Pendukung G30S di Solo dan sekitarnya masih cukup banyak. Kadang mereka masih berani melakukan teror.
Warga juga menebangi pohon untuk merintangi perjalanan konvoi RPKAD. Tak cuma itu, para wanita yang tergabung dalam Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), organisasi underbouw PKI juga ikut menghadang konvoi RPKAD.
Peristiwa itu digambarkan seorang wartawan asing John Hughes yang dikutip Julius Pour dalam buku Gerakan 30 September, Pelaku, Pahlawan & Petualang terbitan Kompas.
"Suatu kali, konvoi yang dipimpin Sarwo Edhie dihadang sejumlah anggota Gerwani. Mereka menari-nari memadati jalan menghina RPKAD dengan menunjukkan bokongnya."
Sarwo Edhie bertindak tegas. Dia perintahkan panser maju ke depan. Sarwo memerintahkan untuk menembak peringatan.
"Tembak mereka," perintahnya.
Setelah tembakan salvo selesai, sejumlah warga memprotes tembakan tersebut. Anak buah di atas panser diam, melirik Sarwo.
Dengan nada datar Sarwo berkata. "Tembak juga mereka."
Sarwo dikenal tegas, tak pernah ragu-ragu bertindak. Hal ini membuat nyali pendukung G30S ciut. Masyarakat yang memiliki senjata kemudian menyerahkannya pada RPKAD. Tak ada lagi yang berani melecehkan pasukan komando tersebut.
Satu demi satu tokoh-tokoh PKI di Jawa Tengah berhasil dihabisi.
Di Jawa Tengah, nama Sarwo harum. Dia jadi idola masyarakat. Mantan Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa mengingat betapa gagahnya Kolonel Sarwo dengan seragam loreng darah mengalir, kaca mata hitam dan tongkat komando.
"Dulu waktu di Malang, usai penumpasan G 30 S/PKI, saya lihat Komandan RPKAD Sarwo Edhie Wibowo. Gagah sekali, lalu saya pikir apakah saya bisa seperti beliau," kata Suharso di Mako Kopassus, Cijantung, Jakarta Timur.
Sayangnya mertua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini seolah dipinggirkan Soeharto setelah selesai memberantas PKI. Sejumlah pihak menilai Soeharto khawatir dengan kepopuleran Sarwo Edhie.
Meminjam istilah Julius Pour untuk Sarwo Edhie, perannya bagaikan wayang. Disimpan di kotak setelah lakonnya selesai.
merdeka