Pages

Tuesday, 8 October 2013

“Indonesian People Crazy!”


13810473102127953303
Burung “Garuda”, lambang kebanggaan Indonesia

Siapa pun yang mengaku orang Indonesia, bila mendengar kalimat dalam judul tersebut di atas apalagi dilontarkan oleh orang “bule” tentu akan marah, tersinggung dan buntutnya bisa jadi si bule yang mengucapkan kalimat itu akan “dilabrak” habis-habisan, tanpa kompromi sebagai bentuk berontaknya “nasionalisme” yang melekat pada jiwanya. Akan tetapi aku sebagai “Indonesia tulen” tidak demikian menanggapinya. Bukan karena aku sudah tak peduli lagi dengan apa itu yang namanya nasionalisme, bukan pula karena aku “takut” karena yang mengucapkan kalimat itu bule bertubuh tinggi besar. Bukan itu! Aku tidak marah karena itu hanyalah sebuah “majas”, sebuah gaya bahasa, sebuah majas “interjeksi preterito”, sebuah ungkapan hati seseorang berupa penegasan tentang sesuatu dengan menyembunyikan maksud yang sebenarnya. Aku pun tidak marah karena kalimat lanjutannya justru menambah kebanggaanku terhadap Indonesia, “Wow… Indonesian people crasy! ….. wonderfuf, fantastic ….. …. amazing ……I really appreciate how Indonesian guess created it”. Nah, dengan melihat kalimat lengkapnya si bule ini, semoga anda akan “mengampuni” aku yang tidak marah dengan kata-kata si bule tadi ”Indonesian people crazy!”.

Sebaris kalimat ungkapan tersebut aku rekam dalam memori ingatanku ketika suatu sore, di hari Minggu, di akhir bulan September 2013 lalu, aku bertemu dengan seorang kenalanku, seorang Officer dari sebuah negara di kawasan Eropa yang kini sama-sama sedang menjalankan misi perdamaian PBB di Lebanon. Aku kenal dengan sang Officer beberapa bulan sebelumnya ketika mengikuti program Induction Training yang dilaksanakan Unifil (United Interim Force In Lebanon). Aku bertemu dengannya sore itu ketika aku baru keluar dari pagar markasku di Soedirman Camp, jalan kaki, dengan pakaian olah raga lengkap mau cari keringat, bermain bulutangkis di Unifil Rub Hall seperti kebiasaanku di waktu senggang atau hari libur.

Perjumpaan yang tak terduga itu akhirnya melahirkan sedikit perbincangan yang ujung-ujungnya ia menunjuk sebuah patung garuda raksasa yang saat itu kelihatan dari jalanan pintu gerbang yang sedang digarap rekanku dari Satgas Force Protection Company (FPC). Dan kalimat-kalimat itulah yang terlontar dari mulutnya sembari geleng-geleng kepada, ” “ Wow… Indonesian people crasy! ….. wonderfuf, fantastic ….. …. amazing ……I really appreciate how Indonesian guess created it”. Sebuah kalimat pujian yang membuat kepalaku sebagai warga Indonesia seakan “membesar” sehingga aku hanya menanggapinya dengan singkat, “ Thank you for your apreciation and your praise, Sir!” . Selanjutnya setelah “basa basi” mengucapkan salam perpisahan, aku pun melanjutkan perjalanan, menyusuri jalanan aspal berkelok-kelok di Green Hill, Naqoura, South Lebanon.

Kelebihan Tentara Indonesia

Obyek utama yang menjadi fokus perbincangan kami dalam perjumpaan dengan rekanku di atas adalah terkait dengan pembangunan sebuah patung Garuda raksasa di sisi tengah lapangan upacara Soedirman Camp. Pembangunan ini sebenarnya sesuatu yang menurut kami “wajar” dan mungkin sudah “biasa” bila itu dikerjakan di tanah air, di masing-masing satuan TNI yang ada di Indonesia, sebuah pembangunan monumen/ patung yang umumnya akan dijadikan “maskot” satuan atau lambang satuan. Akan tetapi ini benar-benar menjadi sesuatu yang luar biasa karena dikerjakan di negeri orang, di negeri yang rentan konflik dengan Israel yang bernama Lebanon. Uniknya lagi, pembangunan patung ini dikerjakan oleh prajurit TNI, bukan dibuat oleh profesional, seorang pematung, pemahat atau ahli pembuat monumen. Pun “penggarapannya” dengan mengorbankan waktu senggang mereka, waktu “rehat” dari kesibukan menjaga perdamaian di bumi Lebanon. Dan hasilnya, benar-benar luar biasa, sebuah patung garuda raksasa yang cukup megah dengan warna bulunya yang hitam, leher dan ekornya putih dan paruhnya kuning keemasan.

