Latihan takeyari pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Foto: Obor Seinendan, 1 Mei 1945.
DALAM suatu
wawancara, Jenderal Besar Abdul Haris Nasution ditanya: apakah bambu
runcing pernah benar-benar menjadi senjata ampuh perjuangan, atau itu
hanya mitos?
“Adalah setengah mitos,” jawab Nasution dalam Bisikan Nurani Seorang Jenderal,
“di minggu-minggu pertama merdeka maka rakyat dengan bambu runcing
seakan-akan pagar betis menjadi kekuatan untuk memaksa pejabat di
kantor, lingkungan, pabrik, dan lain-lain agar taat kepada RI. Tapi,
pada pertempuran real, bambu runcing itu lebih banyak jadi senjata
semangat.”
Di beberapa daerah, terdapat monumen
bambu runcing. Ini melengkapi glorifikasi sejarah nasional yang dibangun
Orde Baru bahwa merebut dan mempertahankan kemerdekaan seolah hanya
melalui perjuangan bersenjata. Padahal perjuangan politik dan diplomasi
juga memainkan peran penting.
Menurut R.H.A. Saleh dalam Mari Bung, Rebut Kembali!, bambu runcing mulai dikembangkan semasa pendudukan Jepang, yang terkenal dengan sebutan takeyari.
Senjata ini digunakan untuk menghadang pasukan payung musuh yang
diterjunkan dari udara. Tentara Jepang juga melatih laki-laki dan
perempuan cara menggunakan takeyari, yang kalau digunakan
biasanya dibarengi teriakan keras dan pekik kemarahan. “Seperti layaknya
seorang prajurit dengan senapan yang bersangkur,” tulis Saleh.
Latihan bahaya udara digiatkan terutama
ketika Jepang kian terdesak Sekutu. Rakyat dilatih perang-perangan.
Sawah-sawah dipasangi bambu runcing untuk merintangi penerjunan tentara
musuh.
Namun, bambu runcing pula yang digunakan
pejuang Republik untuk menghadapi Jepang. Tak hanya para pejuang dari
kelaskaran yang menggunakan bambu runcing. Sebagian besar anggota Badan
Keamanan Rakyat (BKR) juga menggunakan bambu runcing. Maklum, setiap
kesatuan BKR –menjadi Tentara Keamanan Rakyat pada 5 Oktober 1945– hanya
memiliki senjata api tidak lebih dari satu persen, terutama dipegang
para komandan.
“Dengan senjata bambu runcing itu, mereka mencari bedil,” tulis Slamet Muljana dalam Kesadaran Nasional Volume 2.
Ini antara lain dilakukan Hizbullah di Magelang ketika menyerbu butai Jepang yang menjadi gudang senjata. Dari sinilah mereka mendapatkan senjata.
“Menyerbu dengan bambu runcing di tangan?” tanya KH Saifuddin Zuhri, dalam otobiografinya Guruku Orang-orang dari Pesantren.
“Ya, dengan bambu runcing!” jawab Kiai
Mu’awwam. “Bambu runcing di tangan orang pemberani lebih ampuh daripada
mitraliur di tangan orang yang gemetar ketakutan. Jepang dalam keadaan
ketakutan menghadapi pemuda-pemuda yang tengah berang dengan tekad ‘mati
syahid’.”
Sewan Susanto menjelaskan, karena bambu
runcing bermanfaat dan mudah didapat, ia menjadi simbol senjata perang
kemerdekaan Indonesia.
“Senjata bambu runcing tidak untuk
melawan Belanda secara langsung melainkan merupakan senjata untuk
menjaga keamanan oleh rakyat dan untuk latihan bela diri bagi para
pemuda di daerah-daerah,” tulis Sewan Susanto dalam Perjuangan Tentara Pelajar dalam Kemerdekaan Indonesia.
|