Pages

Monday, 25 November 2013

Pendekatan Ekonomi Dalam Pertahanan


Korvet KRI Sutedi Senoputra ( 878 ) Anti-Kapal Selam Koarmatim (Photo: Dispenal)
KRI Sutedi Senoputra ( 878 ) Anti-Kapal Selam Koarmatim
Ditandai dengan program Minimum Essential Force (MEF) Tahap I yang dimulai tahun 2010, perlahan tapi pasti anggaran pertahanan Indonesia meningkat cukup pesat. Pesat jika melihat peningkatan besaran anggaran dari Rp 42 triliun di 2010 meroket menjadi Rp 83 triliun rupiah di 2014. Pesatnya peningkatan besaran anggaran ini tentu menumbuhkan harapan untuk menjadikan atau mengembalikan wibawa sebagai sebuah Negara besar membuncah. Peristiwa lepasnya Sipadan-Ligitan dan konflik Ambalat adalah salah satu bukti betapa pentingnya kekuatan pertahanan sebagai alat diplomasi. Kembali ke persoalan anggaran, meskipun secara nominal meningkat, namun jika dihitung dari Produk Domestik Bruto (PDB), besaran anggaran pertahanan Indonesia masih terhitung kecil, belum beranjak dari 1,2 persen. Jauh dari angka ideal yang menurut Direktur Jenderal Potensi Pertahanan, Kementerian Pertahanan sebesar 2-3 persen dari PDB. (http://pothan.kemhan.go.id/?p=51#more-51).

Seperti itulah kondisi faktual yang terjadi. Connie R. Bakrie, pengamat militer, mengatakan (Suara Merdeka 23/11/13) jika RI lebih memprioritaskan dana untuk sektor pendidikan dan perekonomian. Padahal aspek pertahanan dibutuhkan untuk menjaga kekayaan negara yang begitu melimpah. Memang, tidak bisa dipungkiri, kondisi perekonomian dan pendidikan di RI belum bisa dikatakan baik. Meskipun jika dihitung dari angka pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ekonomi RI adalah salah satu yang mengesankan setelah China.

Penulis sependapat dengan pernyataan Connie R. Bakrie jika faktor pertahanan layak untuk menjadi prioritas, mengingat kekayaan alam yang melimpah di negeri ini wajib untuk dijaga dari potensi ancaman dari luar. Menurut hemat penulis, sudah waktunya Pemerintah dan pihak terkait menggunakan pendekatan ekonomi untuk urusan Pertahanan. Pendekatan ekonomi seperti apa yang dimaksud? Sebenarnya pendekatan ini sudah sering dilontarkan, tapi kurang didukung. Mungkin, sekali lagi mungkin, ide atau gagasan tersebut kurang dijlentrehkan secara sederhana, namun logis, komprehensif dan mendalam.

Begini, bangsa ini adalah bangsa yang kaya, baik daratannya hingga lautannya. Kita memiliki garis pantai terpanjang di dunia, memiliki daerah-daerah penghasil barang tambang hingga gas alam. Kesemuanya adalah aset yang tak ternilai. Aset yang selalu membuat negara-negara lain meneteskan liur. Syair lagu Grup Band legendaris Koes Plus secara simbolis menyiratkan karunia Tuhan YME kepada kita. “Bukan lautan hanya kolam susu” dan “Tongkat kayu dan batu jadi tanaman” adalah penggalan lagu Koes Plus yang sarat makna dan begitu simbolis.

Kekayaan inilah yang kemudian menjadi obyek untuk dirampok dan dimaling. Kasus illegal loging, illegal fishing, illegal mining, penyelundupan barang hingga manusia adalah beberapa contoh praktek perampokan aset yang seharusnya dijaga. Ribuan triliun yang seharusnya dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat, terbuang sia-sia. Praktek-praktek perampokan kekayaan alam Indonesia itulah yang seharusnya menjadi salah satu pendekatan yang digunakan Pemerintah untuk meyakinkan semua pihak di Republik ini, untuk meningkatkan postur dan anggaran pertahanan.

Bisa saja kita membuat jargon “Militer Kuat Bangsa Sejahtera” untuk digunakan sebagai kampanye pentingnya peningkatan postur dan anggaran pertahanan. Jika militer (TNI) kuat, maka kekayaan alam yang melimpah ruah tersebut dapat dijaga dan digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pendekatan ekonomi atau kesejahteraan itulah yang didorong dan dikampanyekan. Jika kekayaan alam terjaga, tentu Bangsa ini dapat memaksimalkan penggalian potensi kekayaan yang hasilnya digunakan untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan bangsa.

Matra Prioritas
Jika isu besarnya berhasil diterima oleh seluruh komponen bangsa, pertanyaan berikutnya, apa yang kemudian harus dilakukan oleh Pemerintah. Menurut penulis, Pemerintah bersama TNI dan komponen terkait lainnya menyusun langkah-langkah yang terukur dan masuk akal. Langkah itu adalah menentukan matra mana yang menjadi prioritas. Maksudnya, siapa yang diprioritaskan terlebih dahulu untuk diperkuat posturnya. Tentu dalam konteks pendekatan ekonomi dan kesejahteraan. Kita sudah harus dapat membuat gradasi dan menghitung potensi kekayaan apa yang paling besar. Apakah potensi kekayaan laut, darat atau udaranya?

Matra laut atau TNI AL adalah angkatan yang menjadi prioritas pertama. TNI AL diperkuat untuk menangkal segala bentuk perampokan kekayaan laut dan praktek penyelundupan. Berikutnya, atau kedua adalah TNI AD. TNI AD diperkuat untuk menjaga potensi kekayaan dari praktek illegal loging, illegal mining dan juga penyelundupan. Yang terakhir, tapi bukan berarti tidak penting adalah perkuatan TNI AU. Meskipun doktrin perang modern saat ini adalah penguasaan air superiority, namun, perlu diingat, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan ekonomi dan kesejahteraan.

Selain karena alasan tersebut, hal lain yang menjadi dasar pemikiran untuk membuat skala prioritas perkuatan tiga matra dengan urutan TNI AL, TNI AD, dan TNI AU, salah satunya adalah keterbatasan anggaran. Meskipun nampak besar secara sepintas lalu, anggaran sebesar 82T rupiah di 2014 tersebut hampir setengahnya digunakan untuk belanja pegawai. Pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) mendapat porsi yang minim.

Jika upaya penyusunan skala prioritas antar matra tersebut dapat terlaksana, maka wajib hukumnya Pemerintah, TNI, dan pihak terkait lainnya membuat perhitungan, berapa besar rupiah yang diselamatkan dan menyampaikannya kepada publik secara berkala. Transparan dan akuntabel.

Hal terakhir sebagai catatan adalah, pemikiran jika penyusunan skala prioritas di tiap-tiap matra itu hanya sementara. Jika kekayaan alam dapat dijaga dan dimanfaatkan dengan baik, maka pembangunan kekuatan ketiga matra tersebut berangsur-angsur dapat berjalan dengan skala prioritas yang sama.(written by Ardo).

jakarta greater