Pages

Thursday, 11 September 2014

Sistem Penegakan Hukum dalam RUU Kelautan


Armada penyelamatan laut milik KPLP. (Foto: Firmanto Hanggoro)

Bambang Usadi—Brigadir Jenderal Polisi, Analis Kebijakan Utama Mabes Polri, Dan Satgas II Tim Korkamla Bakorkamla RI
INDONESIA merupakan Negara Kelautan terbesar di dunia yang memiliki bentang laut luas dengan ribuan pulau besar dan kecil. Jumlah pulaunya lebih dari 13.500 buah dan mencakup wilayah sepanjang 3.000 mil laut dari Sabang sampai Merauke.
Namun sayangnya, potensi lautan yang luas tersebut belum mampu dijaga secara maksimal, sementara aktivitas pemanfaatan wilayah laut Indonesia untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi potensi ekonomi laut dan jasa transportasi laut semakin meningkat, sehingga potensi terjadinya pelanggaran semakin besar.
Persoalan utama yang mendapatkan perhatian sampai saat ini dan belum terselesaikan dengan baik adalah adanya beberapa lembaga yang berwenang menangani pelanggaran hukum di wilayah laut Indonesia secara tersendiri dan terpisah, seperti TNI AL, Polair, Ditjen Imigrasi, Ditjen Bea Cukai, Kejaksaan, Ditjen Perhubungan Laut (Armada PLP/KPLP), Kehutanan dan KKP.
Konflik kewenangan tidak jarang terjadi, misalnya yang terjadi antara TNI AL dan Bea Cukai. TNI AL bertugas mengawasi hingga Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), namun wilayah tugas Bea dan Cukai tidak begitu jelas pengaturannya, sehingga tidak jarang terjadi persinggungan antara TNI AL dan Bea Cukai dalam menangani kasus pelanggaran di perairan Indonesia.
RUU Kelautan sebagai bagian dari upaya untuk memberikan kepastian hukum dalam penegakan hukum harus sekaligus mampu menyelesaikan masalah tumpang tindihnya sistem penegakan hukum di wilayah laut.
Keberadaan RUU Kelautan ketika diundangkan seharusnya tidak menimbulkan masalah baru, akan tetapi justru membantu menyederhanakan kerumitan persoalan penegakan hukum di laut, sehingga lebih mampu memberikan kepastian hukum bagi institusi yang memiliki kewenangan di wilayah laut dan memberikan kepastian hukum kepada pelaku usaha, pengguna jasa, dan transportasi laut.
Untuk memastikan RUU Kelautan mampu mengelaborasi dan mengakomodasi seluruh kepentingan nasional terhadap kedaulatan, pengamanan, dan pengembangan wilayah laut Indonesia maka harus dipastikan mekanisme sistem penegakan hukum di wilayah laut terakomodasi dan Rancangan Undang-Undang.
Selebihnya, proses pembahasan RUU Kelautan yang sudah masuk dalam agenda Prolegnas dan diperkirakan akhir September 2014 diundangkan, hendaknya proses tersebut dikawal seluruh elemen dan komponen masyarakat. Harapannya, RUU Kelautan mampu memainkan peran penting dan signifikan dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, penegakan kedaulatan dan hukum di wilayah laut, menjamin kepastian hukum, serta meminimalisasi masuknya berbagai kepentingan yang bertujuan keuntungan pribadi, kelompok, dan institusi.
Kewenangan Penegakan Hukum di Laut
Perwujudan keamanan di laut pada hakikatnya memiliki dua dimensi, yaitu penegakan kedaulatan dan penegakan hukum yang saling berkaitan satu sama lain, sesuai ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang berlaku.
Penegakan hukum di laut tidak dapat dilepaskan dari peran TNI Angkatan Laut sebagai komponen utama pertahanan negara di laut yang secara konsisten mengemban tugas untuk menjaga keutuhan wilayah Indonesia, mempertahankan stabilitas keamanan di laut, serta melindungi sumberdaya alam di laut dari berbagai bentuk gangguan keamanan dan pelanggaran hukum di wilayah perairan yurisdiksi nasional Indonesia.
