Pages

Wednesday, 13 August 2014

WikiLeaks dan Latar Belakang Australia Menyensor Skandal Suap Pencetakan Uang Polimer

wikileaksflag-795x416
Bendera WikiLeaks (Foto : AP)

Dalam beberapa hari terakhir, media di Indonesia baik elektronik maupun media arus utama ramai memberitakan berita internet yang di rilis oleh WikiLeaks tentang sensor yang dikeluarkan secara resmi  oleh pemerintah Australia lewat pengadilan tentang perintah pencegahan  untuk mengungkap kasus dugaan korupsi para tokoh dan pemimpin Asia.
Pada tanggal 19 Juni, perintah sensor Australia pada kasus ini dikeluarkan oleh Mahkamah Agung Australia di Melbourne, Victoria untuk "Mencegah kerusakan hubungan internasional Australia yang mungkin disebabkan oleh publikasi dari bahan yang dapat merusak reputasi individu tertentu yang bukan subyek  dalam proses ini."
Sensor (larangan)  luas juga secara khusus melarang publikasi  termasuk di berbagai media sosial bagi mereka yang tinggal di Australia. The Age menulis bahwa "siapa pun yang tweet link ke laporan WikiLeaks, posting di Facebook,  dengan cara apapun secara online juga bisa menghadapi tuduhan."
Menurut dokumen WikiLeaks tanggal 29 Juli 2014, ada kasus dugaan korupsi multi juta dolar yang secara eksplisit melibatkan beberapa tokoh di Indonesia, Malaysia dan Vietnam, termasuk  kepala atau mantan pejabat negara dan keuangan. Secara khusus disebutkan dalam perintah pengadilan, Perdana Menteri Malaysia Najib Abdul Razak, mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Presiden Indonesia Megawati Soekarnoputri, Presiden Vietnam Truong Tan Sang, dan Perdana Menteri Vietnam Nguyen Tan Dung.
Kasus yang dimaksud adalah dugaan korupsi proyek pencetakan uang kertas yang melibatkan dua perusahaan Australia. Dua perusahaan itu adalah Reserve Bank of Australia (RBA) dan Note Printing Australia.
"Perintah super untuk memerintahkan keamanan nasional (Australia) untuk mencegah pelaporan tentang kasus ini, oleh siapa saja. (Tujuannya) untuk mencegah kerusakan hubungan internasional Australia,” tulis WikiLeaks, Rabu (30/7/2014). "Konsep 'keamanan nasional' tidak dimaksudkan untuk melayani sebagai frase selimut untuk menutupi tuduhan korupsi serius yang melibatkan pejabat pemerintah, di Australia atau di tempat lain. Hal ini demi kepentingan publik bagi pers untuk dapat melaporkan kasus ini, yang menyangkut anak perusahaan bank sentral Australia.," demikian ungkap pendiri WikiLeaks Julian Asange.
Whistle blower yang satu ini telah tinggal di kedutaan Ekuador di London selama dua tahun terakhir untuk menghindari ekstradisi ke Swedia atas tuduhan pelecehan seksual.  Polisi London mengancam apabila dia keluar kedutaan Ekuador itu akan langsung ditangkap.
Menanggapi pemberitaan soal isu WikiLeaks yang kini telah tersebar di beberapa media baik Indonesia maupun negara-negara lain, Presiden SBY mengatakan, merasa perlu mengklarifikasi informasi yang dikeluarkan oleh WikiLeaks dan diberitakan ulang Sindonews. Dia menilai, informasi itu telah mencemarkan nama baiknya dan Megawati.
"Karena yang jelas pemberitaan WikiLeaks dan Sindonews.com itu saya nilai mencemarkan merugikan nama baik Ibu Megawati dan saya sendiri. Juga menimbulkan spekulasi kecurigaan, bisa-bisa fitnah nanti terhadap baik Ibu Mega maupun saya," kata SBY dalam jumpa pers di kediamannya, Puri Cikeas, Bogor, Kamis (31/7/2014).
SBY juga  meminta pemerintah Australia tak mengeluarkan kebijakan yang justru menimbulkan kecurigaan publik. Dikatakannya, "Jangan justru pemerintah Australia mengeluarkan kebijakan dan statement yang kemudian malah menimbulkan kecurigaan ataupun tuduhan terhadap pihak-pihak di luar Australia, contohnya disebut mantan Presiden Megawati dan saya sendiri, ataupun siapapun," tegasnya.
