Jakarta -
Ultimatum yang diberikan Panglima TNI Moeldoko kepada Malaysia untuk
segera membongkar tiang pancang mercusuar yang dibangun tentara Malaysia
di Tanjung Datu, Kalbar, diapresiasi.
Apalagi Moeldoko tegas menyebut bakal segera membongkar pancang tersebut jika Malaysia lamban merespons.
"Dalam konteks inilah pernyataan Panglima TNI patut diapresiasi. Bila Malaysia tidak melakukan pembongkaran maka sudah sewajarnya TNI sebagai penjaga kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia yang akan melakukan pembongkaran tiang pancang Malaysia," kata Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana, di Jakarta, Minggu (10/8).
Menurutnya, TNI memiliki wewenang penuh dalam menjaga kedaulatan NKRI. TNI tak perlu ragu mengambil langkah tegas terkait pancang mercusuar yang dibangun Malaysia di kontinen Indonesia mengingat, terdapat Perjanjian Landas Kontinen antara Indonesia dan Malaysia Tahun 1969 dan Konvensi Hukum Laut 1982 di mana Malaysia dan Indonesia telah meratifikasi.
"Berdasarkan Perjanjian Landas Kontinen, pemasangan tiang pancang berada dalam koordinat hak berdaulat Indonesia.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 80 Konvensi Hukum Laut 1982 secara tegas disebutkan bahwa negara yang mempunyai hak berdaulat di landas kontinen mempunyai hak eksklusif untuk membangun dan memiliki kewenangan dan pengaturan atas instalasi yang dibangun di atasnya," paparnya.
Dengan begitu, Hikmahanto berpandangan, Malaysia harus terlebih dulu meminta izin dari pemerintah Indonesia untuk membangun mercusuar di kontinen Indonesia. Maka, sepatutnya Malaysia segera membongkar pancang tersebut karena pembangunannya dilakukan secara diam-diam.
Dirinya berpandangan, lambannya sikap Malaysia merespons perundingan yang diajukan Indonesia terkait pancang Tanjung Datu bukan tanpa sebab. Negeri Jiran sengaja mengulur-ulur waktu hingga Indonesia lengah sebelum melanjutkan pembangunan mercusuar.
"Malaysia sepertinya mencoba untuk menunda dan mengulur-ulur waktu dalam membongkar tiang pancang meski telah dilakukan perundingan. Malaysia terlihat hendak bertahan dalam membangun mercusuar dengan harapan pemerintah Indonesia akan lalai dalam perhatian dan pada gilirannya mengabaikan," ujarnya.
Dalam konteks itu, Hikmahanto menilai, ultimatum yang diucapkan Moeldoko yang bakal membongkar mercusuar tersebut jika Malaysia tetap tidak merespons perundingan menjadi penting. Sebab, perundingan yang diajukan merupakan pelaksanaan etika politik dalam rangka menjaga hubungan baik dan semangat solidaritas ASEAN.
"Oleh karenanya ultimatum Panglima TNI yang intinya bila dalam kurun waktu tertentu Malaysia tidak juga membongkar tiang pancang maka berdasarkan Pasal 80 Konvensi Hukum Laut 1982 Indonesia dapat membongkarnya," jelasnya.
Dirinya juga meyakini, Malaysia tidak bakal melayangkan protes yang membawa dampak negatif bagi Indonesia jika pancang mercusuar yang berada sekitar 1 Km dari pantai Tanjung Datu dibongkar TNI. Karena, secara hukum Indonesia memiliki hak penuh melakukan pembongkaran di landas kontinennya.
"Protes dan keberatan Malaysia terhadap tindakan Indonesia untuk membongkar tidak akan mungkin, mengingat tiang pancang tersebut berada di landas kontinen Indonesia," katanya.
Berita Satu
Apalagi Moeldoko tegas menyebut bakal segera membongkar pancang tersebut jika Malaysia lamban merespons.
"Dalam konteks inilah pernyataan Panglima TNI patut diapresiasi. Bila Malaysia tidak melakukan pembongkaran maka sudah sewajarnya TNI sebagai penjaga kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia yang akan melakukan pembongkaran tiang pancang Malaysia," kata Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana, di Jakarta, Minggu (10/8).
Menurutnya, TNI memiliki wewenang penuh dalam menjaga kedaulatan NKRI. TNI tak perlu ragu mengambil langkah tegas terkait pancang mercusuar yang dibangun Malaysia di kontinen Indonesia mengingat, terdapat Perjanjian Landas Kontinen antara Indonesia dan Malaysia Tahun 1969 dan Konvensi Hukum Laut 1982 di mana Malaysia dan Indonesia telah meratifikasi.
"Berdasarkan Perjanjian Landas Kontinen, pemasangan tiang pancang berada dalam koordinat hak berdaulat Indonesia.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 80 Konvensi Hukum Laut 1982 secara tegas disebutkan bahwa negara yang mempunyai hak berdaulat di landas kontinen mempunyai hak eksklusif untuk membangun dan memiliki kewenangan dan pengaturan atas instalasi yang dibangun di atasnya," paparnya.
Dengan begitu, Hikmahanto berpandangan, Malaysia harus terlebih dulu meminta izin dari pemerintah Indonesia untuk membangun mercusuar di kontinen Indonesia. Maka, sepatutnya Malaysia segera membongkar pancang tersebut karena pembangunannya dilakukan secara diam-diam.
Dirinya berpandangan, lambannya sikap Malaysia merespons perundingan yang diajukan Indonesia terkait pancang Tanjung Datu bukan tanpa sebab. Negeri Jiran sengaja mengulur-ulur waktu hingga Indonesia lengah sebelum melanjutkan pembangunan mercusuar.
"Malaysia sepertinya mencoba untuk menunda dan mengulur-ulur waktu dalam membongkar tiang pancang meski telah dilakukan perundingan. Malaysia terlihat hendak bertahan dalam membangun mercusuar dengan harapan pemerintah Indonesia akan lalai dalam perhatian dan pada gilirannya mengabaikan," ujarnya.
Dalam konteks itu, Hikmahanto menilai, ultimatum yang diucapkan Moeldoko yang bakal membongkar mercusuar tersebut jika Malaysia tetap tidak merespons perundingan menjadi penting. Sebab, perundingan yang diajukan merupakan pelaksanaan etika politik dalam rangka menjaga hubungan baik dan semangat solidaritas ASEAN.
"Oleh karenanya ultimatum Panglima TNI yang intinya bila dalam kurun waktu tertentu Malaysia tidak juga membongkar tiang pancang maka berdasarkan Pasal 80 Konvensi Hukum Laut 1982 Indonesia dapat membongkarnya," jelasnya.
Dirinya juga meyakini, Malaysia tidak bakal melayangkan protes yang membawa dampak negatif bagi Indonesia jika pancang mercusuar yang berada sekitar 1 Km dari pantai Tanjung Datu dibongkar TNI. Karena, secara hukum Indonesia memiliki hak penuh melakukan pembongkaran di landas kontinennya.
"Protes dan keberatan Malaysia terhadap tindakan Indonesia untuk membongkar tidak akan mungkin, mengingat tiang pancang tersebut berada di landas kontinen Indonesia," katanya.
Berita Satu