Pages

Wednesday, 8 January 2014

Australia halau pencari suaka ke Indonesia, harus diprotes

http://baltyra.com/wp-content/uploads/2009/10/refugee-boat.jpg 
Jakarta : Pengamat Hukum Internasional Hikmahanto Juwana mengritisi kebijakan Australia menghalau kapal para pencari suaka kembali ke perairan Indonesia.

Dalam pernyataannya di Jakarta, Selasa, ia menyebut negeri Kanguru itu tidak mempraktekan kebijakan bertetangga yang baik merujuk pada sikap AL Australia menghalau 45 imigran gelap asal Timur Tengah yang hendak ke perairan Australia kembali ke perairan Indonesia dan berujung ke Ndao, NTT baru-baru ini.

"Pemerintah Indonesia perlu memprotes keras tindakan AL Australia tersebut. Pemerintah Indonesia harus meminta agar pemerintah Australia turut bertanggung jawab dan tidak sekedar cuci tangan atas permasalahan pencari suaka," katanya.

Protes keras itu, kata dia, didasarkan pada kenyataan para pencari suaka berkeinginan untuk ke Australia, bukan Indonesia.

"Bila tindakan AL Australia terus berlanjut maka AL Indonesia dan Basarnas memperlengkapi para pencari suaka dengan berbagai peralatan agar mereka bisa sampai di Australia dengan selamat," ujarnya.

Pemerintah, tambah dia, harus tegas dalam menghadapi kebijakan Australia dalam menangani para pencari suaka.

Ia menilai tindakan tegas itu dibutuhkan agar kedaulatan RI tidak dilecehkan oleh Australia dan Indonesia tidak menjadi tempat bagi "masalah" Australia.

Tindakan AL Australia merupakan implementasi dari kebijakan PM Tony Abbott untuk menghalau para pencari suaka ke wilayah Indonesia (boat turnback policy).

"Bahkan mereka dilengkapi dengan berbagai peralatan keselamatan oleh AL Australia agar sampai di wilayah darat Indonesia secara selamat," katanya.

Indonesia harus tegas hadapi sikap Australia

Anggota Komisi I DPR Susaningtyas Nefo H Kertopati menilai pemerintah Indonesia harus tegas menghadapi sikap ekstrem Australia dalam menangani masalah imigran.

"Hal ini harus disikapi dengan tegas oleh pemerintah Indonesia, jangan ambivalen dan penuh keraguan dalam menghadapi sikap-sikap ekstrem Australia," kata Susaningtyas di Jakarta, Selasa.

Pernyataan Nuning, panggilan Susaningtyas, untuk menanggapi 45 imigran gelap asal Timur Tengah yang hendak ke perairan Australia kemudian didorong oleh AL Australia ke Ndao, Nusa Tenggara Timur, Indonesia, Senin (06/1).

Menurut Nuning sikap tegas diperlukan Indonesia atau setidaknya diadakan pertemuan antarmenteri luar negeri kedua negara untuk menyelesaikan masalah tersebut.

"Ada pertemuan bilateral antarmenteri luar negeri setidaknya untuk menyelesaikan masalah tersebut," ujarnya.

Menurut dia apabila fenomena itu tidak direspons secara tegas oleh Indonesia, akan banyak imigran gelap yang harus ditampung Indonesia.

"Apabila itu yang terjadi yang sangat dirugikan adalah Indonesia," tegasnya.

Australia Giring Perahu Pencari Suaka, Menteri Imigrasi Bungkam

Hal itu lantaran terkait alasan keamanan operasi perbatasan.

Menurut pemerintah, hal itu lantaran terkait alasan keamanan operasi perbatasan.

Laman The Australia, Selasa 7 Januari 2014, melansir pernyataan Menteri Imigrasi, Scott Morrison, yang menyatakan bahwa Negeri Kanguru tetap menghormati kedaulatan teritori Indonesia. 
"Kami akan tetap bersikap demikian, sama seperti Indonesia yang selalu menyatakan menghormati kedaulatan teritori Australia," ujar Morrison. 
Morrison berpendapat bukan kebijakan atau praktik dari Pemerintah Australia untuk melanggar kedaulatan teritori Indonesia. "Apabila ada langkah yang bertentangan dengan hal tersebut, maka itu jelas keliru," ujarnya. 
Mendengar peristiwa ini, anggota senat dari Partai Hijau, Sarah Hanson-Young, meminta penjelasan kepada Morrison soal aksi AL yang dilakukan pada Desember lalu. 
"Kami memiliki sebuah situasi, di mana sebuah perahu didorong balik oleh petugas berwenang Australia. Perahu itu telah terdampar saat ini. Orang-orang ini bisa saja tenggelam," kata Hanson-Young. 
Dia lantas mempertanyakan berapa banyak perahu yang dibiarkan seperti ini, namun tidak pernah didengar laporannya oleh anggota senat. 
Aksi mendorong balik perahu pencari suaka yang dilakukan AL Australia dibenarkan Kepala Dinas Penerangan TNI AL, Laksamana Pertama (TNI) Untung Suropati. Bahkan, Untung menyebut sudah dua kali AL Australia menggiring balik perahu pencari suaka itu.
"Menurut data yang dimiliki TNI AL, peristiwa itu terjadi pada 19 Desember 2013 dan 6 Januari 2014," ungkap Untung kepada VIVAnews melalui sambungan telepon. 
Lebih jauh, TNI AL memaparkan data pada 19 Desember 2013 terdapat 47 manusia pencari suaka dan 6 Januari 2014 ada 45 orang imgran ilegal.
Menurut Untung, mereka mengetahui para imigran ilegal ini digiring balik AL Australia ketika mereka telah terdampar di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT). 
"Selama digelar operasi perbatasan laut, kami tidak pernah mendeteksi perahu pencari suaka itu. Mungkin mereka memang sengaja mencari titik yang tidak kami ketahui," ujar Untung.
Dalam kesempatan itu, Untung menegaskan masalah manusia perahu pencari suaka ini bukan semata-mata fokus utama TNI AL. Apa pun tindak pelanggaran yang dilakukan di atas laut, seperti pengangkutan kayu ilegal atau imigran ilegal akan diproses sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia. 
Menurut sumber VIVAnews di TNI AL, saat menggiring balik perahu pencari suaka itu, AL Australia turut melengkapi mereka dengan jaket pelampung. "Setelah kami teliti, jaket pelampung itu berasal dari AL Australia. Namun, mereka tidak memberikan sesuai dengan jumlah penumpang di perahu," ungkapnya. 
Dia turut meluruskan definisi mendorong balik perahu pencari suaka. Menurutnya, apa yang dilakukan AL Australia di lapangan yaitu menggiring perahu pencari suaka yang berhasil mereka cegat untuk kembali perairan asal mereka. 
"Namun, mereka hanya menggiring sampai di perairan Pulau Rote yang menjadi perbatasan terdekat antara Australia dengan Indonesia. Apabila mereka melewati area itu, mereka dianggap telah melanggar teritori Indonesia," ujarnya. 
Kendati aksi tersebut merupakan hak otoritas Australia, namun tindakan sepihak itu dianggap melanggar kesepakatan yang tercantum di dalam Bali Process yang pernah diteken di 2002 silam.

.antara