SBY mengaku mengikuti penegakan hukum di Australia soal dugaan korupsi proyek pencetakan uang kertas yang melibatkan dua perusahaan di sana."Atas penjelasan yang telah disampaikan ke saya itu, proses penegakan hukum yang sedang berlangsung di Australia, saya justru berharap, saya meminta kepada pemerintah dan otoritas Australia untuk membuka seterang mungkin penegakan hukum itu, jangan ditutup-tutupi," ucapnya.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara menjelaskan, Indonesia pernah mencetak uang di Australia pada 1999,  menegaskan kebenaran pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengakui Indonesia pernah mencetak uang di Australia."Fakta yang disampaikan Pak SBY ya itu fakta memang, tahun 1999 ada pencetakan di Australia," kata Mirza Adityaswara saat konperensi pers dengan SBY Kamis (31/7/2014).
Dijelaskan lebih lanjut oleh Mirza, "Masih ingat Y2K (Year 2 Kilo) enggak? Nah, itu dulu Y2K (Millenium Bug) itu orang enggak tahu apa yang akan terjadi. Jadi ya dalam rangka mengantisipasi lonjakan permintaan terhadap uang, kemudian Bank Indonesia pada saat itu melakukan pencetakan di luar negeri," katanya. Tetapi, dia enggan menjelaskan saat ditanya mengapa Australia dipilih sebagai tempat untuk mencetak uang. Menurutnya, kewenangan pencetakan uang itu ada pada BI. Hal demikian tidak perlu berkoordinasi dengan pemerintah. "Karena memang tahun itu sebelum berlaku undang-undang mata uang. Undang-undang mata uang berlaku 2011," ucapnya.
"Itu pencetakan uang memang berkoordinasi dengan pemerintah. Nah mulai 17 Agustus 2014, uang itu namanya uang NKRI, yang ada tanda tangan Menkeu (Menteri Keuangan). Tapi kalau 1999 kita bicara kewenangan full Bank Indonesia," ungkapnya.
Tjahjo Kumolo, politikus senior di partai Megawati, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) mengatakan,  "Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa Megawati bukanlah presiden Indonesia pada saat itu. Dia tidak tahu apa-apa mengenai pencetakan uang kertas," katanya dalam sebuah pernyataan.
Menanggapi kekesalan Presiden SBY dan Megawati, Pemerintah Australia, melalui kedutaan besarnya di Jakarta, Indonesia, merilis sebuah pernyataan pada hari Kamis (31/7/2014), yang menjelaskan bahwa Presiden SBY dan Megawati bukanlah subjek dari proses Securency. Press release berbunyi,  "The [Australian] Government considers that the suppression orders remain the best means for protecting the senior political figures from the risk of unwarranted innuendo. This is a long-running, complicated case which names a large number of individuals. The naming of such figures in the orders does not imply wrongdoing on their part."
It added that the Australian government "takes the breach of the suppression orders extremely seriously and we are referring it to the police."
Di Indonesia, Securency dikabarkan menawarkan dua pejabat Bank Indonesia uang pelicin sebesar $1,3 juta "komisi" masing-masing untuk memenangkan kontrak. Pada tahun 1999 The Sydney Morning Herald melaporkan bahwa Securency memenangkan kontrak senilai 50 juta untuk mencetak uang pecahan kertas Rp100. 000,-  untuk Bank Indonesia tahun itu. (Jakarta Post).
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan bahwa KPK harus mempersiapkan diri jika pemerintah Australia memberikan informasi tentang kasus dugaan  korupsi multinasional yang melibatkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan pendahulunya, Megawati Soekarnoputri.  "Dugaan korupsi jutaan dolar di dalam pencetakan uang kertas Indonesia menghancurkan hati saya. Namun, KPK hanya memiliki satu pilihan, dan itu adalah untuk mempersiapkan diri jika pemerintah Australia memutuskan untuk memberikan informasi," katanya kepada kompas.com, Jumat (1/8/2014).
Menurut Bambang, pernyataan pemerintah Australia sebagai respons atas pernyatan Presiden SBY cukup melegakan. "Namun, KPK tetap bertanya dengan hati-hati, apakah ada pihak lain yang diduga terlibat," ujarnya.
