DI sela-sela
kegaduhan dan pro-kontra calon presiden, bangsa ini tengah mengalihkan
sedikit perhatian ke Situbondo. Di ujung timur Jawa Timur inilah TNI
sedang mengonsentrasikan kekuatannya menjalani Latihan Gabungan (Latgab)
2014.
Latgab yang digelar di akhir fase Minimum Essential Force
(MEF) I sekaligus pemerintahan SBY patut menjadi perhatian. Bukan
sekadar untuk mengukur sejauh mana belanja militer mampu memenuhi
kebutuhan mengamankan NKRI, tapi juga mengukur apakah perkembangan
kekuatan alat utama sistem senjata (alutsista) sudah cukup membuat TNI
percaya diri untuk mengubah doktrin dari defensif aktif dengan titik
fokus pada skenario perang berlarut menjadi defensif-ofensif dengan konsentrasi pada containment dan penghancuran kekuatan lawan sebelum memasuki teritorial darat NKRI.
Sejauh
ini susah dipahami bahwa TNI sudah mempunyai kemampuan melakukan
tindakan ofensif. Hal ini karena persepsi tentang kekuatan tulang
punggung pertahanan Indonesia tersebut belum beranjak dari era Orde Baru
hingga era reformasi di mana TNI begitu nelangsa akibat embargo
militer, terutama dari Amerika Serikat yang merupakan pemasok utama
alutsista sejak dimulainya era pemerintahan Soeharto.
Sebaliknya,
tidak banyak yang sadar melonjaknya perekonomian, hubungan baik dengan
Rusia; bargaining position yang kuat di mata Amerika Serikat, China,dan
Inggris; kerja sama erat antara Indonesia dan Jerman, Prancis, Korea
Selatan; serta simbiosis mutualisme dengan negara sahabat seperti Brunei
Darussalam telah menjadi daya dongkrak kekuatan alutsista TNI.
Pun
konflik di Laut China Selatan serta gesekan dengan Australia dan
Malaysia telah menjadi trigger perubahan yang bisa disebut revolusi
alutsista. Dengan posisi di atas angin tersebut, tentu tidaklah sulit
bagi TNI memiliki bukan hanya kapal selam U-209 yang selama ini dikenal
sebagai Cakra-Nanggala, tapi juga kapal selam U-206, U-212, U-214, Kilo
tipe 636 dan 877 K4b, Amur, bahkan Typhoon.
Juga bukan perkara sulit bagi TNI untuk mendatangkan Slava Class (heavy cruiser), Sovremenny Class (destroyer), Talwar Class (frigate), Stereguschyy Class (corvette),
dan lainnya. Untuk matra udara, bukan mustahil TNI memiliki pesawat
tempur sekelas Su-34 Fullback, Su-35SI Super Flanker, Dassault Rafale,
dan Eurofighter Tornado, bahkan Tu-160 Blackjak. Pun tidak mengada- ada
jika TNI memiliki S-300PMU2 / SA-20 Gargoyle atau HQ- 16 SAM Systems
sebagai payung udara.
Siapa pun sulit membayangkan kekuatan
Indonesia tinggal selangkah melampaui kekuatan di era 1960-an. Apalagi
bagi mereka yang mendewakan ”penampakan”. Padahal, domain militer lebih
banyak misterinya. Tapi kalau jeli, pesannya sudah disampaikan Moeldoko
tentang Sukhoi terbang di atas air dan alutsista yang semakin padat pada
2016.
Atau lebih jauh seperti disampaikan Menhan Poernomo
Yusgiantoro bahwa militer Indonesia pada 2014 akan menjadi terkuat di
kawasan dan pernyataan SBY–yang sebenarnya didapuk TNI sebagai panglima
besar atas jasanya untuk TNI–tentang kesiapan Indonesia berperang. Tapi
pihak skeptis sekaligus pesimis, tentu harus bertanya apakah Indonesia
selamanya aman-aman saja, apakah tidak punya potential adversaries, apakah tidak pernah menjadi sasaran assymetric warfare dan proxy warfare.
Dengan
posisi geopolitik yang demikian strategis, apakah Indonesia tidak layak
menjadi primary target. Jika begitu adanya, apakah Indonesia tidak
layak membangun deterrent effect . Dengan potensi yang datang
dari delapan penjuru angin, tentu Indonesia harus membentuk komando
gabungan wilayah pertahanan (kogabwilhan) dan itu harus dilengkapi
beragam alutsista, termasuk produk dalam negeri.
Berdasarkan
pemaham atas ancaman inilah kita berharap latgab menjadi ajang deklarasi
dan uji coba perubahan doktrin militer. Tentu Indonesia
mempertimbangkan keseimbangan kawasan hingga tidak perlu vulgar. Tapi
paling tidak bisa memberi pesan: Jalmo moro, jalmo mati; dhemit moro,
dhemit mati; dewa moro, dewa keplayu; dhemit ora ndulit, setan ora
doyan.”
Sindo