akarta - Siapa sangka, di tengah gempuran dan penggunaan pesawat komersial dan militer canggih buatan produsen dunia, Indonesia mulai bangkit mengembangkan dan memproduksi burung besi secara mandiri.
Di bawah pengembangan dan sinergi antara lembaga pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), kemandirian industri kedirgantaraan kembali didorong.
Pasca kehancuran industri kedirgantaraan saat krisis ekonomi 1998, tenaga ahli atau insinyur kedirgantaraan Indonesia berada di bawah keterbatasan permodalan dan regenerasi.
Namun berkat dukungan LAPAN, saat ini insinyur senior yang dibantu insinyur muda, terdengar dan terlihat antusias di dalam mengembangkan berbagai purwarupa pesawat terbang.
Mau tahu pesawat masa depan karya putra-putri Indonesia? Berikut hasil penelusuran detikFinance, Senin (26/5/2014).
Pesawat Tempur IFX
Pengembangan dan produksi pesawat tempur generasi 4.5 ini membutuhkan waktu minimal 8 tahun. Dari meja pengembangan sampai proses produksi, program KFX/IFX atau pesawat tempur pesaing F-16 tersebut itu memakan waktu 8 tahun atau bisa diproduksi massal sesuai rencana pada tahun 2022.
Pesawat tempur IFX versi Indonesia akan dikembangkan dan diproduksi pada fasilitas PTDI di Bandung Jawa Barat. Pada tahun ini, akan memasuki masa Engineering and Manufacturing Development (EMD). Fase ini mundur 1 tahun dari jadwal.
Teknologi pesawat KFX/IFX akan mengadopsi pesawat generasi 4.5 atau lebih unggul dari pesawat F16. Namun biaya pengembangan jauh lebih murah.
Purwarupa IFX/KFX bisa mengangkasa mulai tahun 2020. Selanjutnya 2 tahun kemudian baru memasuki fase produksi massal. Pesawat tempur pesaing F16 tersebut akan diproduksi sekitar 50 unit.
Proses produksi dan pengiriman pesawat akan mulai berjalan sejak tahun 2022 hingga 2030. Alhasil program pengembangan pesawat tempur menghadapi pergantian pemerintahan berkali-kali.
Pesawat N219
PTDI dan LAPAN secara keroyokan mengembangkan purwarupa hingga sertifikasi pesawat penumpang baling-baling dan bermesin ganda berkapasitas 19 orang. Pesawat tersebut bernama N219.
Jika lolos sertifikasi, maka Indonesia memasuki sejarah baru. Pasalnya pesawat pendahulnya yakni N250 belum memasuki tahap sertifikasi karena programnya terkena dampak krisis ekonomi 1998 dan diminta berhenti oleh International Monetary Fund (IMF).
Padahal saat itu, pesawat N250 berhasil menarik perhatian dunia saat purwarupanya berhasil terbang perdana pada Agustus 1995 namun pesawat tersebut kini menjadi besi tua di apron atau parkir pesawat milik PTDI.
Program pengembangan mulai dilakukan tahun ini. Untuk pengembangan N219, LAPAN mengalokasikan anggaran Rp 400 miliar. Alokasi ini bersumber dari penganggaran tahun 2014 sebesar Rp 310 miliar dan tahun 2015 senilai Rp 90 miliar. Sedangkan PTDI berkontribusi membantu penyediaan tenaga ahli dan peralatan produksi N219.
Pesawat N219 akan terbang perdana pada Oktober 2015. Setelah terbang perdana, selanjutnya dilakukan pengujian prototype untuk memperoleh sertifikasi. Targetnya N219 telah memperoleh sertifikasi nasional dan mulai diproduksi massal pada akhir 2016.
Jika program ini sukses, selanjutnya dilanjutkan pengembangan pesawat baling-baling kelas 45 penumpang (N245) dan kelas 70 penumpang (N270).
Pesawat Tanpa Awak
Pesawat yang saat ini dikembangkan adalah pesawat tanpa awak atau Unmanned Aerial Vehicle (UAV). Pesawat ini diperuntukan untuk memantau kondisi perbatasan dan gunung berapi di seluruh Indonesia.
Selain LAPAN rekannya yakni Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) juga menggembangkan UAV versi militer. Pesawat tersebut diberi nama PUNA Wulung. UAV tipe ini akan diproduksi massal untuk memenuhi kebutuhan TNI. Untuk memproduksi PUNA Wulung, BPPT menggandeng BUMN lainnya yakni PT Dirgantara Indonesia (Persero) dan PT LEN (Persero).
Pesawat Penumpang R80
Pesawat tersebut dirancang mampu membawa hingga 80 orang penumpang. Saat ini pesawat R80 tengah memasuki fase preliminary design. Meski belum berwujud prototype atau purwarupa, maskapai nasional telah menyatakan minat membeli pesawat komersial karya putra-putri Indonesia ini.
detikFinance