Jakarta, Agustus 1958, Indonesia mengirim 110 personel ke Eropa Timur, berangkat dari Surabaya dengan kapal laut Heinrich Jensen berbendera Denmark menuju Reijeka (Yugoslavia). Rombongan meneruskan perjalanan dengan kereta api ke Polandia melewati Ceko dan Hongaria secara nonstop. Sembilan bulan mereka dilatih personel Rusia agar menjadi awak kapal selam.
Usai menjalani pelatihan, seluruh personel langsung bergegas menuju Vladdivostok dengan kereta api Trans Siberia selama sembilan hari. Telah bersiap dua kapal selam kelas Whiskey menunggu untuk dilayarkan ke Indonesia melalui Samudera Pasifik. Kedua kapal selam ini dalam pengiriman ke Indonesia, tetap berbendera Rusia, dan sebagian besar ABK adalah orang Indonesia.
Pada 7 September 1959 sore, dua kapal selam panjang 76 meter bersenjata 12 torpedo merapat di dermaga Surabaya. Kedua kapal selam resmi masuk jajaran kekuatan ALRI pada 12 September 1959 dan diberi nama RI Tjakra/S-01 dan RI Nanggala/S-02 setelah satu minggu berlatih kembali di bawah arahan personel Rusia.
Sejak saat itu, Indonesia mempunyai kapal selam. Genaplah kemampuan angkatan laut, yaitu mampu beroperasi di atas air, di bawah air, di darat, dan di udara, sesuai dengan konsepsi angkatan laut masa depan.
Tidak banyak yang mengetahui keberadaan serta sejarah Divisi Kapal Selam TNI AL, seperti apa yang telah dipaparkan dalam buku Jalesveva Jayamahe karangan Dispen Mabesal.
Bukan hanya dua kapal selam yang dipesan Indonesia. Sebanyak sepuluh kapal selam baru dari kelas yang sama juga didatangkan dari Rusia. Pada gelombang berikutnya, para ABK berlatih di Vladivostok, tempat di mana terdapat pangkalan kapal selam terbesar milik Rusia di Pasifik. Gelombang kedua sebanyak empat kapal selam datang pada Desember 1961 dan diberi nama RI Nagabanda, RI Trisula, RI Nagarangsang, dan RI Tjandrasa.
Operasi Jayawijaya
Sejalan dengan kampanye Trikora, satu tahun setelah itu, tepatnya pada Desember 1962 datang lagi enam kapal selam batu yang dipersenjatai torpedo jenis SEAT-50. Torpedo fire and forget ini merupakan torpedo terbaik pada zamannya dan hanya Rusia serta Indonesia yang memiliki torpedo jenis ini.
Keenam kapal selam tersebut diberi nama RI Widjajadanu, RI Hendradjala, RI Bramasta, RI Pasopati, RI Tjundamani, dan RI Alugoro. Semua nama itu mengambil nama senjata dari dunia pewayangan.
Kedatangan 12 kapal selam tersebut langsung diterjunkan dalam rencana Operasi Jayawijaya, bagian dari Gema Trikora. Dalam operasi yang dramatis, tiga kapal selam melakukan infiltrasi di pantai utara Irian Barat, tetapi diketahui kekuatan laut Belanda. Hanya RI Tjandrasa yang dinakhodai Mayor Laut Mas Mardiono berhasil mendaratkan 15 anggota RPKAD di Tanah Merah, 30 kilometer utara pelabuhan udara Sentani pada 21 Agustus 1962.
Atas keberhasilan ini, semua ABK RI Tjandrasa mendapat Bintang Sakti berdasarkan Keppres No. 14/1963. Baru kali ini Indonesia menganugerahkan Bintang Sakti bagi seluruh anggota. Biasanya bintang tertinggi ini dianugerahkan kepada perorangan atas jasa luar biasa di luar tuntutan tugas.
Memang tugas kapal selam jauh dari publikasi dan jarang terlihat lawan maupun kawan. Selama dioperasikan Indonesia, satuan kapal selam selalu dilibatkan dalam berbagai operasi senyap, termasuk tugas negara ke Pakistan, dua minggu setelah tragedi G/30S/PKI pada 17 Oktober 1965, melibatkan dua satuan kapal selam di bawah komandan Kapten Pelaut Basuki (RI Nagarangsang) dan Kapten Pelaut Jasin Sudirdjo (KS Bramasta).
Pakistan dan India waktu itu sedang terlibat perang. Kedua kapal selam hanya diperintahkan secara lisan untuk menuju Karachi menyusul Gugus Tugas X yang telah berada di Chitagong, Pakistan Timur, yaitu dua kapal cepat serta sejumlah prajurit KKO (kini Marinir TNI AL).
Setelah kedua kapal selam merapat di Sorong untuk mengisi bahan bakar dan makanan sebelum ke Pakistan, masuk dua perwira dari Pakistan Navy yang akan bertindak sebagai liaison officer. Kedua perwira tersebut, yaitu Mayor Malik di RI Nagarangsang, sedang Kapten Senior M Sultan di RI Bramasta. Kelak Mayor Malik menjadi Commander in Chief Pakistan Navy sedang Kapten Senior M Sultan menjadi Commander in Chief Bangladesh Navy.
Masa Kejayaan Satuan Divisi Kapal Selam redup dikarenakan minimnya armada yang dimiliki saat ini. TNI AL hanya mengoperasikan dua kapal selam kelas U-209 buatan Jerman Barat, yaitu KRI Cakra/401 dan KRI Nanggala/402. Kapal selam yang datang tahun 1981 ini sudah terlalu tua untuk menjalankan tugas negara dalam mempertahankan NKRI.
Pada Rencana Strategi (Renstra I) yang dikeluarkan oleh Menteri Pertahanan RI, TNI AL telah memesan Kapal Selam Kelas Kilo Changbogo yang dibuat di Korea Selatan dengan estimasi penyelesaian pembuatan dan dapat beroperasi pada 2017-2018.
jurnal maritim