Sebuah “ketidakwajaran” dan “ketidakbiasaan” dalam pembuatan patung garuda raksasa itulah yang diyakini menimbulkan interjeksi yang bernada positif penuh dengan kekaguman dan ketakjuban atas kreatifitas tentara Indonesia. “Luar biasa, kok sempat-sempatnya membangun patung sebesar itu di daerah penugasan” demikian mungkin ungkapan kata hati mereka yang salah satunya sudah dilontarkan rekanku, sang Officer tadi. Maklum, seperti diketahui mereka itu memang umumnya benar-benar “terbelengu” pada kata-kata profesional yang melekat pada profesinya sebagai militer. Tugasnya itu yach itu, tidak ada embel-embel lain, semisal tambahannya ini dan itu juga!. Berbeda dengan tentara Indonesia yang sudah “terbiasa” multi fungsi dan multi tugas sebagai pengejawantahan tangan “yang tidak mau diam” alias gatal kalau tidak berkreasi dengan sesuatu yang unik, terasa “pusing”, meski itu harus mengorbankan waktu istirahat.

Patung garuda raksasa yang dibangun di Soedirman Camp hanyalah satu dari sekian banyak kreasi tangan-tangan terampil tentara Indonesia selama menjalankan misi penugasan di lebanon. Patung yang hampir sejenis, beberapa tahun sebelumnya dibangun pula di Markas Batalyon Mekanis Indonesia di Adchit Al Qusyair. Belum lagi dengan kreasi para prajurit Indonesia dalam menata lingkungan korimek berupa pembangunan taman-taman cantik nan asri sebagai sesuatu yang sebenarnya agak “ganjil” bila dibandingkan dengan lingkungan korimek sejumlah markas tentara dari negara lain yang umumnya “gersang” tidak tersentuh tangan apalagi dibangun taman indah dengan tanaman hiasnya.

Menurut Serma Muhidin, ketua tim pembuatan patung garuda di Soedirman Camp, ide pembuatan patung berasal dari Komandannya, “ Ide awal pembuatan patung ini datang dari Komandan kami, Komandan IndoFPC Letkol Yuri Elias Mamahi. Awalnya ia menginginkan sesuatu yang akan dijadikan maskot markas IndoFPC di Lebanon, dan pilihannya adalah pembuatan patung burung garuda yang juga menjadi lambang negara Indonesia, dan ini sesuai pula dengan julukan kita di sini sebagai pasukan Garuda “ kata sang Serma awal Oktober 2013 lalu, saat aku memiliki kesempatan berbincang-bincang dengannya di sela-sela kesibukannya memimpin “polesan” terakhir terhadap karya sensasionalnya itu.

Tanpa Pola, Bahan Seadanya, Hasil Maksimal

Sulit dibayangkan bila ingin merealisasikan sebuah “proyek besar”, akan tetapi hanya dengan pola atau gambar sederhana. Dan inilah yang dilakukan prajurit FPC dalam menggarap patung garuda raksasa. “Boro-boro” memanfaatkan keunggulan teknologi komputer seperti penggunaan Adobe Ilustrator atau 3D Max atau software yang lain dalam pembuatan pola atau gambar konsepnya, bahan dasarnya pun “seadanya”, memanfaatkan barang bekas di sekeliling Kamp.

Pada langkah awal pembuatan, sang Komandan FPC yang terkenal memiliki ide-ide kreatif ini mengungkapkan gambaran awal bentuk sang Garuda yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan pembuatan pola sederhana, mengandalkan secarik kertas dengan coretan di sana-sini yang setiap waktu “gampang” diubah-ubah, sesuai petunjuk sang Komandan atau mengikuti “feeling” sang pembuat gambar. Berikutnya direkrutlah sebanyak lima orang yang “dianggap” mampu mengeksekusi proyek tersebut. Dan pilihan jatuh kepada Serma Muhidin dibantu keempat rekannya yakni Sertu Gunawan, Sertu Ibnu, Kopda Nainggolan dan Kopda Simson S. Team ini disebut “team khusus”, bukan karena kemampuan dan pengalaman mereka dalam menangani “proyek khusus” tersebut, melainkan karena mereka sebagian justru berkualifikasi sebagai anggota pasukan khusus TNI, yang merupakan ciri khas pasukan IndoFPC Unifil.
Proses pembuatan

Setelah tim terbentuk, maka mulailah proyek tersebut dikerjakan secara maraton dari jam sembilan pagi hingga jam satu siang, istirahat makan siang, dilanjutkan lagi pukul satu hingga pukul enam sore. Dan itu dikerjakan secara bergantian menyesuaikan waktu senggang team pembuat. Maklum, mereka ini tetap mengutamakan tugas pokok sebagai anggota IndoFPC yang bertanggung jawab terhadap keamanan Unifil HQ Naqoura, jadi kalau saat “jatah” mereka harus melakukan patroli, yach mereka harus ikut patroli dulu, baik jalan kaki maupun menggunakan kendaraan tempur Anoa produksi Pindad. Usai tugas pokok terlaksana, barulah mereka lepas baju dan perlengkapan tempur, menggantinya dengan seragam “tukang batu”, bersenjata cangkul, sendok semen dan mesin las.