Hal tersebut diamanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI pada Pasal 9 butir b, yaitu tugas Angkatan Laut adalah ‘menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi’.
TNI Angkatan Laut tidak sendirian dalam melakukan pengelolaan dan mekanisme penegakan kedaulatan serta penegakan hukum di laut. Karena, sampai saat ini tugas tersebut ditangani oleh beberapa kementerian dan lembaga negara di bawah koordinasi Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla).
Instansi-instansi tersebut memiliki kewenangan, sebagaimana diatur peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam rangka penegakan hukum dengan melakukan periksaan dan penyelidikan serta penyidikan terhadap tindak pidana tertentu di laut.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, masalah penegakan hukum di laut tidak dapat ditangani satu instansi saja, karena undang-undang memberikan mandat kepada beberapa instansi pemerintah. Instansi yang berwenang melaksanakan penegakan hukum di laut dan pantai serta pelabuhan nasional sebagai berikut.
  1. TNI Angkatan Laut, yang bertugas menjaga keamanan teritorial, kedaulatan wilayah NKRI di laut dari ancaman negara asing.
  2. Polisi Perairan (Polair), yang melakukan penyidikan terhadap kejahatan di wilayah perairan Hukum Indonesia.
  3. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (P2), yang bertugas mengawasi pelanggaran lalu lintas barang impor/ekspor (penyelundupan).
  4. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Armada PLP/KPLP) bertugas sebagai penjaga pantai dan penegakan hukum di laut
  5. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), bertugas sebagai penyidikan kekayaan laut dan perikanan.
  6. Kementerian ESDM, bertugas mengawasi pekerjaan usaha pertambangan dan pengawasan hasil pertambangan.
  7. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, bertugas mengawasi benda cagar budaya serta pengamanan terhadap keselamatan wisatawan, kelestarian, dan mutu lingkungan.
  8. Kementerian Hukum dan HAM, bertugas sebagai pengawas, penyelenggara keimigrasian dan penyidikan tindak pidana keimigrasian.
  9. Kejaksaan Agung RI bertugas untuk penuntutan mengenai tindak pidana yang terjadi di wilayah seluruh Indonesia.
  10. Kementerian Pertanian, bertugas untuk pengamanan karantina hewan, ikan, dan tumbuhan.
  11. Kementerian Negara Lingkungan hidup bertugas di bidang lingkungan hidup.
  12. Kementerian Kehutanan, bertugas melakukan penegakan hukum di bidang kehutanan meliputi penyelundupan satwa dan illegal logging.
  13. Kementerian Kesehatan, bertugas melakukan pengawasan/pemerikasaan kesehatan di kapal meliputi awak kapal, penumpang, barang, dan muatan.
Tantangan dan Kompleksitas Penegakan Hukum di Laut
Faktanya, penegakan hukum di wilayah laut sampai kini masih mengalami berbagai kendala yang belum terselesaikan. Berbagai pelanggaran hukum di wilayah laut sering kali tidak jelas penyelesaiannya. Masing-masing stakeholder keamanan dan keselamatan laut melakukan fungsi penegakan hukum yang tidak terkoordinasi dengan baik dan meninggalkan permasalahan kepastian hukum bagi para pelaku usaha dan pengguna sarana transportasi laut.
Penegakan hukum di laut yang masih bersifat sektoral karena banyak instansi yang berwenang dalam penegakan hukum di laut dengan berbagai dasar hukum yang dimilikinya dan berpotensi menimbulkan banyak permasalahan hukum, di antaranya tumpang tindih wewenang antarinstansi penegak hukum yang menimbulkan konflik antarlembaga penegak hukum.
Di samping itu, mekanisme sistem penegakan hukum yang meliputi penyidikan, penuntutan, dan peradilan juga belum terdefinisi jelas dalam peraturan perundang-undangan yang diatur tersendiri.
