Rahmat
Shigeru Ono (1919-2014). Berseragam tentara Jepang di Bandung, 1943.
Foto: repro buku Mereka yang Terlupakan: Memoar Rahmat Shigeru Ono,
Bekas Tentara Jepang yang Memihak Republik karya Eiichi Hayashi.
SHIGERU Ono,
bekas tentara Jepang yang memihak Indonesia, meninggal dunia pada 25
Agustus lalu akibat penyakit tifus dan pembengkakan pembuluh darah. Dia
menyusun buku taktik perang gerilya untuk militer Indonesia di masa
revolusi.
Ketika kalah melawan Sekutu, banyak tentara Jepang bingung; kembali ke negerinya atau bertahan. Tak sedikit yang melakukan harakiri
(bunuh diri untuk memulihkan kehormatan). Shigeru Ono, serdadu Tentara
Ke-16 Angkatan Darat Jepang di Jawa, pun sempat tergoda namun
mengurungkan niatnya.
Ono, yang lahir pada 26 September 1919
di Furano, Hokkaido, memutuskan bertahan di Indonesia. “Indonesia sudah
banyak membantu Jepang. Kami ingin memberikan yang tidak bisa dilakukan
oleh negara kami,” ujarnya dalam Mereka yang Terlupakan: Memoar Rahmat Shigeru Ono, Bekas Tentara Jepang yang Memihak Republik karya Eiichi Hayashi.
Ono keluar dari ketentaraan Jepang. Atas
saran Kapten Sugono, komandan polisi militer Jepang di Bandung, dia
mengganti pakaiannya dengan sarung dan peci, melumuri tubuhnya dengan
lumpur agar kulitnya terlihat lebih gelap, dan menambahkan “Rahmat” di
awal namanya: Rahmat Shigeru Ono.
Sempat melatih pemuda Indonesia, Ono
kemudian menyingkir ke Yogyakarta. Dia menjalankan tugas penting dari
Markas Besar Tentara untuk membuat buku rangkuman tentang taktik perang
dan menerjemahkannya ke bahasa Indonesia. Atas perintah Kolonel Zulkifli
Lubis, petinggi militer Indonesia yang kelak menjadi pejabat KSAD, Ono
juga menyusun buku tentang taktik khusus perang gerilya.
Selain itu, bersama eks tentara Jepang
dan pejuang Indonesia, Ono bergerilya dari satu tempat ke tempat lain.
Salah satunya, menyerang markas KNIL di Mojokerto pada Juni 1947.
Pasca Perjanjian Renville, ada
kesepakatan untuk menangkapi semua eks tentara Jepang yang masih di
Indonesia. “Pada Juli 1948, untuk menghindari penangkapan, serdadu
Jepang berkumpul di Wlingi, Blitar, Jawa Timur untuk membuat satu
pasukan. Yang tercecer dikumpulkan,” tulis Wenri Wanhar dalam Jejak Intel Jepang: Kisah Pembelotan Tomegoro Yoshizumi.
Ke-28 eks tentara Jepang yang hadir itu
lalu membentuk Pasukan Gerilya Istimewa (PGI) pada 24 Juli 1948. Arif
Tomegoro Yoshizumi jadi komandan dan Ichiki Tatsuo wakilnya. Wilayah
operasi mereka di Dampit, Malang Selatan, dan Wlingi, Blitar. Ono
bertugas di Dampit.
Pertempuran pertama PGI adalah ketika
menyerang pos tentara Belanda di Pajaran, Malang, semasa gencatan
senjata. Aksi mereka berisiko mencoreng nama Indonesia di dunia
internasional, namun PGI beralasan Belanda lebih sering melanggar
perjanjian.
Sepeninggal Tomegoro Yoshizumi dan
Ichiki Tatsuo yang gugur dalam pertempuran, PGI bergabung dalam kesatuan
militer formal dan mengubah namanya menjadi Pasukan Untung Suropati 18.
Usai pengakuan kedaulatan pada akhir
1949, Ono menetap di Batu, Malang, Jawa Timur. Dia mengisi hari-harinya
dengan bercocok tanam. Pada Juli 1950, Ono menikah dengan Darkasih dan
dikaruniai lima anak.
“Dia dijodohkan Sukardi, orang Jepang juga, kawan papi,” ujar Erlik Ono, putri kelima Ono, kepada Historia. Sukardi bernama Jepang Sugiyama.
Ono pernah bekerja sebagai salesman
lampu, pegawai perusahaan peternakan di Jakarta, dan perusahaan
eksportir rotan di Kalimantan. Setelah pensiun pada 1995, dia kembali ke
Batu dan mengisi waktu dengan bertani, menerima wartawan, serta
mengunjungi keluarga atau kenalan yang sakit.
“Sifat kekeluargaan bapak sangat besar,” kenang Erlik.
|