Figur senior di pemerintahan Timor Leste mengatakan Badan
Intelejen Australia (ASIS) diam-diam merekam jajaran menteri Timor Leste
dan pejabat di Dili pada tahun 2004.
Ini bukan pertama kalinya tuduhan itu diungkapkan, tetapi Agio Pereira - orang yang diperkirakan akan menjadi perdana menteri Timor Leste berikutnya - adalah pemimpin yang paling menonjol untuk menyuarakan tuduhan itu ke publik.
Pada tahun 2006 pemerintah Howard menandatangani perjanjian Pengaturan Maritim tertentu di Laut Timor (CMATS) dengan Timor Leste.
Kedua negara sepakat untuk saling berbagi 50-50 dari sekitar $ 40 miliar pendapatan dari pengembangan gas, tetapi Timor kini berselisih atas perjanjian itu, sebagian karena spionase.
Pereira mengatakan penyadapan terjadi selama negosiasi perjanjian CMATS, dan itu telah memberikan keuntungan besar bagi Australia.
"Insider trading yang dilakukan Australia adalah kejahatan. Dan ketika Anda menyadap evaluasi tim negosiasi mengenai dampak dari negosiasi yang mereka lakukan, Anda akan memiliki keuntungan," katanya.
"Ini lebih dari tidak adil, aksi penyadapan selama negosiasi perjanjian itu benar-benar menciptakan kerugian yang luar biasa di pihak yang lain (Timor Leste) dan menurut hukum internasional, Konvensi Wina dan hukum perjanjian, anda harus bernegosiasi dengan itikad baik."
Sementara menolak memberikan bukti tuduhan, ia mengatakan Timor Leste telah memutuskan untuk membawa kasus itu ke panel arbitrase di Den Haag pada bulan Desember mendatang.
Seorang pengacara yang bekerja pada kasus ini mengatakan sidang pendahuluan akan digelar sebelum pengadilan arbitrase permanen minggu depan.
Timor Leste desak penjelasan
Dugaan ini terungkap di waktu yang sulit bagi Australia di kawasan dengan terungkapnya skandal penyadapan yang dampaknya memicu ketegangan hubungan Australia dengan Indonesia.
Dan hari ini (27/11/2013), Cina juga mengeluarkan teguran bernada keras atas pernyataan dari Menteri Luar Negeri Julie Bishop, yang mengutuk zona identifikasi pertahanan udara China di Laut China Timur yang baru dideklarasikan.
Namun Pereira membantah dirinya memanfaatkan kondisi ini untuk mempermalukan Australia.
"Ini bukan tentang uang, ini tentang kedaulatan. Ini tentang kepastian dan ini tentang masa depan generasi masa depan yang sangat penting bagi Timor Leste," katanya .
Dia mengatakan Timor Leste diam-diam mencari penjelasan dari pemerintah Gillard pada bulan Desember tahun lalu, namun pemerintah Australia menolak untuk memberikan respon yang memuaskan dan sebagainya Timor Leste pun beralih menggunakan jalur arbitrase internasional .
Mantan menteri Australia saat ini maupun di masa lalu, termasuk menteri luar negeri pada saat itu, Andrew Downer, menolak untuk mengomentari tuduhan ini.
Tapi pada bulan Mei lalu, Menteri Luar Negeri Bob Carr dan Jaksa Agung Mark Dreyfus merilis sebuah pernyataan yang mengatakan Australia tidak mengomentari masalah intelijen bahkan jika itu tidak benar.
Bertujuan untuk menegosiasikan batas maritim
Pastor Frank Brennan yang sejak lama menyatakan perjanjian CMATS tidak adil, mengatakan kesepakatan itu membungkam Timor Leste dari negosiasi batas maritim permanen selama 50 tahun.
Dan Pereira mengatakan batas-batas maritim itu menjadi pemicu utama pihaknya membawa masalah ini ke Den Haag.
"Timor Leste dengan memiliki perbatasan permanen pasti akan memberikan kesempatan yang lebih baik untuk berurusan dengan perusahaan sumber daya multinasional dan memberikan mereka investasi keamanan yang lebih baik," kata Pereira.
Pastor Brennan mengatakan ia percaya ini merupakan tuduhan yang dapat merusak Australia.
"Saya pikir sangat merusak bukan hanya spionase terhadap pihak lain dalam negosiasi perjanjian ini, tetapi sebenarnya spionase di ruang kabinet pemerintah lainnya ketika mereka membuat pengaturan," katanya.
