detikFinance yang berkesempatan datang ke wilayah perbatasan RI dan Timor Leste melihat secara langsung kondisinya.
Banyak fakta yang ditemukan dan sepertinya jarang terdengar sampai ke ibu kota. Mulai dari infrastruktur pos penjagaan, listrik, Bahan Bakar Minyak (BBM), mata uang rupiah hingga curhatan penjaga perbatasan.
Berikut adalah rangkuman detikFinance selama perjalanan ke perbatasan seperti dikutip, Senin (25/5/2014).
Pos Penjagaan yang Jauh Dari Ideal
Namun, sayangnya sampai dengan sekarang atau 12 tahun berjalan, pos ini tidak tersedia dengan utuh. Berdasarkan pantauan detikFinance yang mengunjungi langsung wilayah perbatasan, Kamis (22/5/2014), secara nyata ketidakutuhan itu tampak jelas terlihat. Terutama dari sisi fasilitas dan sarana penunjang aktivitas.
Pos pengawasan pertama adalah di Wini. CQIS yang harusnya berada pada satu atap, malah terpisah-pisah. Pada garis perbatasan, ada 3 kantor untuk kepolisian, angkatan darat dan imigrasi yang berbagi dengan badan karantina. Sementara kantor bea cukai terletak 1 km dari garis perbatasan.
Untuk setiap orang yang ingin memasuki wilayah Timor Leste ataupun sebaliknya, harus melalui proses administrasi yang tidak efisien. Bahkan kecenderungan harus bolak balik dari setiap kantor.
Pos Perbatasan Milik Timor Leste
Terlihat lengkapnya fasilitas yang dimiliki negara tetanga. CIQS, yaitu Custom (Bea Cukai), Imigration (Imigrasi), Quarantine (Karantina) dan Security (Keamanan) berada pada satu area. Mekanisme dari sistem kejanya pun terintegrasi dengan sangat baik.
Untuk memasuki Indonesia, warga dari Timor Leste harus melewati portal dengan penjagaan dari aparat keamanan. Bila menggunakan kendaraan roda 4 ke atas, maka kendaraan harus melewati alat sensor dengan pemeriksaan yang tercetak dalam satu kertas.
Kendaraan juga akan diperiksa secara manual oleh petugas. Mulai dari sisi administrasi kendaraan hingga pengecekan barang yang terletak di dalamnya. Barang-barang tertentu akan dibawa ke karantina untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Warga kemudian memasuki ruangan imigrasi dengan melalui alat sensor (X-ray) untuk pemeriksaan dokumen pribadi. Selanjutnya mengikuti prosedur untuk pemeriksaan bea cukai.
Pegawai bea cukai di Indonesia paling banyak hanya 4 orang pada pos penjagaan. Sedangkan untuk pos di Timor Leste ada sebanyak 12 orang. Jumlah ini memang tidak sebanding jika mengingat pentingnya penjagaan wilayah perbatasan.
9 Pos Perbatasan Hanya Dijaga 19 Orang Pegawai Bea Cukai
Kondisi ini memang sangat mengkhawatirkan. Mengingat kondisi perbatasan menjadi sangat krusial bagi negara. Sebab meliputi lalu lintas warga negara dan perdagangan antar kedua negara.
"Untuk menjaga pos pengawasan yang ada 9 itu kita cuma ada 19 orang," ungkap Kabid Kepabeanan dan Cukai Kantor Wilayah DJBC Bali NTB dan NTT Iwan Riswanto saat berkunjung ke wilayah perbatasan, Atambua, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Pos tersebut terdiri dari pos pengawasan Mota'ain, Metamauk, Wini, Napan, Kalabahi, Turiskain, Builalo, Laktutus dan Haumeniana. Setiap pos rata-rata hanya diisi oleh dua orang pegawai DJBC.
"Ya rata-rata cuma dua orang per pos. Ada yang 3 di Moata'ain karena memang pos yang paling besar," ungkapnya.