Analisis
Kasus atau skandal pencetakan uang di Australia ini sebenarnya merupakan kasus lama yang terus diproses di pengadilan Australia.  Tuduhan penyuapan pertama kali muncul pada tahun 2009, yang mendorong Polisi Federal Australia dan Malaysia Anti Corruption Comission (MACC) untuk memulai penyelidikan secara  terpisah.
Pada tahun 2010, MACC menahan tiga orang terkait dengan pencetakan ringgit  polimer Malaysia, menyusul laporan bahwa Securency telah menawarkan suap kepada pejabat Malaysia. Ketiga orang, termasuk pengusaha, didakwa telah menerima suap sebesar RM (ringgit Malaysia) 11.3 juta untuk mengamankan kontrak dari Bank Negara Malaysia dan memastikan bahwa pemerintah memilih bahan polimer.
Mantan Perdana Menteri Tun Abdullah Ahmad Badawi tahun 2011 membantah tuduhan bahwa kedua perusahaan Australia tersebut mencoba menyuapnya untuk kontrak pencetakan mata uang Malaysia senilai RM100 juta selama masa jabatannya. Upaya ini diyakini terkait dengan kesepakatan untuk memasok uang jenis polimer  yang mulai beredar pada  30 Juli 2014.
FCPA Profesor Australia menyebutkan, Menurut surat kabar The Age, dari sejak akhir tahun 1990-an, Securency International Pty Ltd (Securency) dan Note Printing Australia Pty Ltd (NPA), dua anak perusahaan Bank Sentral Australia, Reserve Bank of Australia (RBA) berusaha meyakinkan berbagai pemerintah asing untuk menawarkan kontrak pencetakan uang kertas  plastik polimer unik yang ditawarkan oleh Securency. Sayangnya, upaya itu tampaknya telah dikaitkan dengan tuduhan substantif suap dan pembayaran ilegal dibuat untuk pejabat publik untuk mendapatkan kontrak tersebut.
Pada tanggal 1 Juli 2011, jaksa Australia, Direktur Penuntut Umum Commonwealth (CDPP) mulai pertama  penuntutan kasus  penyuapan luar negeri Australia terhadap Securency, NPA dan berbagai eksekutifnya Seperti diberitakan di media Australia, Securency dan NPA  selama bertahun-tahun, terlibat dalam penyuapan luas dan melakukan  korupsi pejabat publik asing di berbagai negara Asia dan lainnya untuk mengamankan kontrak pencetakan uang kertas baik secara langsung atau melalui perantara yang menerima komisi besar pembayaran dengan memberi suap kepada pejabat publik asing. Tuduhan suap  terhadap kegiatan pemasaran  di Indonesia, Malaysia, Vietnam, Nepal dan negara-negara lain yang tidak disebutkan.
Pada tanggal 1 Juli, Kepolisian Federal Australia memulai penuntutan terhadap Securency International ("Securency"), Note Printing Australia Ltd ("NPA") dan sejumlah eksekutif senior dari perusahaan-perusahaan untuk pelanggaran pidana mengenai suap dari berbagai pejabat publik asing sidang pengadilan Victoria pada 13 Agustus 2012 dan dijadwalkan berjalan selama antara 2 sampai 3 bulan.
Pada tanggal 20 Agustus 2012, David Ellery mantan CFO Securency dijatuhi hukuman oleh Mahkamah Agung Victoria 6 bulan penjara, seluruhnya ditangguhkan selama 2 tahun anak perusahaan bank sentral Australia, Reserve Bank of Australia, terlibat dalam perilaku yang berpotensi ilegal untuk mengamankan kontrak pencetakan uang kertas polimer menguntungkan.
Jadi apa yang telah terjadi selama beberapa tahun terakhir? Singkatnya, kesadaran yang jauh lebih terfokus risiko bahwa korupsi asing membawa ke perusahaan dan kewajiban individu dan dorongan legislatif untuk meningkatkan kekuatan investigasi dan hukuman untuk mencegah perilaku bandel.
