Setiap ada orang asing terutama Belanda, rakyat meneriakkan "siaaap." Maka, tersebutlah "zaman bersiap."
Pemakaman kembali korban "zaman bersiap" di Jawa, sekitar 1946. Foto: KITLV.
MENANGGAPI tuntutan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) agar Kejaksaan Belanda menyelidiki pembantaian Rawagede, Sjef Franken dari organisasi veteran Belanda (VOMI), menyatakan kekerasan di Rawagede terjadi pada “zaman bersiap”.
Menurut Franken, pembunuhan di Rawagede
memang tidak bisa dibenarkan. Tapi orang juga tak boleh lupa apa yang
terjadi pada “zaman bersiap”, mulai 17 Agustus 1945 hingga awal 1946.
“Setelah tahun 1945 angkatan bersenjata
Indonesia dan kelompok-kelompok gerilyawan membunuh secara massal setiap
orang Belanda yang mereka temui, apakah itu perempuan, laki-laki atau
anak-anak. Itu pun tidak bisa dibenarkan,” kata Franken kepada Radio Nederland (www.rnw.nl, 19 Januari 2012).
Apa itu “zaman bersiap”?
Menurut RHA Saleh dalam Mari Bung, Rebut Kembali!
bulan September-November 1945 adalah periode kekacauan bagi Belanda dan
Jepang. “Belanda menyebutnya sebagai periode “bersiap” atau “bersiap-tijd” yang sangat mengerikan,” tulis Saleh.
Saleh mengutip sosiolog dan kolumnis
asal Belanda JAA van Doorn yang menyebut “masa bersiap” itu bukan
sekadar penjarahan dan pembunuhan massal akibat kevakuman kekuasaan,
namun lebih dari itu. “Yakni suatu proses revolusioner, di mana terjadi
suatu pemberontakan sosial yang menggunakan kekerasan dengan senjata,
dan di mana dipertunjukkan suatu sentimen nasional secara kolektif, yang
ditujukan terhadap kembalinya penjajahan….”
Menurut Dien Majid dan Darmiati dalam Jakarta-Karawang-Bekasi dalam Gejolak Revolusi: Perjuangan Moeffreni Moemin, sejak
kedatangan Sekutu hampir setiap malam atau sepanjang hari selalu
terjadi bentrokan antara pemuda pejuang melawan serdadu Belanda. Pada
zaman itu terkenal dengan “zaman bersiap”. “Maksudnya jika tentara
Inggris atau Belanda mengganggu ke kampung-kampung atau instansi yang
telah dikuasai republik, serentak terdengar aba-aba dari para pemuda
pejuang ‘bersiap’,” tulis Dien dan Darmiati.
Istilah “bersiap” itu juga dipakai penduduk. Menurut RHA Saleh dalam Dari Jakarta kembali ke Jakarta, “de bersiap tijd”
(masa bersiap), penduduk di kampung-kampung meneriakkan “siaaap” ketika
ada orang asing yang tak dikenal masuk kampung. Kemudian secara
beramai-ramai orang asing tersebut ditangkap; kalau orang Jepang atau
Belanda biasanya dibunuh. Bahkan keluarga-keluarga Indo kadang jadi
sasaran.
Masa bersiap tak berlangsung lama
seiring berjalannya pemerintahan Indonesia dan upaya keras Belanda untuk
kembali menduduki Indonesia. Orang-orang Belanda di Indonesia pun
relatif lebih aman. Hal ini diakui seorang pendeta, Nn. GAR Bijleveld,
dalam suratnya kepada sekretaris zending SC Graaf van Randwijck di
Bandung, 28 Februari 1952, yang dimuat dalam Sumber-sumber zending tentang sejarah gereja di Jawa Barat 1858-1963 karya Th. van den End.
“Kini sudah empat tahun saya tinggal di
Indonesia. Selama masa itu, menurut pengalaman saya, kontak dengan orang
Belanda malah sangat dihargai,” tulis Bijleveld. “Tentu terlepas dari
‘masa bersiap’ yang merupakan masa tidak normal, yang tidak berlangsung
lama dan yang sudah lewat ketika saya tiba di sini, sedangkan dalam
penilaian terhadap masa itu unsur ‘takut’ bagaimanapun tidak boleh
diremehkan.Histori