Tribun Medan/Riski Cahyadi
Ilustrasi/Kapal
Republik Indonesia (KRI) Bung Tomo-357 tiba di Dermaga Pelabuhan
Belawan, Medan, Sumatera Utara, Senin (8/9/2014). KRI Bung Tomo
merupakan kapal perang milik TNI AL terbaru buatan Inggris yang mampu
bertempur menghadapi serangan atas air, bawah air, maupun udara.
BATAM - Apa saja anasir yang diperlukan untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia? Itulah salah satu yang jadi pembahasan focus group discussion Badan Koordinasi Keamanan Laut yang dimoderatori Konsultan Komunikasi Bakorkamla AM Putut Prabantoro.
Mengangkat tema 'Penjaga Poros Maritim dengan Sistem Deteksi Dini' di Batam, Rabu (10/9/2014), Putut mempertanyakan apa itu penjaga? Apa itu sistem deteksi dini? Pertanyaan ini sekaligus ingin meneguhkan bagaimana peran Bakorkamla menjadi bagian dalam doktrin poros maritim dunia.
Mengawali acara, Kalakhar Bakorkamla Laksdya Desi Albert Mamahit menyampaikan Indonesia dengan dua pertiga luas wilayahnya lautan, harus memperlakukan khusus berkaitan dengan keamanan laut dalam konteks concert of civilization.
"Untuk mewujudkan negara maritim besar dan menjadikan poros maritim dunia, Indonesia wajib mewujudkan laut aman dari ancaman pelanggaran wilayah dari pihak luar, aman dari bahaya navigasi pelayaran, aman dari eksploitasi ilehal sumber daya alam serta pencemaran lingkungan, dan aman dari tindakan pelanggaran hukum," ujarnya.
Unsur dukungan berupa armada niaga, armada kedinasan (Bakamla), armada logistik (poros laut), armada angkatan laut, serta angkatan pekerja maritim, dipercaya mampu memperkuat sektor kelautan menuju penguatan poros maritim yang terkoneksi secara terpadu.
Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia Edy Prasetyono menilai untuk menjadi poros maritim dunia, Indonesia salah satunya harus menjadi referensi dunia maritim, budaya dan ilmu pengetahuannya.
Ia menyayangkan, saat ini sangat sedikit sekali sarja HI kelautan yang dimiliki oleh Indonesia. Edy tak menyangkal jika orang-orang yang berbicara soal kedaulatan kelautan itu-itu saja. Salah satu yang ia sebutkan adalah Hasyim Djalal.
"Hal lainnya adalah pada kewajiban adanya pengembangan lebih besar. Paling tidak ada armada perang. Dari mana mau jadi poros maritim dunia tanpa ada armada perang," ungkap Edy.
Ia menggarisbawahi armada perang di laut memang tidak bisa dibangun dalam hitungan pendek, bisa lima sampai 10 tahun. Karena tidak ada negara ekonomi maju tanpa penguatan armada maritim yang tidak memiliki armada perang.
Pembangunan armada perang adalah membangun sistem sehingga butuh waktu lama. Minimal, untuk merealisasikan itu Indonesia setidaknya butuh anggaran pertahanan sampai dua persen dari produk domestik bruto.
"Memang syarat menjadi poros maritim luar biasa berat. Tapi setidaknya pemerintahan Jokowi-JK akan menjadikan landasan ke depannya. Dan posisi Bakamla (perubahan dari Bakorkamla nanti) bukan pada karakter keamanan sempit saja," terangnya.
Menurut Edy, posisi Bakorkamla yang sedang berjuang menjadi Bakamla tak cukup hanya pengamanan laut. Karena karakter laut Indonesia berbeda. "Aspek keamanan akan selalu berhimpitan dengan pertahanan. Maka Indonesia harus memperlakukan laut secara spesial," ungkapnya.
TRIBUN