Idealnya, kata Iwan pada setiap pos pengawasan harus dijaga oleh 4 sampai dengan 5 orang. Seperti untuk pengawasan di perbatasan Moata'ain dengan tingginya aktivitas perlintasan secara keseluruhan.
"Moata'ain itu harusnya lima. Kalau Wini yang kecil mungkin 4 saja cukup," sebut Iwan.
Pasar Perbatasan dan Produk Favorit Warga Timor Leste
Pasar ini disebut sebagai jalur hijau karena dibebaskan dari pembayaran bea masuk dan pajak dalam rangka impor. Meskipun ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh warga negara dalam bertransaksi.
Sasaran utama warga Timor Leste adalah kebutuhan pokok yang berupa produk olahan. Tiga barang yang paling banyak dibeli itu adalah mie instant, air mineral kemasan dan Semen.
Mie instant menjadi idola karena wilayah perbatasan Timor Leste letaknya sangat jauh dari kota Dili yang menyediakan berbagai kebutuhan. Sehingga banyak warga setempat yang lebih memilih sebrangi perbatasan untuk berbelanja.
Begitupun dengan air mineral kemasan. Kondisi air bersih layak minum masih sangat kurang. Sehingga banyak warga yang mencari ke Indonesia.
Sementara untuk semen lebih dikarenakan Timor Leste yang tengah dalam pembangunan. Seperti bandar udara (bandara) dan beberapa pembangunan gedung dan perumahan.
Listrik di Perbatasan Bisa Mati Sampai 6 Hari
Kondisi ini terjadi di Wini yang berbatas dengan Oecusse (Timor Leste). Padamnya listrik bisa terjadi setiap minggu tanpa ada pemberitahuan sebelumnya dari petugas berwenang.
"Listrik itu padamnya tidak tentu. Bisa setiap minggu. Bahkan itu bisa sekali padam langsung 6 hari, terus baru nyala lagi. Kalau tidak itu bisa 3-4 hari matinya," ungkap petugas Bea Cukai Nikodemus di Wini, NTT.
Kondisi yang sama juga terjadi pada wilayah perbatasan Mota'ain, Atapupu. Listrik padam pada wilayah ini bisa terjadi 2 sampai 3 kali sehari. Dalam seminggu, kondisi tersebut bisa terjadi sampai dengan 4 kali.
Rupiah Diacuhkan, Dolar Diagungkan
"Kalau bawa rupiah, belanja ke wilayah Timor Leste atau sekalipun ke Dili itu tidak laku," kata Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Atapupu Nyoman Ary Dharma di Atambua, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Bahkan menurutnya, tempat penukaran uang resmi (money changer) yang tersedia di Dili tidak mau menerima rupiah. Bila pun ada, itu hanya money changer yang bersifat tradisional dan harganya pun sangat jauh sekali dari kurs yang ada.
"Kalau pun ada itu cuma yang di pinggir-pinggir jalan. Kalau yang resmi-resmi itu mana mau. Itu juga jatuh sekali harganya. Bisa US$ 1 harus dibeli dengan Rp 20 ribu," terangnya.
Nyoman menilai, ini adalah akibat paradigma yang buruk oleh masyarakat setempat terhadap rupiah. Apalagi dengan kondisi nilai rupiah yang jauh sekali dibandingkan dengan dolar ataupun mata uang lainnya.
"Tragis sekali memang, mereka melihat rupiah itu sudah tidak ada artinya. Jadi kalau bawa rupiah tunai ke sana ya siap-siap saja diacuhkan," imbuhnya.
Kondisi tersebut juga mempengaruhi masyarakat Indonesia sendiri yang hidup di perbatasan. Mengingat tingginya aktivitas perdagangan di perbatasan, masyarakat juga memasok dolar.
"Salah kita juga memang. Dolar itu diagung-agungkan. Kalau lecek sedikit itu langsung harganya jatuh. Padahal mereka itu punya dolar diremuk-remuk ya nilainya sama saja," imbuhnya.
detikFinance