pimpinan TNI di Markas Besar TRI di Yogyakarta untuk meminta bantuan kekuatan guna menguatkan semangat dan kekuatan perjuangan yang makin kritis dalam mepertahankan kemerdekaan di Bali-Sunda Kecil.
i-gusti-ngurah-rai
Letkol I Gusti Ngurah Rai beserta teman-temannya, termasuk Kapten Markadi berhasil memperoleh dukungan dari Markas Besar TRI melalui Jenderal Urip Sumoharjo. Adanya dukungan Markas Besar TRI itu mempercepat usaha membangun kekuatan pasukan yang akan dikirim ke Bali-Sunda Kecil. Dalam kaitan itulah, Kapten Markadi – karena tetap ditugaskan untuk memimpin pasukan bantuan perjuangan ke Bali – segera berusaha membangun pasukannya, Pasukan M, agar segera siap diberangkatkan ke Bali. Ia berhasil membentuk pasukan yang berkekuatan empat seksi, yaitu tiga seksi pasukan tempur dan satu seksi pasukan khusus diberi nama CIS (Combat Intelligence Section) yang personilnya berasal dari para pelajar berbagai Sekolah Menengah Atas yang telah mendapatkan pelatihan tempur dan intelijen.
Setelah pelbagai persiapan yang dianggap cukup, dengan menggunakan kendaraan laut tradisional yang tersedia ketika itu – berupa perahu-perahu dari pelbagai jenis – mereka pun berangkat untuk menjalankan tugas dengan segala resiko yang mungkin dapat menimpa mereka. Kapten Markadi bersama pasukannya dengan menaiki sejumlah perahui berangkat ke Bali.
Tetapi, dalam perjalanan itu, saat fajar 5 April 1946, dua perahu Madura yang ditumpangi Kapten Markadi bersama pasukannya yang sudah hampir mencapai pantai Bali “kepergok” oleh dua kapan Angkatan Laut Belanda yang sedang menjalankan tugas patroli. Kedua kapal musuh, Angkatan Laut Belanda itu melihat dan mendatangi perahu para pejuang itu. Kapten Markadi berusaha melakukan tindakan “kamuflase” untuk mengelabui Angkatan Laut Belanda itu, tetapi gagal. Kapal Angkatan Laut Belanda itu pun akhirnya tahu bahwa orang-orang yang ada di kedua perahu Madura itu dan berusaha segera menangkap mereka. Dengan itu pertempuran pun tak dapat dihindarkan. Dari buku tulisan Iwan Santoso dan Wenri Wanhar, peristiwa itu digambarkan:
“Kapten Markadi yang mengerti bahasa Belanda langsung melempar tali seraya memberi perintah menembak dan langsung menceburkan diri ke laut. Pertempuran laut pertama dalam sejarah RI seketika pecah di Selat Bali. Tidak semua awak perahu itu ikut bertempur. Beberapa orang hanya tiarap karena tidak memiliki senjata. Pelaut Belanda membalas serangan Pasukan M dengan intraliur berat jenis Browning kaliber 12,7mm. Namun, karena terlalu dekat dengan posisi LCM lebih tinggi dari perahu Madura, sehingga senapan mesin berada dalam sudut mati dan tembakan prajurit Belanda hanya mengenai tiang layar karena perahu yang ditumpangi Markadi ini berada dalam posisi sangat rendah. Kapten Markadi yang tadi terjun menyelam di lambung sebelah kanan perahu, muncul di lambung sebelah kiri dan dengan dibantu anak buahnya naik lagi ke perahu
Dalam menghadapi perlawanan para pejuang NKRI yang dipergokinya itu, awak kapal patroli Belanda itu nyaris putus asa karena tembakannya tidak mengenai sasarannya. Dalam keputusasaannya itu,
“…, kemudian menabrakan LCM nya ke perahu Kapten Markadi. Mereka berharap perahu pejuang akan tenggelam. Beberapa orang yang berada di perahu tersebut jatuh ke laut. Tapi mereka kembali naik lagi ke perahu dengan bantuan personel lainnya, LCM tersebut beberapa kali menabrak perahu. Saat tabrak-tabrakan itulah Kapten markadi memerintahkan Pasukan M serempak melemparkan granat ke arah dua LCM Belanda.