Untuk bahan pembuatan patung garuda dengan ukuran sayap mengembang 9 meter dan tinggi sekitar 5 meter ini juga “seadanya” dan cukup unik, “ Untuk bahan kami peroleh dari barang-barang bekas yang ada di lingkungan korimek. Besi-besi sebagian kami peroleh dari barang yang sudah tak terpakai, sedangkan untuk bagian bulu-bulunya kami potong-potong dari bekas potongan atap korimek berbahan seng yang sudah tak terpakai” tutur Serma Muhidin yang diiyakan rekan-rekan timnya.

Dengan pola “tak jelas” dan bahan seadanya tersebut, pada awalnya memang ada rasa pesimis. Apalagi ketika suatu ketika seorang “engineer” kawakan dari Unifil menyambangi proyek tersebut dan akhirnya melontarkan sebuah kritikan pedas, “Dengan pola tak jelas begini, kalian bisa membuat proyek sebesar ini? You’re crazy!” demikian cerita Muhidin, mengingat kata-kata “sang pakar” yang langsung disampaikan kepadanya saat awal pembuatan patung.

Semua kritikan itu akhirnya menjadi cambuk panas yang berharga bagi team untuk membuktikan, bahwa “Indonesia Bisa!”. Dan dengan “zero experience” tim khusus yang sebagian berasal dari pasukan khusus TNI ini akhirnya tetap melakukan eksekusi. Akan tetapi, karena targetnya sebuah “patung garuda raksasa”, hasilnya pun tidak sesuai dengan kualifikasi mereka sebagai prajurit khusus TNI. Mereka “gagal” melakukan eksekusi “sasaran” dalam hitungan menit sesuai “pakem universal” yang berlaku dalam operasi “serbuan kilat” pasukan khusus. Mereka ini justru “santai”, tidak terburu-buru oleh waktu dan akhirnya memakan waktu eksekusi yang cukup lama, empat bulan!.
Hasil yang luar biasa!

Meskipun menyita waktu dan rekor terlama dalam pelaksanaan “operasi khusus “ oleh prajurit khusus, namun bukan dari kacamata itu yang yang kita nilai, kita lihat jenis target dan hasilnya yang memang sesuatu yang seakan “imposible menjadi posible”, akan tetapi hasilnya, “Whole Mission Accomplished, perfect!” sehingga “mencenggangkan” banyak orang, salah satunya rekanku, si “bule” yang aku ceritakan pada awal tulisan ini dan juga personel PBB lainnya. Bahkan sesuai informasi yang aku terima, pimpinan tertinggi pasukan perdamaian PBB di Lebanon atau biasa dikenal dengan sebutan Head Of Mission (HOM) /Force Commander (FC) Mayor Jenderal Paolo Serra, ikut mengapresiasi karya cipta dan karsa tentara Indonesia yang luar biasa tersebut sehingga pada akhir Oktober 2013 ini, berencana meresmikan dan membubuhkan tanda tangan di dalam prasasti yang akan dibangun di depan monumen Garuda. Luar biasa!
Empat dari lima personel

Melihat prestasi rekanku dari IndoFPC tersebut, aku pun semakin bangga dan cinta dengan negeri yang bernama Indonesia, yang sudah aku tinggalkan sepuluh bulan lamanya untuk bertugas di negeri yang berjarak 8.257 km dari kampung halamanku. Namun terkadang aku malu pada diriku, “Apa yang telah aku berikan kepada Indonesia”. Aku hanya merupakan “butiran kerikil” dari ratusan ribu prajurit TNI, dan hanya “butiran debu” dari ratusan juta penduduk Indonesia. Kalau ada orang lain yang bertanya, “Apa jasaku?”, tentu aku akan menjawab sembari tersipu malu, “tidak ada!” karena aku hanya sekedar bisa mengungkapkan “kebanggaanku terhadap Indonesia” melalui goresan kecil tak berujung dari komputer bututku ini. Bravo Indonesia!!!!(Mohamad Syafrudin)