Komandan Polisi Federal, Chris McDevitt dikutip oleh The Age yang mengatakan bahwa kasus ini harus mengirim "pesan yang sangat jelas kepada perusahaan Australia" tentang menghindari penyuapan luar negeri. Securency dan NPA masing-masing telah didakwa dengan pelanggaran pidana.
Para pejabat yang dituntut adalah, CEO (Myles Curtis), CFO (Mitchell Anderson) dan Eksekutif Penjualan (Ron Marchant) dari Securency bersama dengan CEO (John Leckenby), CFO (Peter Hutchinson) dan Eksekutif Penjualan (Barry Brady) dari NPA dan masing-masing telah didakwa dengan pelanggaran penyuapan . Penyuapanan diduga terjadi antara tahun 1999 dan 2005 dan terlibat pembayaran sebesar hampir $ 10 juta. Pelaksanaan kegiatan tersebut terjadi  di Malaysia, Indonesia dan Vietnam mengenai pembayaran uang kepada konsultan atau orang lain dicirikan sebagai pejabat publik dalam keadaan yang mengakibatkan pemberian kontrak kepada Securency dan NPA untuk mencetak uang kertas polimer mata uang asing. (FCPA).
Secara khusus, di Malaysia, Securency dan NPA mendapatkan kontrak untuk mencetak uang kertas polimer 5 ringgit melalui jasa broker senjata dan Organisasi Nasional Melayu Amerika  dan mantan asisten gubernur bank sentral Melayu yang didakwa tersangkut penyuapan oleh otoritas Malaysia . Di Indonesia, Securency dan NPA mendapatkan kontrak untuk mencetak 500 juta lembar rupiah uang kertas polimer Rp100.000 melalui jasa konsultan, Radius Christanto yang menerima hampir US $ 4,9 juta sebagai komisi. (FCPA).
Di Vietnam, Securency mendapatkan kontrak untuk mencetak semua mata uang Vietnam pada uang kertas polimer, melalui jasa seorang agen lokal Anh Ngoc Luong (dikatakan seorang kolonel, agen mata-mata  Vietnam) dan perusahaannya CFTD (direktur keluarga Partai Komunis). Di Nigeria, penyelidikan sedang berlangsung mengenai hingga $ 20 juta, yang mungkin telah dibayarkan kepada perantara untuk mengamankan kontrak. Penelitian lebih lanjut sedang berlangsung di Eropa, Inggris dan di Amerika Serikat yang melibatkan perilaku yang diidentifikasi dan berpotensi, melakukan di negara lain (Robert Wyld, Johnson & Winter Slattery. Wyld, FCPA Profesor, 4 Agustus 2011).
Menurut artikel di Sydney Morning Herald, "Cadangan Bank terguncang setelah Polisi Federal dan badan-badan penegak hukum di luar negeri diungkap, terkoordinasi mengungkap bukti korupsi dan suap yang melibatkan perusahaan uang kertas Securency." Suap diduga telah terjadi di beberapa negara, termasuk Vietnam, Nigeria, Malaysia dan Indonesia.
Bagi Australia, ada suatu hal yang sangat dijaga, yaitu keinginan besar dalam menjaga citra sebagai negara bersih, demokratis dan anti korupsi. Apabila ditinjau dari organisasi anti korupsi, dari nilai dan ranking pemberantasan korupsi, Australia menurut lembaga Tranparency International  pada tahun 2013 menduduki ranking 9 dari 177 negara, dengan nilai CPI (Corruption Perception Index 81). Pada Tahun 2012, nilai CPI Australia 85, ini berarti Australia mulai tersentuh dengan kasus korupsi, yang jelas diantaranya skandal pencetakan uang masa lalu mulai berdampak. Kasus suap yang diadili merupakan pukulan besar bagi Australia.
Skor index diukur dari 177 negara dan teritori pada skala dari 0 (sangat korup) sampai 100 (sangat bersih). Terlihat CPI Australia turun 4 point dalam satu tahun. Untuk Indonesia, nilai CPI adalah 32, ranking 114 dari 177 negara. Pada tahun 2012 skor CPI Indonesia tetap 32 (tidak maju dan tidak mundur dalam satu tahun).
Nah, dari analisis tersebut diatas apa yang bisa disimpulkan?. Wikileaks menyampaikan menjumpai hambatan sebagai whistle blower karena kasus suap uang kertas di sensor dengan ancaman pidana apabila ada yang berani mengungkapkan di Australia. Bagi Australia, kasus suap ternyata membawa dampak sangat kuat, hingga mampu mengguncang cadangan bank sentralnya.