Terlalu banyaknya jumlah instansi yang menangani masalah keamanan dan keselamatan laut membuat bingung para pengguna jasa di wilayah laut. Baru saja usai diperiksa instansi yang satu kemudian diperiksa lagi oleh instansi lainnya, dan seterusnya. Ketika salah satu lembaga berwenang melakukan pemeriksaan, lembaga lain yang memiliki kewenangan pada teritori sama merasa enggan untuk memeriksa dan memilih melakukan pemeriksaan secara terpisah. Akibatnya, timbul kerugian dari pengguna jasa, baik materiil maupun non-materiil yang menyebabkan terjadinya peningkatan biaya transportasi laut, menjadi lebih mahal.
Permasalahan peliknya konflik kewenangan antar-penegak hukum di wilayah laut ditambah dengan permasalahan lain yang tidak kalah penting, menyangkut perizinan, bahkan sebagian besar pelanggaran yang terjadi di laut menyangkut soal perizinan, misalnya tindak pidana penangkapan ikan tanpa izin, berlayar tanpa izin, membawa hasil hutan tanpa izin, pencarian benda berharga tak berizin, menangkap dan membawa satwa yang dilindungi tanpa dokumen resmi atau tidak berizin dan kegiatan di perairan Indonesia tanpa izin.
Perizinan juga menghadapi kendalanya sendiri karena adanya pembagian kewenangan pengelolaan wilayah laut antara provinsi dan daerah kota/kabupaten, sehingga harus melakukan pengurusan perizinan di tingkat propinsi dan pengurusan perizinan di tingkat kota/kabupaten.
Sistem Penegakan Hukum di Wilayah Laut
Mengingat permasalahan tumpang tindihnya kewenangan penegakan hukum di laut dan rumitnya perizinan maka seharusnya penegakan hukum di laut dan proses perizinan dilakukan terpadu antar-berbagai instansi yang berwenang di wilayah laut dan tunduk pada undang-undang tersendiri, mengingat pelanggaran di laut merupakan tindak pidana yang memiliki kekhasannya sendiri (tindak pidana khusus) yang hanya terjadi di wilayah laut, memiliki kompleksitas dan tantangannya sendiri.
Berdasarkan ketentuan pasal 8 dan penjelasannya dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, mengisyaratkan dapat dibentuk Pengadilan Khusus sebagai diferensiasi/spesialisasi di lingkungan Peradilan Umum, yaitu Pengadilan Khusus terhadap tindak pidana di Perairan Indonesia, Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, dan Landas Kontinen.
Penting dan mendesaknya penyelenggaraan peradilan pidana laut yang dilakukan secara adhoc dengan membentuk badan khusus peradilan di bawah Badan Keamanan Laut (Bakamla), sebagaimana Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatukan seluruh kasus pelanggaran hukum pidana di wilayah laut dari seluruh institusi yang memiliki wewenang penegakan hukum dalam proses peradilan tunggal di Bakamla.
Berdasarkan pertimbangan kebutuhan kepastian hukum akan berdampak luas, karena melibatkan hubungan antarnegara. Pengadilan umum dinilai kurang kompeten menangani proses penegakan hukum di laut dan permasalahan yang khusus bersangkutan dengan keamanan dan keselamatan di laut, termasuk upaya mewujudkan penyelenggaraan peradilan yang sederhana, murah, dan cepat.
Dengan menerapkan kekhususan dalam upaya penegakan hukum di wilayah laut maka permasalahan pengaturan keterlibatan berbagai institusi keamanan dan keselamatan di laut dalam sistem penegakan hukum dapat diatur secara lebih detail dan khusus sampai pada proses peradilan.
Selanjutnya, penegakan hukum lebih dapat dioptimalkan dengan memastikan penanganan kasus pidana sederhana ditangani masing-masing institusi, dan kasus-kasus besar ditangani di bawah supervisi langsung Bakamla.
Terakhir, kepastian hukum lebih dapat dijamin. Para pelaku dan pengguna laut dan jasa transportasi laut memiliki kepastian segala sesuatu yang berkaitan dengan pidana kelautan, mendapatkan informasi sebagaimana yang diharapkan, dan mendapatkan kepastian proses hukum yang sedang dijalani.
