Komisi
I DPR mengingatkan pemerintah agar tak buru-buru meneken ratifikasi
konvensi perjanjian terorisme nuklir. Indonesia punya pengalaman buruk
saat meneken ratifikasi perjanjian soal nuklir.
JAKARTA: Komisi I memberikan sinyal
kepada pemerintah agar tak buru-buru menyetujui RUU tentang ratifikasi
konvensi perjanjian terorisme nuklir (International Convention for The
Suppresion of Act of Nuclear Terrorism). Sebab, negara-negara besar
pemilik nuklir seperti AS, Cina, India dan Pakistan belum meneken
ratifikasi tersebut.
Wakil Ketua Komisi I DPR Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, DPR
perlu bersikap hati-hati memutuskan soal ratifikasi. Soalnya, Indonesia
punya pengalaman pahit. Ketika meneken ratifikasi Comprehensif Nuclear
Test-Ban Treaty (CTBT), Indonesia terkesan cuma dimanfaatkan negara
besar pemilik nuklir. Indonesia didorong-dorong meratifikasinya, tapi
negara-negara tersebut malah tidak ikutan membubuhkan tanda tangan.
"Amerika Serikat gencar melobi DPR untuk bersedia meratifikasi
perjanjian CTBT. Tapi 1,5 tahun setelah DPR menyetujui itu, sampai kini
AS tidak mau meratifikasinya," kata Agus Gumiwang saat rapat dengan perwakilan LSM dan pakar perjanjian nuklir di Kompleks Parlemen Senayan,
Rabu (5/2).
Sebaliknya, para pakar dan kalangan LSM yang diundang DPR memberikan
pandangan bahwa ratifikasi itu bermanfaat buat Indonesia. Menurut
mereka, ratifikasi itu akan membuat Indonesia dianggap patuh pada aturan
internasional.
"Ini akan membuat posisi Indonesia di dunia internasional makin
dipercaya sebagai negara yang berkomitmen menggunakan nuklir untuk
tujuan damai," kata Prof. Dr. Zaki Su'ud.
Pertengahan Februari, Komisi I bersama pemerintah akan mengambil
keputusan tingkat pertama terkait hal ini. Masukan dari pakar nuklir dan
kalangan LSM akan jadi salah satu pertimbangan dalam pengambilan
keputusan tersebut.