Ternyata dari penyelidikan Polisi Federal dan Jaksa Australia, sudah sejak tahun 1999 Securency dan NPA melakukan aksi suap jutaan dolar di luar negeri  dalam  bisnisnya. Suap tidak hanya terjadi di beberapa negara yang disebutkan oleh Wikileaks, tetapi ternyata jauh lebih luas dan bahkan menyentuh beberapa negara besar. Oleh karena itu agar masalah tidak semakin membesar dalam era keterbukaan serta demi menjaga stabilitasnya, terutama politik, pemerintah Australia memberlakukan sensor berita melalui kekuatan pengadilan.
Sensor serupa pernah diberlakukan oleh pemerintah Australia pada Tahun 1995, dimana kasus melibatkan kerjasama intelijen antara Amerika Serikat dengan Australia yang menyadap dan memata-matai  Kedutaan Besar China di Canbera. Australia khawatir apabila kasus penyadapan dibuka oleh media, dampaknya akan sangat besar, yaitu berupa kemarahan China sebagai salah satu negara besar dan kuat. Terbukti kini China merupakan ancaman bagi AS dan Australia di kawasan Laut China Selatan. Dampaknya adalah keamanan nasional terhadap Australia..
Jadi alasan keamanan nasional akan terganggu dengan kasus suap ada benarnya juga bagi Australia, dampak sistemik suap dan korupsi akan sangat berbahaya bagi negara itu yang sangat bangga sebagai negara terbersih ke-sembilan dengan skor CPI 81. Apabila media membuka skandal suap secara keseluruhan, maka dampaknya akan terasa bagi pemerintahnya. Pemerintah sangat khawatir dengan dampak politis, citra di dalam dan di luar negeri bisa rusak.
Oleh karena itu, kita sulit untuk meminta dan mengharap Australia akan membuka kasus suap pencetakan uang kertas polimer itu. Kedutaan Besar Australia di Jakarta telah memberikan pressrelease bahwa Presiden SBY dan Ibu Mega bukanlah subyek dari proses Securency. Dari penjelasan Deputy Bank Indonesia Mirza, juga jelas bahwa pencetakan uang pada tahun 1999 masih kuasa penuh Direktur Bank Indonesia. Karena itu semuanya menjadi jelas kini. Nama Presiden SBY dan Megawati hanya dipakai Australia sebagai penguat alasan dengan mengatas namakan keamanan nasionalnya dalam menjaga hubungan internasionalnya.  Itulah akal Australia sebagai pembenaran belaka.
Malaysia pada tahun 2010 telah melakukan penyelidikan terkait kasus ini, tiga orang telah ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Malaysia. Saat itu Indonesia belum melakukan langkah pengusutan. Nah, kini KPK nampaknya tidak perlu menunggu informasi lebih jauh tentang kasus suap dari Australia, sudah jelas mereka menyensor dengan kekuatan hukum yang keras, jadi tidak mungkin Australia akan memberikan informasi sekecil apapun kepada Indonesia. Untuk menyelamatkan muka pemimpin bangsa Indonesia, KPK harus cepat bergerak, sekaligus membuktikan apakah pimpinan nasional kita bersih. Inilah yang diharapkan Presiden SBY.
Berhadapan dengan Australia memang harus tabah dan cerdik, karena mereka banyak akalnya. Seperti kasus penyadapan, sudah jelas ada bukti mereka menyadap, dituntut hingga kapanpun untuk meminta maaf tetap saja mereka menolak, dijawabnya hanya dengan alasan menjaga kerahasiaan intelijen. Kini kasus suap jelas  lebih berat pastinya, karena sudah mereka kunci dengan langkah hukum  Mahkamah Agung Australia di Melbourne. WikiLeaks saja yang kerjanya blusukan dan banyak sukses mencuri data di internet mengeluh dengan langkah Australia itu.
Jadi kita akan sia-sia mengharap informasi keterbukaan dari mereka, walaupun kita mampu menekan Australia, ada yang jauh lebih besar bagi Australia untuk bertahan, yaitu kepentingan nasionalnya. Kira-kira begitu.