OLEH: HENDRI F. ISNAENI
Pasukan Belanda di lapangan udara Maguwo Yogyakarta dalam agresi militer Belanda kedua, Desember 1948. Foto: KITLV.
PADA 4 Januari lalu diperingati Yogyakarta Kota Republik untuk mengenang pemindahan ibukota Republik Indonesia pada 4 Januari 1946 karena keadaan Jakarta tak aman dan keselamatan para pemimpin terancam oleh tentara NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda).
Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan sekaligus perjuangan. Namun, ancaman datang ketika Belanda melanggar gencatan senjata Perjanjian Renville dan melancarkan agresi militer kedua pada 19 Desember 1948. Belanda memulai serangan dengan pesawat-pesawat pembom ke berbagai tempat terutama pangkalan militer, diikuti penerjunan 500 tentara, dan segera setelah itu pasukan Belanda memasuki kota. Selama seminggu berikutnya, pasukan Belanda berhasil merebut kota-kota penting baik di Jawa mupun Sumatra.
Menurut George McTurnan Kahin dalam Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, Belanda mengabarkan kepada dunia bahwa perlawanan Republik hanya sedikit dan penduduk menyambut mereka sebagai penyelamat. Banyak tentara Belanda juga menyebarkan kampanye ini karena yakin bahwa mereka sedang membebaskan penduduk dari penguasa yang tidak disukai.
“Slogan dari mereka yang dibawa-bawa di Yogyakarta adalah ‘Ke Jogja untuk membebaskan Sultan’,” tulis Kahin.
Karena itu, sementara para pemimpin Republik diasingkan, Sultan Hamengkubuwono IX tetap berada di Yogyakarta tetapi ruang geraknya dibatasi atau menjadi tahanan rumah.
Kendati demikian, menurut Kustiniyati Mochtar, “Pak Sultan dari Masa ke Masa,” dalam Tahta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, Sultan tetap dapat berkomunikasi dengan rakyatnya dengan cara fluistercampagne (dari mulut ke mulut), sehingga berbagai instruksi bisa sampai kepada rakyat. Misalnya, instruksi agar rakyat tetap setia dan hanya patuh kepada Ngarsa Dalem (sebutan untuk Sultan), yang dipatuhi seluruh rakyat.
Terkesan dengan wibawa Sultan, Belanda berusaha merangkul dan mengajaknya bekerja sama. Belanda meyakinkan Sultan bahwa tak ada gunanya mengandalkan nasibnya kepada suatu Republik yang masih demikian lemah. Belanda mengirim utusan, yaitu Residen EM Stok, Dr Berkhuis, penguasa militer Belanda di Yogyakarta Kolonel van Langan, Husein Djajadiningrat, dan Sultan Hamid II, untuk mendekati Sultan. Setelah usaha mereka tak membuahkan hasil, berikutnya dikirim seorang direktur bank Belanda yang mengumbar janji akan memberikan dana tak terbatas untuk Keraton Yogyakarta, saham di Perusahaan Pelayaran Belanda (KPM) dan Perusahaan Kereta Api Hindia Belanda. Jika mau bekerja sama, Belanda juga akan menjadikan Sultan sebagai penguasa seluruh Jawa dan Madura.
Utusan-utusan itu tak pernah bertemu langsung dengan Sultan, yang mewakilkan kepada saudaranya seperti Pangeran Prabuningrat, Pangeran Murdaningrat, atau Pangeran Bintoro. Mereka melaporkan kapada Sultan tentang tawaran-tawaran itu.
“Reaksi Hamengku Buwono IX hanya senyum sinis,” tulis Kustiniyati. “Pada waktu itu Hamengku Buwono IX tampaknya benar-benar sedang gandrung kemerdekaan dan keinginannya hanya satu: agar Belanda segera enyah dari bumi Indonesia.”
Menurut Kahin, dengan menolak semua tawaran itu, Belanda akhirnya terpaksa mengakui bahwa mereka telah salah menilai Sultan Hamengku Buwono IX. Dengan demikian, Belanda telah melakukan kekeliruan dalam usaha menguasai Republik Indonesia karena “salah perhitungan yang fundamental mengenai watak Sultan Hemangku Buwono IX,” tulis Kahin, “Sultan dan Belanda” termuat dalam Tahta untuk Rakyat. Para perwira dan tentara Belanda, yang mempercayai serangannya untuk membebaskan Sultan dari tiga tahun penahanan oleh para penguasa Republik, tak menyadari bahwa “sejak permulaan revolusi Sultan sudah merupakan seorang pemimpin Republik yang terkemuka,” tulis Kahin.
historia