Tak lama kemudian terdengar granat meledak di atas sebuah LCM Belanda dan diperkirakan menewaskan empat orang awaknya, segera LCM lainnya melarikan diri dengan keadaan terbakar pada bagian dek dan lambung kapal. Sambil mundur ke arah Gilimanuk, LCM itu terus menembak, akan tetapi tidak ada yang kena sasaran. Menurut laporan Angkatan Laut Belanda, LCM tersebut dikabarkan kembali beroperasi setelah dilakukan perbaikan.image001
Pertempuran yang berlangsung ±15 menit itu disebut-sebut sebagai pertempuran laut pertama yang dimenangi Angkatan Perang Indonesia setelah proklamasi, di awal kemerdekaan bangsa dan tegaknya negara Republik Indonesia. Dalam pertempuran itu, pasuka M kehilangan seorang warganya atas nama Sumeh Darsono dan seorang terluka tembak, Tamali.
Walaupun dalam pertempuran itu Pasukan M dapat dikatakan memperoleh “kemenangan kecil” tetapi ia dan pasukannya tidak mau menyenangkan diri. Segera ia memerintahkan kedua perahu pasukannya untuk memutar haluan dan kembali ke Banyuwangi dengan alasan menengedepankan keselamatan seluruh pasukan. Sebab setelah peristiwa pertempuran yang menghadapi sejumlah kecil pejuang NKRI yang “mengalahkannya” mungkin saja melahirkan perasaan malu besar pada pimpinan Angkatan Laut Belanda dan mungkin saja pimpinan Angkatan Perang Belanda mengirimkan pesawat tempurnyan untuk menghancurkan para pejuang yang baru saja mengalahkan mereka di Selat Bali itu.
Walaupun mendapatkan “kemenangan” dalam pertempuran laut pertama bagi republik merdeka ini, namun tujuan utamanya untuk mendarat di Bali justru “gagal”. Karena itu, dalam waktu singkat, Kapten Markadi kembali merencanakan usaha penyebrangan yang kedua kalinya. Setelah melakukan evaluasi terhadap persiapan, peralatan pada usaha penyebrangan yang pertama kalinya – antara lain mengganti perahu Madura yang lamban dengan perahu Mayang yang lebih cepat – dilakukanlah penyebrangan yang kedua. [penyebrangan yang kedua ini berlangsung dengan baik dan Kapten Markadi bersama Pasukan M-nya berhasil mendarat di Bali dan memberikan bantuan – sebagaimana tujuan utama mereka ditugaskan ke Bali – untuk memperkuat pasukan perlawanan pejuang NKRI di daerah ini.
“Selanjutnya, Pasukan M beroperasi di balik garis belakang pertahanan Belnda di Bali membantu pasukan Ciung Wanara pimpinan Letkol I Gusti Ngurah Rai. Tidak terlalu lama, Pasukan M dan para pejuang dari Jawa sudah bergerilya di pelbagai wilayah Bali termasuk di Tabanan yang berbatasan dengan Badung-Denpasar, pusat kekuasaan pemerintah Belanda.
Kapten Markadi berhasil Menjalankan Tugas Pengabdiannya
Kolonel (pur) Markadi
Kolonel (pur) Markadi

Kapten Markadi dengan Pasukan M nya berhasil menjalankan tugasnya untuk memberi bantuan kepada salah satu wilayah, bagian strategis dari wilayah NKRI yang oleh pemerintah kerajaan Belanda tidak diakui kemerdekaan dan kedaulatannya. Belanda hendak memutar jarum sejarah, bahkan dengan memaksakan perang kolonialismenya. Bangsa-negara Indonesia yang sudah merdeka dan berdaulat harus menghadapi perang kolonialis yang dipaksakan demi mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatnnya. Perang ini berlangsung selama ± 4 tahun, 1945-1949. Kapten Markadi setelah berada di Bali, ia dan pasukan M nya telah menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa-negara Indonesia demi keutuhan NKRI. Kapten Markadi dengan Pasukan M nya telah memberikan sesuatu bentuk pengabdian dengan menjalankan penugasan yang diberikan negara kepadanya. Apakah dengan itu, beliau patut diberikan penghargaan lebih oleh pemerintah berupa Pahlawan nasional?
Sebagai pribadi, saya tidak punya kapasitas untuk menjawab pertanyaan itu. Yang berhak menilai kepantasan itu ialah pemerintah melalui Tim 13 di Departemen Sosial dan selanjutnya oleh Dewan Tanda-Tanda Kehormatan untuk kemudian sampai kepada Presiden, Kepala Negara. Menurut saya, tujuan untuk memberikan penghargaan – termasuk untuk gelar Pahlawan Nasional – bukanlah terutama ditujukan kepada seorang yang berjasa dan telah meninggal, melainkan terutama ditujukan untuk memperkuat semangat dan keyakinan kita yang masih hidup. Gelar Pahlawan Nasional itu diberikan agar kita dapat memperoleh nilai-nilai positif – artinya untuk teladan – yang dimiliki oleh tokoh yang diberi penghargaan itu.

JKGR