Keberadaan Bakamla dimaksudkan untuk lebih mengefektifkan dan mengefisienkan tugas penegakan hukum di laut yang single agency multi task. Bakamla harus mampu mengelola kewenangan berbagai instansi penegakan hukum di laut untuk bekerja bersama melakukan pemeriksaan (on board).
Contoh, instansi A memeriksa dokumen kapal, instansi B muatan kapal, sesuai tugasnya. Misalnya, pemeriksaan muatan ikan di kapal oleh Departemen Kelautan dan Perikanan, pemeriksaan muatan kayu oleh Departemen Kehutanan atau pemeriksaan cukai oleh Bea Cukai dalam satu waktu, sehingga kapal yang diperiksa tidak mengalami penundaan terlalu lama.
Kebutuhan Bakamla yang single agency multi task dapat diwujudkan dengan diberlakukannya peraturan yang mengatur eksistensi Badan Keamanan Laut (Bakamla).
Sistem penegakan hukum di wilayah laut harus memperjelas peran Bakamla dalam proses penegakan hukum, di antara instansi yang berwenang di wilayah laut, mulai dari proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan yang berwawasan maritim. Sistem penegakan hukum di wilayah laut juga mengatur tentang jenis pelanggaran pidana yang terjadi dan sanksi pidananya sebagai akibat dari terjadinya pelanggaran hukum di laut.
  1. Penyelidikan dan Penyidikan
Mengingat peran Bakamla sebagai lembaga yang diharuskan mampu mewujudkan penegakan hukum secara terpadu maka peran Bakamla adalah menyelenggarakan proses pemeriksaan dan penyidikan termasuk dengan menggunakan operasi patroli secara terpadu di bawah kendali Bakamla dengan berbagai instansi yang berwenang dalam penegakan hukum di laut, sehingga mampu mencegah instansi-instansi tersebut melakukan pemeriksaan secara terpisah. Keterlibatan Bakamla juga harus memastikan supervisi terhadap instansi berwenang untuk menindaklanjuti pelanggaran hukum berskala besar sampai proses peradilan dan diputus penaltinya.
  1. Penuntutan dan Peradilan
Penuntutan dan proses peradilan dibentuk secara adhoc, yang harus diatur dalam ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang Kelautan dengan mengedepankan asas penyelenggaraan peradilan murah, cepat, dan sederhana.
  1. Asas biaya murah, berarti biaya penyelenggaraan peradilan ditekan, sehingga dapat dijangkau oleh para pencari keadilan dan menghindari pemborosan yang tidak perlu.
  2. Asas cepat menghendaki agar peradilan dilakukan secara cepat. Penyelenggaraan peradilan diharapkan dapat selesai sesegera mungkin dan dalam waktu yang singkat.
  3. Asas sederhana memiliki maksud bahwa dalam penyelenggaraan peradilan dilakukan dengan sederhana, singkat, dan tidak berbelit-belit.
Dalam penyitaan dan penyimpanan barang bukti misalnya, Bakamla perlu difasilitasi area khusus untuk mengurangi biaya bersandar kapal sebagai barang bukti, termasuk tempat penyimpanan barang bukti secara khusus dan perlunya pengaturan pengajuan barang bukti yang tidak dapat dihadirkan dalam persidangan karena sifat barang buktinya, seperti kapal, satwa, ikan dan lainnya.
Penuntutan melibatkan pihak kejaksaan dan majelis hakim melibatkan institusi kehakiman yang dipersiapkan terlebih dahulu dengan wawasan dan pengetahuan kemaritiman, termasuk penegakan hukum di wilayah laut melalui pendidikan dan pelatihan khusus jaksa dan hakim.
Dengan memastikan sistem penegakan hukum dan mekanismenya terakomodasi jelas dalam RUU Kelautan maka keteraturan dan ketertiban dalam upaya penegakan hukum di laut akan melahirkan kepastian hukum, menjamin keamanan dan keselamatan laut dalam rangka mendukung eksistensi laut Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, dan menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan kawasan laut Indonesia, termasuk pengembangan perekonomian dalam menunjang peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

jurnal maritim