"Sekarang hal-hal ini belum terbukti, tetapi mereka telah menduga kuat ada arbitrase di belakangnya."
radio australia
Ini bukan pertama kalinya tuduhan itu diungkapkan, tetapi Agio Pereira - orang yang diperkirakan akan menjadi perdana menteri Timor Leste berikutnya - adalah pemimpin yang paling menonjol untuk menyuarakan tuduhan itu ke publik.
Pada tahun 2006 pemerintah Howard menandatangani perjanjian Pengaturan Maritim tertentu di Laut Timor (CMATS) dengan Timor Leste.
Kedua negara sepakat untuk saling berbagi 50-50 dari sekitar $ 40 miliar pendapatan dari pengembangan gas, tetapi Timor kini berselisih atas perjanjian itu, sebagian karena spionase.
Pereira mengatakan penyadapan terjadi selama negosiasi perjanjian CMATS, dan itu telah memberikan keuntungan besar bagi Australia.
"Insider trading yang dilakukan Australia adalah kejahatan. Dan ketika Anda menyadap evaluasi tim negosiasi mengenai dampak dari negosiasi yang mereka lakukan, Anda akan memiliki keuntungan," katanya.
"Ini lebih dari tidak adil, aksi penyadapan selama negosiasi perjanjian itu benar-benar menciptakan kerugian yang luar biasa di pihak yang lain (Timor Leste) dan menurut hukum internasional, Konvensi Wina dan hukum perjanjian, anda harus bernegosiasi dengan itikad baik."
Sementara menolak memberikan bukti tuduhan, ia mengatakan Timor Leste telah memutuskan untuk membawa kasus itu ke panel arbitrase di Den Haag pada bulan Desember mendatang.
Seorang pengacara yang bekerja pada kasus ini mengatakan sidang pendahuluan akan digelar sebelum pengadilan arbitrase permanen minggu depan.
Timor Leste desak penjelasan
Dugaan ini terungkap di waktu yang sulit bagi Australia di kawasan dengan terungkapnya skandal penyadapan yang dampaknya memicu ketegangan hubungan Australia dengan Indonesia.
Dan hari ini (27/11/2013), Cina juga mengeluarkan teguran bernada keras atas pernyataan dari Menteri Luar Negeri Julie Bishop, yang mengutuk zona identifikasi pertahanan udara China di Laut China Timur yang baru dideklarasikan.
Namun Pereira membantah dirinya memanfaatkan kondisi ini untuk mempermalukan Australia.
"Ini bukan tentang uang, ini tentang kedaulatan. Ini tentang kepastian dan ini tentang masa depan generasi masa depan yang sangat penting bagi Timor Leste," katanya .
Dia mengatakan Timor Leste diam-diam mencari penjelasan dari pemerintah Gillard pada bulan Desember tahun lalu, namun pemerintah Australia menolak untuk memberikan respon yang memuaskan dan sebagainya Timor Leste pun beralih menggunakan jalur arbitrase internasional .
Mantan menteri Australia saat ini maupun di masa lalu, termasuk menteri luar negeri pada saat itu, Andrew Downer, menolak untuk mengomentari tuduhan ini.
Tapi pada bulan Mei lalu, Menteri Luar Negeri Bob Carr dan Jaksa Agung Mark Dreyfus merilis sebuah pernyataan yang mengatakan Australia tidak mengomentari masalah intelijen bahkan jika itu tidak benar.
Bertujuan untuk menegosiasikan batas maritim
Pastor Frank Brennan yang sejak lama menyatakan perjanjian CMATS tidak adil, mengatakan kesepakatan itu membungkam Timor Leste dari negosiasi batas maritim permanen selama 50 tahun.
Dan Pereira mengatakan batas-batas maritim itu menjadi pemicu utama pihaknya membawa masalah ini ke Den Haag.
"Timor Leste dengan memiliki perbatasan permanen pasti akan memberikan kesempatan yang lebih baik untuk berurusan dengan perusahaan sumber daya multinasional dan memberikan mereka investasi keamanan yang lebih baik," kata Pereira.
Pastor Brennan mengatakan ia percaya ini merupakan tuduhan yang dapat merusak Australia.
"Saya pikir sangat merusak bukan hanya spionase terhadap pihak lain dalam negosiasi perjanjian ini, tetapi sebenarnya spionase di ruang kabinet pemerintah lainnya ketika mereka membuat pengaturan," katanya.
"Sekarang hal-hal ini belum terbukti, tetapi mereka telah menduga kuat ada arbitrase di belakangnya."
radio australia